Senin, 24 Mei 2010

Bupati Kupang Hentikan Penambangan Mangan

Spirit NTT Nomor 180 Tahun IV, Edisi 12-18 Oktober 200

KUPANG, SPIRIT--Bupati Kupang, Ayub Titu Eki, memutuskan untuk menghentikan penambangan batu mangan di wilayah itu, setelah empat penambang tewas tertimbun tanah longsor di Desa Oebola, Kecamatan Fatuleu, karena para penambang mengabaikan keamanan dan keselamatan kerja.

"Bupati sudah perintahkan seluruh camat untuk menghentikan sementara penambangan mangan di seluruh wilayah Kabupaten Kupang," kata Juru Bicara Pemerintaah Daerah (Pemda) Kabupaten Kupang, Stefanus Baha, di Kupang, Kamis (8/10/2009).

Keputusan ini diambil Bupati setelah empat penambangan mangan tradisional di Nyuskole, Desa Oebola Dalam, Kecamatan Fatuleu, tewas tertimbun longsor pada Rabu (7/10) ketika sedang melakukan penambangan.

Empat warga yang tewas tersebut, yakni Petrus Sabloit (30), Melianus Sabriut (39), Ignatius Seran (15), ketiga warga tersebut berasal dari Desa Oebola Dalam. Satu warga lainnya, yakni Marince Ton (38) berasal dari Desa Sanraen Kecamatan Amarasi Selatan. Satu korban lagi, yakni Nikolaus Sabloit mengalami luka yang berat. "Menurut rencana hari ini keempat warga tersebut dikuburkan di desa mereka masing-masing," katanya.

Dia mengatakan, penambangan yang dilakukan oleh masyarakat tersebut dilakukan secara ilegal, karena sampai saat ini belum ada satu perusahaan pun yang menyatakan siap bertanggungjawab atas meninggalnya empat warga tersebut. "Penambangan tersebut dilakukan secara liar oleh masyarakat atas inisiatif sendiri, karena tidak ada kesepakatan kerja sama dengan perusahaan mana pun," katanya.
Larangan penambangan mangan oleh Bupati Kupang, lanjut Baha, sudah dilakukan sejak Mei lalu, namun sebagian masyarakat secara diam-diam melakukan penambangan untuk dijual ke pengusaha lokal.

Keempat korban meninggal tersebut, kata Baha, melakukan penggalian mangan di kedalaman 10 meter dengan panjang 12 meter dengan lebar satu meter. Mereka tertimbun, karena terjadi longsor.

Para korban baru dapat dievakuasi dari lokasi longsor selama delapan jam, yakni sejak pukul 14.00-22.00 Wita. "Para penambang bekerja dalam kelompok, di mana setiap kelompok sebanyak sembilan orang," katanya.

Saat ini, tambah Baha, pemerintah telah mengutus tim yang terdiri atas petugas Dinas Sosial dan Pertambangan untuk mengunjungi lokasi penambangan dan memberikan bantuan bagi para korban longsor tersebut. (ant)

BNPB Jakarta Tinjau Bencana Tolnaku

Spirit NTT Nomor 176 Tahun IV, Edisi 14-20 September 2009

KUPANG, SPIRIT--Badan Nasional Penanggulangan Bencana ( BNPB ) RI, bersama Tim BPBD Propinsi NTT dan Tim dari Kabupaten Kupang meninjau langsung kondisi riil di lokasi Bencana Tolnaku, Kecamatan Fatuleu, Kamis (3/9/3009).

Menurut Kasubdit Pencegahan Bencana BNPB RI, Ir. Lilik Kurniawan, pergerakan tanah yang terjadi di Desa Tolnaku sangat besar dan luar biasa. Dikatakannya, pergerakan akan terus terjadi, dan hanya berhenti sesaat jika kehabisan energi.
Ini kata dia, terlihat dari pergerakan yang mulanya 1/2 meter telah menjadi tiga meter.

Lilik mengatakan, pergerakan tersebut akan bertambah parah lagi ketika musim hujan datang. Melihat kondisi tersebut kata Lilik, selain menyatakan keprihatinannya, ia juga berjanji akan bersama Tim Geologi Bandung dan tim dari propinsi dan kabupaten untuk melakukan rapat rencana kontigensi.

Menurut Lilik, BNPB akan menyiapkan peta tiga dimensiuntuk mengetahui arah mana dan rumah - rumah mana yang rawan dan perlu diwaspadai. Lilik Kurniawan dalam dialognya bersama warga Tolnaku mengatakan bahwa tugas BNPB adalah melindungi masyarakat yang terkena bencana.

Selain itu versi dari BNPB adalah membangun kembali rumah-rumah warga menjadi lebih baik. Untuk itu, apa yang dialami warga Tolnaku akan menjadi sebuah pekerjaan rumah ( PR ) yang dibahas di Jakarta nanti.

Ia berharap proposal dari Kabupaten Kupang secepatnya dimasukkan sehingga dalam waktu dekat dapat direalisasi. Sementara itu, Kadis Sosial Kabupaten Kupang, Daniel Manoh mengatakan bahwa yang dibutuhkan masyarakat saat ini adalah kepastian tempat tinggal yang paten karena Fatukoto adalah relokasi sementara.

Ia mengatakan, dinas sosial juga memberikan bantuan tetap berupa beras, supermi dan ikan kaleng. Hadir dalam pantauan ke lokasi tanah longsor ini, yakni Kabag Sosial Setkab Kupang Drs. Imanuel Bilos, Kepala Bagian Humas Setkab Kupang, Drs. Petseraen Amtiran, Camat Fatuleu, Drs. Bataruddin Rosna, Kabid Rehabilitasi dan Rekonstruksi BPBD NTT, Abraham Klakik dan Kabid Kedaruratan dan Logistik BPBD NTT, Chris Daud. (humas pemkab kupang)

5 Desa di Malbar-Belu Masuk Jalur Merah

Minggu, 17 Januari 2010
PK-Meski demikian, setiap saat warga lima desa itu selalu resah karena banjir kiriman akan menggenangi wilayah desa seperti Sikun, Oanmane, Motaain, sebagian Fafoe dan Umatos. Biasanya luapan banjir terjadi pada puncak musim hujan di bulan Februari.

"Sekarang memang ada tanggul pengaman di bagian atas Kantor kecamatan Malaka Barat. Sementara di bagian bawah terutama untuk melindungi lima desa itu, tanggul belum ada. Jadi besar kemungkinan kalau saja intensitas curah hujan cukup tinggi pada Februari nanti maka warga di lima desa ini akan dapat banjir kiriman," katanya.

Camat Edu menambahkan, meski perumahan di desa-desa lainnya lolos dari genangan banjir, namun lahan pertanian bakal terendam. Pasalnya, lahan persawahan warga itu berada pada jalur tanggul pengaman.

"Saya mengimbau agar masyarakat selalu waspada terhadap banjir dari Sungai Benanain. Meski sudah ada tanggul pengaman tapi warga juga harus tetap waspada. Apalagi memasuki Bulan Februari mendatang sehingga warga harus bisa bersiap-siap untuk mengungsi jika memang diperlukan," katanya mewanti-wanti.

Pantauan Pos Kupang, intensitas curah hujan hampir merata di seluruh Belu. Hingga kini belum ada bencana alam ataupun tanah longsor. Warga di sekitar Kota Atambua memanfaatkan peluang hujan untuk menanam padi di sawah tadahan. Walaupun, ada sebagian daerah seperti di Kecamatan Kakulukmesak, para warga belum menanam karena minim curah hujan. (ferdy hayong)

Di Mantasi, Ada 7 Titik Longsor

Jumat, 11 Desember 2009
PK-Lurah Mantasi, Lasarus Lusi, S.Sos mengungkapkan, tujuh lokasi rawan longsor tersebar di wilayah RT 1, 2, 3, 5, 6, 7 dan RT 8. "Mantasi itu letaknya di ketinggian dan tanahnya labil sehingga kalau ada hujan pasti ada daerah yang longsor," kata Lusi saat ditemui di kantornya, Kamis (10/12/2009).

Menurut Lusi, setelah dikonsultasi dengan dinas pertanian, maka daerah tersebut sebaiknya ditanam dengan bambu karena akar bambu bisa menahan tanah.

"Tahun ini kami sudah tanam 67 anakan bambu di beberapa daerah yang rawan longsor. Dari 67 anakan itu, sebagian ada yang sudah mati tetapi ada juga yang masih bisa bertahan untuk terus hidup," katanya.

Namun, lanjut Lusi, dalam perjalanan masyarakat protes. Mereka tidak suka dengan bambu. Menurut masyarakat, jika bambu ada maka ular akan datang.

"Mereka enggan menanam bambu. Karena itu kami masih pikir-pikir lagi, apakah akan mengganti anakan bambu yang sudah mati atau tidak," ujar Lusi.

Mengenai penanaman anakan pohon untuk penghijauan, Lusi mengatakan, tahun ini Mantasi akan mendapat 100 anakan mangga dan sukun. Namun berdasarkan pengalaman tahun lalu maka pembagian anakan untuk tahun ini lebih diprioritaskan untuk mereka yang memperhatikan anakan mangga yang dibagikan tahun lalu dan yang memiliki lahan yang besar.

"Kalau tahun lalu mereka diberi anakan lalu anakan itu tidak dirawat dan akhirnya mati maka pada tahun ini, mereka tidak akan mendapat anakan lagi. Karena berdasarkan hasil evaluasi dari 150 anakan yang dibagikan pada tahun lalu, hanya 50 persen saja yang masih hidup sedangkan sisanya sudah mati karena tidak dirawat dengan baik oleh masyarakat," kata Lusi. (ira)

Wagub NTT Tinjau Longsor di Ikan Foti

Rabu, 20 Januari 2010
PK-Wagub mengatakan, jalur yang mengalami longsor tersebut tidak layak lagi dilalui kendaraan roda empat yang berbeban berat. Menurutnya, harus ada jalur alternatif yang lebih aman untuk dilalui, baik oleh kendaraan roda dua maupun roda empat.

Sebagai jalan propinsi, kata wagub, jalan alternatif perlu segera dibangun untuk membuka isolasi fisik, sosial, dan ekonomi. Untuk mengatasi keadaan jalan tersebut, lanjut wagub, Pemerintah Propinsi NTT akan mendukung pembangunan jalur alternatif.

Saat meninjau longsoran, wagub didampingi Wakil Ketua DPRD NTT, Nelson Matara, Liebert Foenay, Kepala Bidang Bina Marga Dinas Pekerjaan Umum Propinsi NTT, Ir. Djayadi, dan sejumlah pejabat dari Dinas PU Propinsi NTT dan Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) NTT.

Kepala Bidang Bina Marga Dinas PU Propinsi NTT, Ir. Djayadi, mengatakan, kondisi jalan tersebut dalam keadaan darurat akibat hujan deras berhari-hari disertai angin kencang. Akibatnya ruas jalan ke wilayah pantai selatan Kabupaten Kupang mengalami rusak parah. Setiap kendaraan yang melalui jalan tersebut harus berhati-hati, terutama kendaraan roda empat.

Dia mengatakan, pihaknya akan membangun jalan alternatif agar transportasi dari Kupang ke Baun serta wilayah selatan Timor tetap berjalan normal. Pembangunan jalan alternatif, katanya, masuk dalam program tanggap darurat. Diharapkan, jalan alternatif bisa dikerjakan tahun ini.

"Kita akan mempelajari dulu situasinya, struktur tanahnya, kemudian membuat perencanaan sehingga apa yang dikerjakan tidak mubazir," katanya.

Wakil Ketua DPRD NTT, Drs. Liebert Foenay meminta dinas terkait agar segera menangani longsoran itu. Untuk mengantisipasi kejadian alam seperti ini, diperlukan pemetaan wilayah rawan bencana.

Wagub yang dihubungi usai meninjau lokasi menegaskan, dirinya telah memerintahkan Dinas PU untuk meneliti struktur tanah sehingga langkah perbaikan yang diambil tepat. Sementara masyarakat setempat perlu menanam lamtoro untuk mencegah longsoran itu. "Bukan terasering, tapi menanam lamtoro dalam bentuk penghijauan. Hanya hutan lamtoro yang bisa mencegah longsoran itu," kata wagub.

Thimotius Ismau dan Imanuel Ismau, warga Yut Baun yang ditemui di lokasi longsoran mengatakan, setiap tahun pada musim hujan lokasi itu selalu longsor. Untuk itu, mereka meminta pemerintah membangun jembatan dengan membela bukti itu lalu menyambungnya dengan jembatan baja. Hanya itu caranya untuk bisa mengatasi longsoran itu. Untuk jalan alternatif, kata kedua warga itu, sulit.

Terhadap saran warga, wagub menyetujui jika secara teknis mendukung. "Jika teknisnya mendukung, saya setuju. Sejauh untuk kepentingan masyarakat, kita dukung. Saat ini saya minta PU meneliti secara akurat, baru membuat perencanaan dan pelaksanaannya," kata wagub.

Wagub menawarkan opsi, angkutan estafet dari Baun ke Ikan Foti lalu sambung dari Ikan Foti ke Kupang. "Jika masyarakat tidak keberatan, kita siapkan saja angkutan estafet sambil ruas jalan itu dikerjakan secara total. Bagi saya yang penting roda perekonomian masyarakat tidak lumpuh," kata wagub. (aa/gem)

Tanah Longsor di Tolnako Berpotensi Banjir Bandang

Jumat, 12 Juni 2009
PK-Kepala Bagian (Kabag) Sosial Sekretariat Kabupaten (Setkab) Kupang, Dominggus Bulla, yang ditemui Pos Kupang di ruang kerjanya, Kamis (11/6/2009), mengatakan, laporan hasil survai Tim Geologi Bandung dikirim kepada Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Kupang melalui faximile hari Rabu (10/6/2009).

Dominggus Bulla menjelaskan, berdasarkan laporan hasil survai Tim Tanggap Darurat Geologi Bandung, jenis bencana alam tanah longsor yang terjadi di Desa Tolnako, Kecamatan Fatuleu, karena adanya gerakan tanah pada jalur patahan (sesar).

Dia mengatakan, gerakan tanah yang terjadi dengan ukuran panjang kurang lebih tiga kilometer dan lebar antara 60- 600 meter dengan tinggi gawir antara dua meter sampai delapan meter, dan mempunyai arah umum N 221 derajat E yang diikuti oleh retakan- retakan dengan panjang antara 30 meter hingga 140 meter, lebar antara tiga cm hingga 25 cm. Kedalaman antara lima cm sampai lebih dari 40 cm, pada beberapa tempat terdapat genangan air akibat pembendungan Sungai Fatutasu dan Sungai Nunpisa yang berpotensi terjadi aliran banjir bandang.

Berdasarkan hasil survai itu, demikian Bulla, daerah bencana tanah longsor merupakan daerah gerakan tanah tinggi dan terletak pada zona sasaran patahan. Tim survai Geologi Bandung, lanjutnya, memberikan beberapa rekomendasi kepada Pemkab Kupang. (den)


Rekomendasi Tim Survai Geologi Bandung

1. Daerah bencana (tanah longsor) merupakan daerah yang sudah tidak layak huni, maka harus dikosongkan dan tidak dibangun lagi sebagai pemukiman, bangunan struktur dan infrastruktur lainnya.

2. Masyarakat tidak melakukan aktivitas pada daerah bencana, terutama pada waktu hujan.

3. Daerah bencana perlu dihutankan kembali dengan tanaman keras berakar kuat dan dalam yang dapat berfungsi mengikat tanah atau batuan.

4. Masyarakat di daerah sekitar bencana perlu waspada dan segera melaporkan kepada aparat pemerintah setempat apabila melihat gejala-gejala gerakan tanah (longsoran) baru yang muncul di daerahnya.

5. Tidak melakukan kegiatan penggalian pada daerah bencana dan sekitarnya karena dapat memicu longsoran baru.

6. Segera mengeringkan genangan-genangan air (pembendungan sungai) bandang. (den)

Longsor di Fatuleu, 117 Warga Dipindahkan

Minggu, 7 Juni 2009
PK-Warga yang terkena longsor membangun rumah darurat di Fatukoto. Tanah longsor juga menyebabkan ratusan tanaman perkembunan milik warga rusak. Sampai Kamis (4/6/2009), masih ada sembilan KK yang bertahan di lokasi longsoran.

Fredik Mau, salah satu korban bencana longsor yang ditemui Pos Kupang di sekitar lokasi pemukiman, Kamis (4/6/2009) sore, mengatakan, tanah longsor yang terjadi di desa mereka itu sudah berlangsung sejak Februari lalu dan sampai sekarang masih terus terjadi.

Menurut Mau, para korban semuanya adalah petani yang kebanyakan memiliki rumah semi permanen dan semuanya rusak akibat tanah longsor tersebut.

"Yang kami heran longsoran itu terjadi bukan saja musim hujan tetapi pada saat sekarang juga masih terjadi sehingga kami pindah ke Fatukoto. Di sana kami buat rumah darurat dari daun lontar untuk tinggal," kata Mau.
Dia menuturkan, awalnya tanah longsor mengancam 26 rumah warga dan satu bangunan gereja. Kini semua rumah warga itu sudah tidak dihuni lagi karena sudah rusak dan warga takut. Gereja itu pun sudah tidak dipakai lagi.

" Dua puluh enam rumah itu milik 31 KK itu. Mereka semua sudah pindah ke lokasi yang tidak terlalu jauh dari pemukiman yang terkena longsoran sebelumnya. Sampai sekarang kami semua yang mengungsi sekitar 117 orang. Sedangkan ada sembilan KK lagi yang masih bertahan di lokasi longsoran itu," katanya.

Mau juga mengakui, lokasi tempat mereka direlokasi itu hanya berjarak sekitar 1,5 km saja dari lokasi pemukiman mereka yang terkena longsoran sehingga mereka masih dilanda was-was. Mereka khwwatir longsoran akan meluas dan menjangkau tempat mereka direlokasi.

Dia mengatakan, tidak ada korban jiwa akibat bencana tersebut. Hanya masyarakat menderita kerugian material antara lain kerusakan rumah dan tanaman perkebunan serta rumah ibadah.

"Lokasi yang kami tempati baru itu memang agak dekat, hanya saja kita perkirakan jika longsoran terjadi dari titik utama longsoran atau di pemukiman lama maka kemungkinan agak sulit untuk sampai ke pemukiman baru itu," tuturnya.

Ketua RW V Desa Oebola Dalam, Charles Utan yang ditemui di kediamannya kemarin petang, membenarkan terjadinya longsoran yang sudah berlangsung di wilayah desa tetangganya itu.

Dia menyebut kejadian longsoran itu sebagai kejadian yang aneh karena tidak hanya terjadi pada musim hujan namun terjadi juga pada musim kemarau saat ini. Bahkan, katanya, dalam satu minggu bisa dua kali terjadi longsor. Kadang satu bulan hanya satu kali terjadi longsor.

Pantauan Pos Kupang, lokasi longsor yang terjadi di wilayah Tolnaku memanjang hingga ke Desa Oelatimu, Kecamatan Kupang Timur. Longsoran juga terjadi di perbatasan antara Desa Tolnaku dan Desa Oebola Dalam, Kecamatan Fatuleu Barat. Beberapa titik longsoran cukup parah. Di salah satu titik longsor terlihat tanaman perkebunan dan kayu jati milik warga ikut ambruk. Longsor memanjang dan luasnya mencapai sekitar 500 meter persegi. Di bawah bentangan longsoran ini terdapat Sungai Lubus. (yel)

Selalu Terjadi pada Jam Enam

JALAN menuju Desa Oebola Dalam di Kecamatan Fatuleu, Kabupaten Kupang, adalah jalan berbatu dan sebagiannya berupa jalan tanah. Desa dengan ratusan penduduk itu pada Kamis (4/6/2009) petang, bagai wilayah tak bertuan. Rumah-rumah yang terdapat di sisi kiri dan kanan jalan seperti tidak berpenghuni. Jarak antara satu rumah dengan yang lainnya sekitar 50 meter hingga 100 meter.

Cahaya matahari senja yang kian suram menjemput malam menambah seram suasana sepi di desa itu. Warga enggan keluar rumah karena hari menjelang malam. Desa itu belum terjangkau aliran listrik sehingga warga hanya mengandalkan lampu dari minyak tanah untuk penerangan malam.

Desa ini bertetangga dengan Dusun I, Desa Tolnaku yang tertimpa tanah longsor sejak Februari sampai sekarang. Kejadian longsor di desa tetangga itu dianggap aneh karena tidak hanya terjadi pada musim hujan tetapi terjadi pula pada musim kemarau saat ini. Tak heran, warga merasa was-was, apa gerangan yang sedang atau akan menimpa wilayah mereka.

Apalagi titik utama longsor di Desa Tolnaku itu telah memicu munculnya beberapa titik longsor dan rengkahan atau tanah terbelah di beberapa desa tetangga termasuk Desa Oebola Dalam. Untuk mencapai lokasi longsoran tepatnya di perbatasan wilayah Kecamatan Fatuleu Barat dan Kecamatan Fatuleu, harus ditempuh dengan berjalan kaki, kecuali melalui wilayah Oelbitena yang jalannya bisa ditempuh dengan kendaraan bermotor.

Kemarin sore, Kamis (4/6/2009), Pos Kupang mengajak beberapa warga untuk pergi melihat langsung wilayah longsoran. Namun warga enggan karena takut. Menurut mereka, longsor selalu terjadi pada jam enam, pagi maupun sore hari. Itu sebabnya pada sore hari menjelang pukul 18.00 Wita, tidak ada lagi warga yang berani keluar rumah. Mereka takut ikut terjerembab saat tanah longsor.

Salah satu warga, Marthen Padama, akhirnya bersedia menemani Pos Kupang ke lokasi tanah longsor setelah diberi "uang jasa". Padama tidak bisa menyembunyikan rasa was-wasnya saat menemani Pos Kupang. Setelah berjalan kaki beberapa lama, tibalah kami pada lokasi terjadinya tanah longsor di wilayah Tolnaku. Longsoran memanjang hingga ke Desa Oelatimu, Kecamatan Kupang Timur.

Dalam perjalanan Padama pun nampaknya tergesa- gesa, namun Pos Kupang tetap memberi pengertian, tidak akan mendekati titik longsoran apabila ada tanda- tanda longsor. Ketakutan Padama dan warga lainnya di wilayah beralasan karena sejak 12 Februari 2009 sampai saat ini, tanah longsor selalu terjadi pada jam enam pagi atau sore. Warga setempat selalu diliputi was-was akan terjadinya longsor susulan.

Ketua RW V, Desa Oebola Dalam, Charles Utan membenarkan bahwa tanah longsor yang terjadi di desa tetangga hingga meluas sampai ke sebagian wilayah mereka itu terjadi sejak Februari.

"Longsoran yang terjadi ini memang agak aneh karena terjadi bukan saja saat hujan tapi saat ini pun masih terjadi. Kita tidak bisa tahu persis kapan longsor itu terjadi, karena bisa saja dalam satu minggu itu satu kali atau dua kali, bahkan bisa juga dalam satu bulan satu kali. Warga di sini sangat heran, kenapa selalu terjadi pada jam enam," katanya.

Apapun gejala alam yang sedang terjadi di wilayah itu, yang jelas warga setempat membutuhkan pertolongan. (yakobus lewanmeru)

Bupati Kupang Bentuk Tim Tanah Longsor

Selasa, 9 Juni 2009
PK-Hal itu disampaikan Ayub Titu Eki, ketika ditemui Pos Kupang di ruang kerjanya, Senin (8/6/2009). Menurut dia, bencana yang terjadi di Tolnaku, sudah berlangsung beberapa waktu lalu. Dia mengaku sudah mendapat laporan, termasuk kerusakan saat bencana dan penanganan awal yang telah dilakukan.
Soal kesulitan air bersih yang dialami para korban tanah longsor di Fatukoto, Titu Eki mengatakan, Pemkab Kupang akan membantu bak penampung air (fiberglass).
Dia menjelaskan, para korban tanah longsor sudah mengungsi ke lokasi baru di Fatukoto, dan saat ini sedang membangun rumah layak huni. Agar pembangunan rumah lebih cepat, lanjut Titu Eki, Pemkab Kupang akan membantu kendaraan yang nantinya digunakan warga untuk mengangkut bahan bangunan rumah.
Menyinggung aman tidaknya lokasi pemukiman baru di Fatukoto, menurut Titu Eki, hasil survai dari Geologi Bandung, lokasi itu untuk sementara masih aman. Hanya saja, lanjut Titu Eki, warga harus tetap waspada karena dalam peta, beberapa titik di sekitar lokasi tersebut, rawan terjadinya patahan. Mengenai bantuan yang sudah diberikan, Titu Eki mengatakan, bantuan tetap diberikan dan disesuaikan dengan anggaran.
Wakil Ketua Komisi C DPRD Kabupaten Kupang, Matheos Liu, S.E, mengatakan, bencana yang dialami warga Desa Tolnaku, hendaknya segera ditangani Pemkab Kupang. Begitu juga dengan krisis air yang dialami para korban tanah longsor selama ini.
"Kan ada dana stimulan atau dana lainnya dari Dinas Sosial yang bisa digunakan untuk menangani masalah tersebut. Air bersih juga mestinya segera diatasi sehingga masyarakat yang sudah susah, tidak lagi dihimpit dengan kasus-kasus lainnya," kata Liu.
Sebelumnya harian ini memberitakan, sebanyak 31 kepala keluarga (KK) atau 117 warga Dusun I, Desa Tolnaku, Kecamatan Fatuleu, Kabupaten Kupang, dipindahkan ke pemukiman baru di Fatukoto di kesematan tersebut. Mereka dievakuasi ke pemukiman di Fotukoto akibat tanah longsor yang terjadi di Desa Tolnaku sejak Februari 2009 lalu sampai sekarang ini.
Tanah longsor juga menyebabkan ratusan tanaman perkebunan milik warga rusak. Hingga Kamis (4/6/2009), masih ada sembilan kepala keluarga yang bertahan di lokasi tanah longsor.
Fredik Mau, salah satu korban bencana longsor yang ditemui Pos Kupang menuturkan, tanah longsor yang terjadi di desa itu berlangsung sejak Februari 2009 dan sampai sekarang masih terus terjadi.
Para korban longsoran, lanjut dia, adalah petani yang kebanyakan memiliki rumah semi permanen. Semua rumah itu rusak. "Yang kami heran longsoran itu terjadi bukan saja musim hujan tetapi pada saat sekarang juga masih terjadi, sehingga kami pindah ke Fatukoto. Di lokasi baru itu kami buat rumah darurat dari daun lontar," tutur Mau.
Dia menuturkan, awalnya tanah longsor mengancam 26 rumah warga dan satu bangunan gereja. Kini semua rumah warga itu tidak dihuni lagi karena sudah rusak. Selain itu warga juga takut. Mau juga mengakui, lokasi tempat mereka direlokasi itu hanya berjarak sekitar 1,5 km dari pemukiman yang terkena longsoran. Makanya mereka tetap was-was. Mereka khawatir longsoran akan meluas dan menjangkau tempat mereka tinggal.

Pantauan Pos Kupang, lokasi longsor yang terjadi di wilayah Tolnaku memanjang hingga ke Desa Oelatimu, Kecamatan Kupang Timur. Longsoran juga terjadi di perbatasan antara Desa Tolnaku dan Desa Oebola Dalam, Kecamatan Fatuleu Barat. Beberapa titik longsoran cukup parah. Di salah satu titik longsor terlihat tanaman perkebunan bertumbangan. Di bawah bentangan longsoran terdapat Sungai Lubus. (yel/den)

Tentang Longsor di Tolnaku

Sabtu, 5 September 2009
PK-Terakhir, Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mengatakan, longsoran yang terjadi di Tolnaku akibat pertemuan dua sesar (sejenis patahan), yaitu sesar domen dan sesar gerak. Longsor di Tolnaku kemudian diketahui dalam zona merah, dalam artian sangat dimungkin dapat terjadi terus-menerus. Jenis longsoran ini sama seperti yang pernah terjadi di Ciloto dan Cianjur, Propinsi Jawa Barat kemudian di Banjar Tenggara, Jawa Tengah.
Lalu apakah karena hasil penelitian mengatakan bahwa longsoran di Tolnaku kemungkinan masih akan terjadi lalu kita harus menyerah? Apakah kita akan terus menerus memberikan bantuan air dan makanan kepada warga korban longsoran? Ataukah kita harus segera mencari jalan keluar untuk menyelesaikannya?
Saat ini, ada sekitar 32 kepala keluarga (KK) atau 118 jiwa untuk sementara terpaksa dipindahkan ke Fatukoto. Mereka masih diinapkan di tenda-tenda darurat sambil menanti perumahan bantuan dari pemerintah selesai dibangun. Untuk sementara, kebutuhan hidup warga seperti air dan makanan dipasok oleh Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Kupang.
Kondisi ini akan makin meluas karena beberapa desa yang rawan terkena dampak longsor Tolnaku adalah Desa Oelatimu dan Desa Nunkurus, Kecamatan Kupang Timur, Desa Oebola Dalam, Kecamatan Fatuleu dan Desa Bipolo, Kecamatan Sulamu. Artinya, dengan pernyataan bahwa longsoran masih akan terus terjadi bila musim hujan datang membuat perhatian ekstra terhadap wilayah-wilayah atau jalur merah ini harus terus dilakukan.
Yang menjadi persoalan sekarang adalah apakah kondisi ini harus terus dibiarkan? Dengan mata pencaharian sebagai petani, warga Tolnaku dan sekitarnya tentu harus menyiapkan lahan pertanian atau ladang untuk ditanami saat musim hujan. Lahan garapan di Tolnaku jelas tidak lagi diharapkan untuk bisa digunakan.
Untuk itu, masyarakat di wilayah ini harus diberi pengertian tentang kondisi ini. Masyarakat harus diberitahu bahwa mereka tidak mungkin lagi pulang dan tinggal di Tolnaku atau wilayah sekitarnya. Mereka juga harus diberi pemahaman untuk merelakan harta benda seperti tanaman dan kebunnya yang harus ditinggalkan dan tidak boleh digarap lagi. Dengan kondisi longsoran yang bisa terjadi sewaktu- waktu, jangan pernah mau mengambil risiko atau 'keras kepala' untuk tidak mengindahkan larangan-larangan pihak berwenang atau pemerintah.
Kepala Dinas Sosial Kabupaten Kupang, Daniel Manoh, mengakui, meski saat ini warga setempat sudah mendapat bantuan, namun kesehatan dan persiapan menghadapi musim tanam akan menjadi masalah ikutan. Kalau sudah demikian, Manoh yang saban hari bersama warga di sana sudah harus menyiapkan rencana aksi untuk mengatasinya. Pengajuan anggaran kepada pemerintah harus segera dilakukan. Ketersediaan anggaran memang sangat penting. Biasanya (mungkin sudah menjadi kebiasaan), bila ada kasus atau bencana yang terjadi tiba-tiba, lambannya penanganan pemerintah selalu bertamengkan ketiadaan anggaran.
Program atau rancangan anggaran tentang pembangunan pemukiman baru, penyediaan sarana air bersih, konsep pembangunan ekonomi masyarakat, termasuk penyediaan lahan garapan, harus segera dilakukan.
Rancangan program agar longsor hanya terjadi di Tolnaku dan tidak menyebar ke daerah lain juga harus dimiliki. Patahan-patahan yang terjadi di Tolnaku jelas akan membuat air hujan akan berkumpul dan mengalir menjadi satu arus. Arus air ini harus diarahkan dengan benar, sehingga jangan menjadi bencana bagi daerah yang dilaluinya.

Mencegah atau mengurangi terjadinya bencana, jelas akan menguras energi dan dana. Dana yang digelontorkan hendaknya membuat para pengelola tak silau dan takabur dalam memanfaatkannya. Alokasi sesuai peruntukannya harus direalisasikan. Masyarakat yang sudah menjadi korban, jangan lagi menjadi obyek untuk mendapat keuntungan pribadi. Jeritan hati, tangis pilu para ibu dan anak yang harus kehilangan harta bendanya dan memulai kehidupan baru, hendaknya menjadi berkat bagi kita yang dipercaya untuk mengatasi penderitaan mereka. *

Satu Tewas, Lima Tertimbun Longsor

Rabu, 20 Januari 2010
Longsor terjadi sekitar pukul 11:30 WIB setelah terjadi hujan deras dan menimpa sedikitnya sembilan rumah dan empat diantaranya rata dengan tanah, sedangkan lima lainnya mengalami rusak berat.

Hingga berita ini diturunkan telah ditemukan satu orang korban tewas atas nama Zainudin (54) dan diperkirakan masih ada empat korban lain yang tertimbun tanah.

Ia mengatakan, warga setempat masih berusaha mencari korban yang tertimbun dengan cara manual, karena alat berat sulit masuk lokasi bencana.

Selain ditemukan korban tewas, lima orang korban luka-luka dirawat di Puskesmas Kejajar, sementara korban selamat telah dievakuasi di rumah tetangga atau familinya.

Ia mengatakan, daerah permukiman tersebut memang rawan terkena longsor karena posisinya di bawah tebing jalan menuju arah Dieng.

Selain terjadi longsor di Dusun Wonoaji, juga terjadi tanah longsor di jalan menuju Dieng di KM 18 mengakibatkan jalan putus.

Muspida Kabupaten Temanggung telah meninjau lokasi longsor untuk mengambil tindakan lebih lanjut.(ant)

Satu Rumah di Airnona Tertimbun Longsor

Minggu, 17 Januari 2010
PK-Longsor terjadi setelah Kupang dan sekitarnya diguyur hujan secara terus menerus selama tiga hari terakhir ini.

Tidak ada korban jiawa dalam musibah itu karena tiga orang penghuninya berhasil menyelamatkan diri.

Pemilik rumah itu, Muhamad Husein, mengatakan bahwa ketika longsor datang ia bersama keluarganya tengah beristirahat di saat hujan deras.

"Saat terjadi longsor, warga berteriak meminta kami segera keluar dari rumah dan spontan kami sekeluarga berlari meninggalkan rumah," katanya.

Beberapa saat kemudian sebuah batu berukuran besar dari tebing tinggi terguling dan menghantam rumah.

Sebagian barang di dalam rumah ikut hancur tertimpa batu besar itu.

Warga sekitar bersama anggota Satuan Polisi Pamong Praja (Pol PP) dan Kodim 1604 Kupang sedang membantu mengevakuasi sebagain perabot yang masih bisa diselamatkan

Selama tiga hari terakhir ini wilayah Kupang dan sekitarnya terus diguyur hujan dengan intensitas tinggi sehingga rentan terjadi banjir dan longsor.

Badan Metereologi dan Geofisika (BMG) mengingatkan cuaca ekstrim sedang melanda wilayah NTT dan meminta masyarakat daerah itu untuk tetap waspada. (antara)

14 Rumah Terendam dan Tertimbun Longsor

Jumat, 8 Januari 2010
Di Sumba Timur dan Alor
PK-Dari 14 rumah tersebut, 10 rumah warga di RT 05, Kelurahan Kambajawa, Kabupaten Sumtim, terendam air akibat hujan lebat, Kamis (7/1/2010). Sedangkan empat rumah warga di Desa Kuneman, Kecamatan Alor Selatan, Kabupaten Alor, tertimbun tanah longsor setelah wilayah itu diguyur hujan lebat belakangan ini. Dua dari empat rumah itu rusak berat dan dua lainnya rusak ringan.

Kepala Badan Kesatuan, Kebangsaan, Politik dan Perlindungan Masyarakat (Kesbangpol dan Linmas) Kabupaten Alor, Viktor Imang, S.H, M.Si, kepada Pos Kupang di Kalabahi, Kamis (7/1/2010), menjelaskan, tanah longsor yang menimpa rumah warga di Desa Kuneman terjadi awal Januari 2010. Peristiwa ini, lanjutnya, tidak menelan korban jiwa karena saat terjadi tanah longsor pemilik rumah sedang beraktivitas di luar rumah.

Imang mengatakan, tim Linmas Kabupaten Alor sudah turun ke lokasi bencana untuk melihat langsung kondisi rumah dan pemiliknya. "Kuneman adalah desa yang sangat jauh dari Kalabahi, Ibu kota Kabupaten Alor. Apalagi musim seperti ini, petugas tidak berani ambil risiko ke desa itu karena melewati laut. Petugas terpaksa jalan kaki puluhan kilometer dari Desa Manmas ke Kuneman," papar Imang.

Dia menyebut bencana lainnya yang terjadi saat musim hujan saat ini, yakni ruas jalan di wilayah Kecamatan Alor Timur rusak parah. Ruas jalan di tiga wilayah, yakni Naumang, Tungmang, dan Nukumang mengalami longsor. Dampaknya, kata Imang, kendaraan roda empat dari Kota Kalabahi dan sebaliknya dari Maritaing, Kecamatan Alor Timur, cukup rawan melintasi di lokasi itu.

Imang juga menggambarkan kondisi laut di wilayah perairan Kabupaten Alor pada musim seperti ini cukup rawan untuk pelayaran dan meminta masyarakat waspada.

"Untuk pelayaran sebaiknya harus merujuk pada informasi Administrasi Pelabuhan (Adpel) Kalabahi. Kalau Adpel memberikan peringatan, sebaiknya jangan paksakan diri. Bila tidak diindahkan, risiko ditanggung sendiri. Biasanya juragan perahu atau kapal selalu 'pasang dada' (bersikeras) untuk berlayar meski cuaca tidak normal. Karena itu, calon penumpang jangan terpengaruh," tegas Imang.

Mengantisipasi cuaca tidak normal saat ini, demikian Imang, Pemkab Alor telah membuka posko bencana alam di Kantor Badan Kesbangpol dan Linmas Kabupaten Alor. "Bila ada kejadian segera masukan laporan ke posko bencana agar petugas langsung turun ke lokasi bencana," katanya.

Imang juga mengatakan, pekan lalu seorang ibu rumah tangga, Margaretha Maulany (55), warga Desa Subo, Kecamatan Alor Selatan meninggal dunia disambar petir. Peristiwa ini, lanjutnya, terjadi akhir Desember 2009 lalu. "Petugas Linmas telah turun ke lapangan untuk mengumpulkan data," ujarnya.

Keluarga Margarteha Maulany, Adisa membenarkan peristiwa itu. Pegawai pada Badan Kesbangpol dan Linmas Kabupaten Alor ini menjelaskan, informasi yang diterimanya dari kampung, Margaretha disambar petir hingga meninggal dunia saat ia berada di luar rumah bagian belakang.

Dari Waingapu, Ibu kota Kabupaten Sumtim dilaporkan, 10 rumah warga RT 05, Kelurahan Kambajawa, terendam air hujan karena letak rumah-rumah tersebut di lokasi yang agak rendah. Kondisi ini diperparah tidak adanya drainase di kiri kanan jalan yang melintasi wilayah itu.

Ketua RT 05, Kelurahan Kambajawa, Ferdinadus Mahat, kepada Pos Kupang, Kamis (7/1/2010), mengatakan, genangan air hujan ini sudah terjadi bertahun-tahun pada saat musim hujan. Masalah ini, lanjutnya, sudah disampaikan kepada Bupati Sumba Timur, Drs. Gidion Mbilijora, M.Si dan Dinas Pekerjaan Umum (PU) Sumba Timur. Namun hingga kini belum ditanggapi.

"Memang Dinas PU sudah memberikan tanggapan akan membuat saluran pembuangan air di kiri kanan jalan yang melintasi wilayah itu. Namun hingga musim hujan datang belum ada realisasi. Yang kami khawatirkan akhirnya terjadi. Bupati sendiri sudah pernah sampai ke sini. Tetapi tidak mengubah keadaan," kata Mahat.

Selain 10 rumah, satu sekolah ikut terendam meskipun tidak mengganggu proses belajar mengajar. Hanya untuk aktivitas di luar ruangan seperti upacara bendera tidak bisa dilakukan karena genangan air. Genangan air hujan terparah di mess guru SD Umamapu. (oma/dea)


42 Penderita Gizi Buruk Dirawat

Selasa, 12 Januari 2010

PK-Demikian dijelaskan Kepala Panti Rawat Gizi Bitefa, dr. Lambert Tokan, melalui staf, Nona Santi Amsikan, ketika dihubungi di Panti Rawat Gizi, Senin (11/1/2010).

"Sepanjang tahun 2009, Panti Rawat Gizi Bitefa cuma beroperasi 7 bulan. Dan, selama 7 bulan itu, cuma 42 penderita gizi buruk yang diselamatkan dan dirawat di panti ini. Sedangkan 5 bulan lainnya, panti rawat gizi tidak beroperasi karena ketiadaan dana operasional," jelas Nona Santi.

Diakuinya, masih banyak penderita gizi buruk yang harus diselamatkan dan dirawat panti setempat, namun ketiadaan dana operasional. Karenanya, sepanjang tahun 2009 hanya sebagian kecil penderita gizi buruk yang diselamatkan.

Di awal Januari 2010 ini, kata Nona Santi, baru satu penderita yang masuk ke Panti Rawat Gizi. Penderita gizi buruk atas nama Maria Fatima Rosary (8 bulan). "Saat masuk ke panti, berat badan cuma 3,8 kilogram," jelas Nona Santi.

Ny. Emerisiana Kolo (39), ibunda dari bayi Maria Fatima Rosary, mengatakan, ia mempunyai 6 orang anak yang masih kecil. "Suami saya cuma seorang nelayan miskin di Pantai Wini, Insana Utara," jelas Ny. Kolo.

Dia mengaku sangat senang karena anak bungsunya yang menderita gizi buruk itu bisa mendapat perawatan medis, makanan bergizi dan susu. "Saya senang karena anak saya semakin sehat saja sejak masuk ke Panti Gizi," jelas Ny. Kolo.

Sebagaimana disaksikan Pos Kupang kemarin siang, di panti cuma ada satu penderita gizi buruk. Sementara stok makanan dan susu serta obat-obatan masih lengkap dan cukup untuk beberapa bulan ke depan. (ade)

Kesadaran Gizi Masih Rendah

Rabu, 04 Mar 2009
KUPANG, Timex- Kepala Dinas Kesehatan Kota Kupang, dr. Dominggus Sarambu mempertanyakan kesadaran masyarakat soal gizi. Saat ini ada 11 penderita gizi buruk di Kota Kupang.

"Di musim hujan seperti ini seharusnya pangan cukup tapi kok bisa ada gisi buruk," demikian ujar Dominggus saat di temui koran ini Selasa (3/3) siang kemarin. Seharusnya, kata Sarambu, musim hujan saat ini stok pangan cukup karena lahan dapat ditanami tanaman pangan.

Sarambu mengatakan, ada program makanan tambahan bagi penderita gizi buruk. Namun menurutnya program tersebut tidak akan menyelesaikan persoalan jika tidak ada usaha untuk mandiri dari penderita gizi buruk. Bantuan tersebut diberikan melalui Puskesmas.

Penderita gizi buruk di Kota Kupang saat ini mencapai 11 orang. Tiga orangnya sedang dirawat di Rumah Sakit sedangkan delapan lainnya dirawat di rumah.

Setiap pasien, jelas Sarambu, diberikan bantuan perawatan selama tiga bulan. "Dua minggu diberikan perawatan di rumah sakit, selanjutnya perawatan di rumah," katanya.

Saat ini, kata Sarambu, ada masalah yang harus segera diselesaikan. Yakni, status pasien gizi buruk yang identitas kependudukannya kurang jelas. Pasien itu sebenarnya berasal dari luar Kota Kupang tetapi menginginkan bantuan dari Pemerintah Kota Kupang saat berobat di rumah sakit.

Masalah ini, lanjutnya, harus dilakukan koordinasi dengan pemerintah daerah asal penderita gizi buruk. "Daerah yang bersangkutan harus bertanggung jawab atas orang tersebut," tambah Sarambu.

Diantara pasien gizi buruk, terdapat seorang balita berusai empat tahun. Ia mengatakan, masalah ini akan dibahas lebih lanjut dengan Dinas Kesehatan di Propinsi NTT untuk menangani masalah ini. "Masalah ini harus dibahas lebih lanjut jangan sampai ada penilaian bahwa Pemerintah Kota Kupang menelantarkan pasiennya," kata Dominggus. (mg-9)

Fasilitas SAR Masih Terbatas
* HUT SAR ke-37

KUPANG, Timex-Walaupun mengemban tugas yang cukup berat namun SAR Kupang belum didukung fasilitas yang memadai. Namun SAR tetap menjalankan peran dengan telitih dan telaten.

Kepala Kantor SAR Kupang Hery Sasongko dalam sambutannya saat perayaan HUT SAR ke-37, Senin (2/2) meminta koordinasi dengan instansi lain dalam menjalankan peran SAR. "Perlu adanya peningkatan fasilitas, koordinasi dan potensi karena alat dan sumber daya manusia masih terbatas," kata Hery.

Ia mengharapkan lembaga yang pernah dilatih SAR perlu terlibat saat kejadian yang membutuhkan kehadiran SAR. "Atau setidaknya memberikan informasi dan perlu adanya kerjasama yang baik," katanya. Tema HUT SAR kali ini pun, kata Hery, mangajak semua anggota SAR agar telitih dan telaten dalam bekerja.

"Dengan Peningkatan HUT yang ke-37 kita Sambut Kemandirian Basarnas LPNK melalui peningkatan profesionalisme, fasilitas yang memadai dan prosedur kerja yang dilandasi keterpaduan untuk bertindak cepat, tepat, terampil dan handal," kata Hery mengutip tema HUT SAR.

Sebenarnya HUT SAR yang ke-37, jelas Hery, tepatnya tanggal 28 Febuari lalu namun perayaannya baru dilakukan pada Senin (2/2). "Semakin banyak campur tangan orang-orang untuk bekerja membantu menyelamatkan orang, itu bagus karena kata menolong itu juga sudah sangat baik. Pertolongan pertama itu penting," katanya.

Karena itu, ia menghimbau setiap kejadian agar secepatnya diinformasikan ke SAR. "Misalnya ada kecelakaan di laut dan ada orang yang hilang, jangan setelah dicari tidak ketemu baru kontak ke SAR harus kontak dari awal," kata Hery mengingatkan.

Hery juga mengakui pihaknya masih kekurangan personil bagian operasional di lapangan dan administrasi di kantor. "Normalnya minimal 75 orang sedangkan yang dimiliki SAR saat ini hanyalah 43 orang," katanya. Namun pihaknya sudah berupaya sebaik mungkin.

Mengenai penyelamatan yang dilakukan Tim SAR saat menyelamatkan Yeni Nuraini, 32, warga RT25/RW09 Kelurahan Oesapa yang nekad bunuh diri dari atas tower Telkomsel di Kampung Solor, Senin (2/2), Hery mengatakan tindakan yang dilakukan Tim SAR dilakukan dengan profesional.

"Saat itu Tim SAR belum sempat makan karena berita yang diterima bertepatan dengan jam makan. Akan tetapi karena tugas maka harus dilaksanakan," katanya. (mg-9)

Penderita Kusta Butuh Perhatian

Jumat, 20 Feb 2009
LABUAN BAJO, Timex - Pemerintah khususnya Dinas Kesehatan harus memetakan Kampung Capi Desa Golo Bilas Kecamatan Komodo dan sekitarnya sebagai daerah endemik kusta. Dinas Kesehatan dituntut harus fokus dengan penderitaan masyarakat terutama penderita kusta.
Kedepanya, pemerintah mengupayakan rumah sakit kusta dengan fasilitas laboratorium, vaksinasi dan kendaraan operasional bagi petugas kesehatan. Hal ini ditegaskan anggota DPRD Manggarai Barat (Mabar), Abdul Azis kepada Timor Express. Menurut Azis, dengan kondisi yang dialami warga Kampung Capi dan sekitarnya menuntut Pemkab Mabar untuk menyiapkan fasilitas kesehatan khusus untuk penyakit kusta.

Saat ini katanya, warga terpaksa harus ke rumah sakit Cancar Kabupaten Manggarai untuk mendapatkan pengobatan. "Rata-rata masyarakat Capi tergolong keluarga tidak mampu. Jika selalu ke Cancar, maka akan membebankan masyarakat tersebut. Karenanya, pemerintah harus memberikan perhatian khusus dengan persoalan ini," harapnya.

Sementara itu, Wakil Bupati Mabar, Agustinus Ch Dulla ketika dimintai tanggapannya, kepada Timor Express menegaskan, dirinya mengajak semua pihak untuk bersolider dengan para penderita. Ia menyarankan untuk tidak boleh berkecil hati jika daerah Mabar endemik kusta.

Sebagai penyakit menular, kata Wabub Dulla, harus segera dicegah. Ia meminta kepada masyarakat untuk terus berkonsultasi dengan petugas kesehatan setempat. "Jangan menciptakan ketergantung dengan petugas kesehatan. Sehingga dapat diantisipasi sedini mungkin," ungkapnya.

Sementara itu, perawat kusta, Melania mengatakan, pengobatan terhadap penderita kusta terus diupayakan pihak rumah sakit. Menurut Melania, gejala kusta antara lain, timbul bercak-bercak putih, tidak gatal hingga mati rasa. Masa inkubasinya, 2 hingga 10 tahun. Penularanya melalui kontak fisik secara terus menerus dan pernapasan. Penyebabnya bervariasi seperti kurang gizi, air minum dan sanitasi lingkungan.

Ia menambahkan, meski belum memiliki persediaan obat sendiri, pihaknya terus melakukan pengobatan dan pengawasan terhadap penderita. Obat yang digunakan selama ini berasal dari WHO yang disalurkan melalui Pemerintah Pusat. Dari sekian penderita kata Melania, sudah ada yang sembuh.

Menurut Melania, sebaliknya jika tidak terdeteksi sedini mungkin pederita akan mengalami lumpuh total. Salah satu penderita kusta yang mengalami lumpuh total seperti Baso Puasa saat ini hanya mampu berbaring lesu. Ia pun harus terisolir dari pergaulan sosial. Kondisi ini terjadi menurut Melania, karena lambat terdeteksi. (kr4)

14 Anak Gizi Buruk Dirawat di RSIA SoE

Kamis, 26 Feb 2009
SOE, Timex – Sebanyak 14 anak gizi buruk di Kabupaten TTS mendapat perawatan di Rumah Sakit Ibu dan Anak (RSIA) SoE. Adapun 14 orang anak masing-masing, ...Andi Talan (1,7 bulan) warga Benlutu Kecamatan Batu Putih, Rudi Oematan (1 bulan) warga Benlutu Kecamatan Batu Putih, Marlindi Tefa (21 bulan) warga Kelurahan Nunumeu Kecamatan Kota SoE, Nofran Liu (15 bulan) Desa Pisan Kecamatan Amanuban Timur, Meti Sakan (23 bulan) Desa Pisan Kecamatan Amanuban Timur. Bertus Sesfao (1tahun 3 bulan) Desa Mnela’anen Kecamatan Amanuban Timur.

Erfin Liunesi (1 tahun) Desa Fatu’ulan Kecamatan Kie, Femi Nenosae (15 bulan) Desa Oelet Kecamatan Amanuban Timur. Ance Sesfao (4 tahun) Desa Maulin Kecamatan Amanuban Timur, Nelson Selan (19 bulan) Desa Pisan Kecamatan Amanuban Timur, Sefriana Tenis (1 tahun) Desa Mauleum Kecamatan Amanuban Timur, Sovia Tenis (3 tahun) Desa Mauleum Kecamatan Amanuban Timur. Rudi Alik (21 bulan) Desa Biloto Kecamatan Mollo Selatan dan Rohan Gam (29 bulan) Kelurahan Nonohonis Kecamatan Kota SoE.

Hal ini dikemukakan koordinator perawat CWS, Jermias Leuhoe yang ditemui wartawan, Rabu (25/2) di RSIA SoE. Menurut Jermias, dari 14 anak pasien gizi buruk, lima orang diantaranya menderita gizi buruk kategori marasmus yakni Rogan Gam, Rudi Alik, Femi Nenosae, Andy Talan dan Marlindi Tefa. Satu orang lagi dikategorikan kwasikor yakni, Bertus Sesfao.

Jermis mengatakan, untuk mengetahui adanya penderita gizi buruk, CWS bekerjasama dengan pusksmas-puskesmas dan Rumah Sakit Umum (RSUD) SoE serta Rumah Sakit Ibu dan Anak (RSIA) SoE. “Biasanya pasien yang menderita gizi buruk diikuti dengan penyakit ikutan lainnya. Ketika pasien tersebut berobat ke puskesmas atau RSUD dan penyakit ikutannya sembuh, maka RSUD atau puskesmas yang menangani pasien itu akan mengirim ke RSIA untuk penanganan gizi buruk oleh CWS,” jelas Jermis.

Dikatakan, di RSIA sudah ada dokter dan perawat CWS untuk menangani perawatan gizi buruk pasien. Untuk pasien gizi buruk yang ditangani sekarang sebanyak 14 orang. Penanganan terhadap 14 anak tersebut sejak hari pertama sampai hari ketiga masuk, petugas memberikan susu dicampur gula dan minyak setiap hari. Selama tiga hari diberikan campuran susu, gula dan minyak sebanyak 12 kali berselang dua jam.

Dijelaskan, hari keempat hingga ketujuh pemberian susu, gula dan minyak dikurangi menjadi delapan kali dengan pemberian makan tiga kali sehari. Hari kedelapan sampai 14 pemberian susu, gula dan minyak dikurangi menjadi enam kali dengan pemberian makanan padat diselingi dengan bubur kacang hijau dan biskuit bergizi. Pasien gizi buruk boleh dipulangkan jika hasil analisa standar devisi (kondisi berat badannya) mencapai minus 1,5.

Bertus Nenosae, ayah dari Femi Nenosae kepada wartawan ketika ditanya anaknya diberi makan apa setiap hari menjelaskan, anaknya Femi setip hari diberi makan bubur saja. Sesekali bubur dicampur sayur begitu juga dengan daging, tapi itu tidak kontinue. (r5)

20 Hari, 80 Pasien Diare Dirawat

Selasa, 20 Jan 2009
Delapan Balita Meninggal Dunia
KUPANG, Timex--Selama bulan Januari, atau hingga Senin (20 Januari) kemarin, terdata 80 orang pasien penderita diare dirawat di RSU Prof. W.Z Yohannes Kupang. Demikian data rekam medik yang diperoleh Timor Express, kemarin dari RSU milik Pemprov NTT itu.
Selain itu, sebanyak delapan orang balita pun meninggal dunia direnggut diare. Mereka yang meninggal dunia itu ada yang berasal dari Kota Kupang, Kabupaten Kupang dan kabupaten lainnya yang dirujuk ke RSU.

Kemarin, Dina Sonbai (1,4 bulan) putri kedua pasangan Samuel Sonbai dan Yusni Taneo menghembuskan nafas terakhir akibat tak sanggup berjuang mengalahkan virus diare yang menyerangnya.

Sebelumnya, tujuh korban diare yang meninggal sebelumnya adalah Nurhayati Husein (1 bulan), Kristiawan Sine (1 tahun), Melandri Matheos (1 tahun), Defita M. Kefi (1,1 bulan), Monika Montero (1 tahun), Sonny Haning (1,8 bulan), dan Yemri Fitriani Naklui (1,5 bulan).

Dina Sonbai, warga RT 03/RW 06 Desa Laus, Oelamasi Kabupaten Kupang ini sebenarnya sudah dua minggu menderita diare. Sebelumnya, kedua orang tua korban sudah mencoba membawa korban berobat di RS. Kayu Putih yang terletak di cabang Oelamasi namun karena sakit yang diderita korban tak kunjung sembuh, maka Yusni bersama sang suami memutuskan untuk membawa korban berobat di RS. Oesao. Namun, karena diare yang diderita tak juga sembuh, pihak RS. Oesao memberikan rujukan agar korban dirawat lebih lanjut di RSU.W.Z Yohannes.

Minggu (18 Januari), sekitar pukul 19.00 Wita, suami istri ini membawa Dina dan dirawat di UGD, hingga kemarin pagi pukul 09.00 WITA, Dina menghadap Sang Pencipta. Berbagai upaya pengobatan telah diberikan kepada korban, saat dirawat di UGD, korban mendapatkan perawatan berupa pemberian infus dan cairan Oralit. Berdasarkan keterangan medis yang didapat koran ini, selain akibat diare, korban juga meninggal akibat menderita infeksi pada organ hati.

Sementara, informasi lain yang diperoleh koran ini di RSU Kupang, menyebutkan bahwa penderita diare yang masih dirawat di ruangan kelas II-III anak ada 15 orang. Sementara pasien gizi buruk yang masih dirawat adalah empat orang. (teo/mg-6)

Melongok Keluarga Balita Penderita Gizi Buruk di Sumba Timur

Bayar Opname dari Uang Hasil Pinjaman
Meski dana yang dianggarkan mencapai ratusan juta rupiah per tahun anggaran namun kasus gizi buruk di Sumba dan Sumba Timur khususnya masih saja terjadi.

Pekan lalu, kasus tersebut merenggut nyawa dua balita. Latar belakang ekonomi yang pas-pasan memicu terjadinya kasus ini. Lantas apa peran Dinas Kesehatan melalui Posyandu?

DJUNAIDI GARIB, Waingapu

RUBEN Rohi (43) ayah dari Arga Setiawan Rohi bayi berusia 9 bulan dengan berat tubuh hanya 4 kg dan sempat menjalani perawatan di RSU Imanuel karena menderita gizi buruk itu, hanya bekerja sebagai buruh bangunan. Isterinya, Martha Wolo (35) juga ibu rumah tangga biasa.

Pendidikan suami isteri inipun tidak cukup. Mereka bahkan tak sampai menamatkan Sekolah Dasar (SD). Ruben adalah perantau asal Seba-Sabu, sedangkan Martha adalah penduduk asli Kelurahan Kambaniru Kecamatan Kambera. Dari hasil perkawinan, pasangan suami isteri ini dikarunia 6 orang anak. Anak tertua, berusia 15 tahun dan bersekolah di SMPN satu atap Padadita-Kambaniru dan duduk di kelas III.

Keluarga yang bermukim di RT 09/ RW 02 Kelurahan di Kambaniru ini juga tergolong miskin. Betapa tidak, rumah yang dihuni mereka hanya berukuran 5 m x 3 m, beratap seng, berdinding gedek bambu dan berlantai tanah. Ironinya, tanah lokasi tempat dibangunnya rumah yang hanya berkamar tidur satu tanpa sarana listrik dan air bersih PDAM itu juga bukan milik mereka tapi pinjaman dari tetangga. "Tanah ini bukan milik kami tapi saya pinjam dari tetangga sebelah. Kebetulan, dia teman baik saya.

Rumah ini tidak ada listrik. Kalau malam, kita pakai lampu minyak tanah saja.
Air PDAM juga tidak ada. Untuk masak dan minum kita pakai dari sumur gali," aku Ruben kepada Timor Express, Minggu (11/1) malam kemarin. Ruben mengisahkan, karena ingin merubah hidup, dia akhirnya memutuskan merantau ke Sumba Timur. Tapi karena pendidikannya tidak memadai, dia hanya bisa bekerja serabutan. Sejak beberapa waktu lalu, Ruben beralih profesi sebagai buruh bangunan dengan penghasilan yang juga tidak menentu. "Kalau ada proyek atau ada pemborong yang panggil kerja baru dapat uang. Itu juga pas hanya cukup untuk makan dan sering juga kurang," jelasnya.

Akibat tekanan ekonomi tersebut aku Ruben, menyebabkan dia tidak bisa memenuhi kebutuhan keluarganya termasuk kebutuhan gizi putra bungsunya, Arga Setiawan Rohi. Sementara menurut isterinya, Martha Wolo, karena menderita diare, Arga dilarikan ke RSU Imanuel dan sempat menjalani rawat inap selama beberapa hari di RS swasta tersebut. "Tapi setelah keluar dari opname (rawat inap, red), kondisinya tidak berubah. Tiap siang dan malam Arga selalu menangis. Saya bingung mau bagaimana lagi karena dikasih susu blek (kaleng, red) Arga juga tidak mau minum sedangkan air susu saya juga tidak ada lagi," imbuhnya.

Selama menjalani perawatan di RSU Imanuel demikian Martha, Arga tidak diinfus. "Saya juga yang meminta perawat di RSU Imanuel agar Arga diopname saja sehingga dia diopname. Tidak tahu lagi sekarang kami mau bagaimana karena uang sudah habis. Untuk biaya opname lalu saya bayar Rp 300.000. Itu juga dari hasil pinjaman," tambahnya.

Martha juga mengaku tidak pernah mendapat makanan tambahan dari Posyandu ketika membawa anaknya kesana. "Kalau ke Posyandu, Arga hanya ditimbang setelah itu kita pulang rumah. Tidak ada makanan tambahan yang kita dapat di Posyandu. Saya sering bawa Arga ke Posyandu Anggrek di Kelurahan Kambaniru ini," paparnya.

Terpisah, Bupati Sumba Timur, Gidion Mbilijora menegaskan, di tahun anggaran 2009 ini, pihaknya mengalokasikan dana penanggulangan gizi buruk sebesar Rp 750 juta. Dana tersebut termasuk pemberian makanan tambahan melalui Posyandu kepada balita dari latarbelakang keluarga tidak mampu. "Kalau makanan tambahan itu tidak diberikan berarti ada yang tidak beres dengan Posyandu dan ini kita akan evaluasi," ulangnya. Tahun 2008 lalu sambung Gidion, di Sumba Timur terjadi sebanyak 161 kasus gizi kurang dan buruk.


Tewas Setelah Ditinggal sang Ibu Jadi TKW
Nyawa Yunita Ina, balita penderita gizi buruk berusia 1,5 tahun dengan berat tubuh hanya 5 kg itu tidak bisa diselamatkan tim medis RSU Imanuel.


Ia menghembuskan napas terakhirnya setelah dua hari menjalani perawatan di rumah sakit tersebut. Lagi-lagi, himpitan ekonomi menjadi penyebab kurangnya asupan gizi pada bayi malang ini.

DJUNAIDI GARIB, Waingapu

KARENA tekanan ekonomi, Sarigina Malo (21) memutuskan menjadi tenaga kerja wanita (TKW). Ia rela meninggalkan Paulus Tamo Ama (30) suaminya dan Yunita Ina bayi pertamanya yang masih berusia 8 bulan pada isteri kakak iparnya, Margareta Tamo Ina (23) di rumah kontrakan sederhana di Kelurahan Matawai Kecamatan Kota Waingapu.

Meski sudah tujuh bulan berada di penampungan TKW di Jakarta namun Sarigina juga belum diberangkatkan ke Malaysia. "Itu karena Sarigina menderita
penyakit gondok sehingga belum berangkat ke Malaysia tapi masih di tempat penampungan sementara TKW disana (Jakarta, red)," kata Margareta Tamo Ina kepada Timor Express, Senin (12/1) malam kemarin.

Menurut Margareta, bayi mungil Sarigina itu dititipkan padanya untuk dirawat. "Sarigina terpaksa titip Yunita Ina pada saya yang waktu itu masih berumur delapan bulan untuk dirawat. Maklum, kondisi kami juga seperti ini jadi merawat Yunita Ina juga apa adanya. Yunita juga lahirnya di rumah ini. Yunita jarang kami kasih minum susu karena mahal pak," aku pedagang kue di pasar Inpres Kambajawa itu.

Ia mengisahkan, karena kurangnya waktu untuk merawat Yunita dengan kesibukannya sebagai pedagang kue, bayi tersebut sering sakit-sakitan. Yunita akhirnya diboyong ibunya, Magdhalena Muri Kaka (70) ke kampung mereka di Palla-Sumba Barat. Di Palla, kondisi Yunita juga tidak membaik bahkan bertambah parah. Itu karena perawatan juga apa adanya. "Maklum pak namanya juga di kampung, makan-minum tidak teratur. Apa yang dimakan orang besar itu juga yang dimakan anak kecil termasuk Yunita sehingga perutnya semakin hari semakin membesar dan sering muntah-muntah dan mencret. Akhirnya, mama (ibunya, red) kembali membawa Yunita ke Waingapu," ujarnya.

Setibanya di Waingapu sambung Margareta, pada tanggal 27 Desember 2008 lalu, keluarga memutuskan melarikan Yunita ke RSU Imanuel untuk dirawat. Namun Tuhan berhendak lain, setelah sempat menjalani perawatan selama dua hari di rumah sakit tersebut, 29 Desember, Yunita menghadap sang Khalik.

Margareta menjelaskan, mayat bayi tersebut sempat disemayamkan semalam di rumah kontrakannya sebelum dibawa kembali ke Palla-Sumba Barat dan dimakamkan 2 Januari lalu.
Margareta juga mengaku, sebelum sakit, dia tidak pernah membawa Yunita ke Posyandu untuk ditimbang dan mendapat makanan tambahan. "Saya tidak tahu apa itu Posyandu karena anak-anak saya juga tidak pernah saya bawa kesana," tandasnya. Omset yang diraihnya sehari dari berdagang kue?, sekarang paling banyak Rp 50.000. "Kalau dulu sebelum dipindahkan dari pasar Inpres Matawai ke pasar Inpres Kambajawa, sehari bisa masuk uang sebanyak Rp 200.000 sampai Rp 300.000.

Tapi sekarang sangat menurun karena di pasar Inpres Kambajawa kurang sekali pembelinya," tambahnya seraya mengharapkan, Pemkab Sumba Timur bisa mempercepat proyek pembangunan pasar Inpres Matawai sehingga dia bisa kembali berjualan di lokasi tersebut. "Bapaknya Yunita Ina, Paulus Tamo Ama adalah adik dari suami saya, Yulius Lende (33) dan sekarang ada di Palla-Sumba Barat. Dia kerja tani disana. Kalau rumah ini kami kontrak sebesar Rp 1.200.000 per tahun. Tapi bagaimana bisa bayar rumah kalau hasil dari jual kue itu hanya sebanyak itu," tukasnya.***

Balita Gizi Buruk di RSUD Ruteng

Senin, 01 Dec 2008
RUTENG, Timex-Seorang balita laki-laki penderita gizi buruk, Eritus Mami,3, asal kampung Purang Mese, Desa Nanga Labang, Kecamatan Borong, Kabupaten Manggarai sejak 21 November lalu hingga kini masih tekapar di ruangan anak RSUD Ruteng. Eritus Mami bahakn tak bisa menelan makanan karena pada bagian mulut terdapat sejumlah luka-luka yang mengeluarkan nanah. Sesekali memanggil ibunya dengan suara yang berat. Kini dia hanya bisa minum baik itu susu maupun air putih.

Kondisnya sangat memprihatinkan, kurus dan tampak sekali dari raut wajahnya jika Eritus kekurangan gizi atau gisi buruk. Berat badannya hanya 8 Kg. Ibu Yustina, ibunda Eritus yang setia mendampingi anaknya kepada Timor Express, Minggu (30/11) di RSUD Ruteng mengatakan, anaknya menderita sakit sejak 3 minggu yang lalu, waktu itu seluruh tubunhya tiba-tiba membengkak, lalu kelurga berinisiatif membawa ke Puskesmas Borong
untuk mendapat perawatan.


Pada kesempatan itu, pihak medis memberikan sejumlah obat sehingga kondisi tubuhnya bisa normal, namun rupanya tidak sampai disitu saja, selang seminggu kemudian pada bagian pinggul kanan timbul benjolan besar dan menggeluarkan nanah yang sangat banyak.

Tidak hanya itu saja, lanjut Yustina, selain benjol di bagian pinggul, anak kelima dari buah kasih bersama Endi Mami itu juga menderita luka-luka pada bagian mulut dan mengeluarkan nana sehingga sangat sulit untuk menelan makanan.

Dia hanya bisa meneguk minuman, itupun juga sangat susah. "Dari pinggulnya yang benjol dan mulut keluar nanah, sehingga tidak bisa makan," katanya. Dikatakan, setelah sering mengeluarkan nanah, keluarga lalu mencoba untuk mengantarkan lagi ke Puskesmas Borong, Matim dan sempat diopname lalu pihak medis merujuk ke RSUD Ruteng untuk penanganan lebih lanjut.

Dia juga mengatakan, selama ini sudah mendapatkan perawatan dari medis sehingga kondisi agak lebih baik, dan berdasarkan keterangan pihak
medis bahwa Eritus menderita gizi buruk. "Kami baru tahu kalau anak kami menderita gizi buruk," jelasnya.

Sementara, Direktur RSUD Ruteng melalui dr. Dayu yang menangani poli anak mengatakan, selama sepekan sejak pasien balita itu masuk di RSUD Ruteng, pihaknya sudah menangani melalui tahap-tahap dalam menangani pasien gizi buruk.

Namun sebelum itu, medis melakukan deteksi awal untuk mengetahui penyakit yang diderita seperti pola makan, penyakit penyerta, dan penyerapan. "Setelah kami deteksi tiga unsur itu, ternyata balita itu menderita gizi buruk,"tegasnya.

"Apalagi berat badannya hanya 8 kg, padahal usianya anak sudah 3 tahun, sementara penyakit penyerta yang dialami adalah TBC kulit sehingga penanganan awal adalah menyelesaikan dulu penyakit penyerta setelah itu baru masuk tahap penyebuhan gizi buruk," tambah dr. Dayu Diakuinya, beberapa langkah yang dilakukan medis dalam menangani pasien gizi buruk adalah pengaturan suhu tubuh, glukosa darah, cairan tubuh dinormalkan, penanganan infeksi TBC kulit, antibiotik, perbaiki nutrisi, rehabilitasi, suplay vitamin seperti vitamin A, multi vitamin, stimulasi,dan tindaklanjut.

"Saat ini, sudah masuk pada tahap stabilisasi dengan pemberian susu formula. Dan kondisinya lebih baik saat ini," katanya. "Kami masih terus menangani tentunya sesuai dengan langkah-langkah dalam penanganan pasien gizi buruk," pungkas dr. Dayu. (kr-2)

Asupan Gizi Sangat Rendah

Kamis, 08 Jan 2009
Dua Penderita Gizi Buruk Tewas

WAINGAPU, Timex- Nyawa Yayan (1,5) bayi asal Anakalangu Kecamatan Katiku Tana Kabupaten Sumba Tengah tak bisa diselamatkan tim medis RSU Imanuel Sumba-Waingapu. Yayan menghembuskan napasnya terakhir Rabu (7/1) pagi kemarin.

Pekan lalu, nasib yang sama juga dialami Yustina Tamu Ina (1,7) bayi asal Kelurahan Matawai Kecamatan Kota Waingapu-Sumba Timur. Dua bayi itu adalah penderita gizi buruk.
Menurut ibu korban kepada wartawan di RSU Imanuel ketika hendak berangkat membawa mayat bayi Yayan ke Anakalangu Rabu kemarin, putrinya tersebut dilarikan ke rumah sakit karena sudah dalam kondisi lemas.

Yayan kehilangan nafsu makan. Sebelum dirawat di RSU Imanuel jelasnya, bayinya itu sempat menjalani perawatan di Puskesmas Sumba Tengah. Tapi karena tidak menunjukkan perubahan berarti, dia memutuskan melarikan bayinya ke Waingapu di RSU Imanuel.

Direktur RSU Imanuel, dr Danny Ch mengatakan, ketika dilarikan ke rumah sakit tersebut kondisi korban sudah kritis karena dehidrasi berat. Bahkan, berat tubuh korban, hanya 3 kilo gram. Pihaknya kata dia, sudah berusaha menolong korban tapi kondisinya sudah sangat kritis. Bahkan, korban sampai mengeluarkan feses (kotoran) melalui saluran pencernaan atas (refluks).

Danny mengungkapkan, sekitar 80 persen dari anak-anak dan balita yang dirawat di rumah sakit tersebut merupakan penderita gizi kurang sebagai akibat asupan gizi yang sangat rendah berimbas pada daya tahan tubuh yang melemah dan mudah terjangkit berbagai penyakit. Hal senada diungkapkan Kepala Bangsal Anak RSU Imanuel, Albina Ngindang.

Menurut Albina, dalam sepekan terakhir ini, pihaknya menerima dan merawat sedikitnya enam penderita gizi buruk dengan berbagai penyakit ikutannya. "Dari enam pasien itu, empat anak berhasil kita selamatkan. Selama satu bulan terakhir ini, sudah sepuluh orang pasien gizi buruk yang dirawat di rumah sakit ini," tegasnya.

Dikatakan, pasien gizi buruk yang saat ini masih bertahan di RSU Imanuel yakni Arga Setiawan, balita berusia 9 bulan asal Kelurahan Kambaniru Kecamatan Kambera.
Anak ke-6 pasangan Marta Wolo dan Ruben Rohi ini, hanya seberat 4 kg. Marta, ibu korban mengungkapkan, di bulan sebelumnya, berat Arga sempat mengalami keniakan sebanyak 0,4 ons tapi kembali mengalami penurunan sebulan terakhir ini.

"Arga lahir atas bantuan dukun kampung. Tapi setelah lahir, saya rajin ke Posyandu. Di Posyandu beberapa waktu lalu saya pernah dapat bubur kacang hijau. Tapi setelah Arga lahir, saya tidak pernah lagi mendapat makanan tambahan itu. Ke Posyandu kita hanya melakukan penimbangan berat badan anak saja dan setelah itu kita pulang ke rumah," tandasnya.
Di RS Kristen Lindimara sebulan terakhir ini juga dirawat tiga pasien gizi buruk.(jun)

NTT,Antara Jagung dan Ternak

(Sebuah Refleksi)
Oleh : Paulus Ngongo Riti

Dirgahayu NTTku 50 tahun Berdiri. Terinspirasi oleh Pernyataan Bapak Gubernur NTT, Drs. Frans Lebu Raya saat panen jagung di Besikama, Kecamatan Malaka Barat, Belu pada 25 November 2008 lalu, munculah ide menuangkan refleksi ini. Ketika itu, Gubernur menegaskan;’’Saya minta masyarakat di daerah ini untuk kerja keras. Kita tidak bisa mengharapkan bantuan dari orang lain tetapi kita harus mulai dari diri kita sendiri.’’ Pernyataan NTT I yang berhasil terpilih secara sangat demokratis bersama pasangannya, Wakil Gubernur Ir. Esthon L. Foenay, M.Si ini pula yang memantik permenungan ini.

Adakah relevansi antara jagung dan ternak? Ini mungkin tidak terlalu penting dijawab. Namun, jika pertanyaannya;’’mengapa mesti jagung dan ternak?’’Maka jawabannya mesti berangkat dari kondisi faktual sesuai realitas kehidupan dalam keseharian masyarakat NTT, yang makanan pokoknya adalah jagung dan secara turun-temurun hidup dari beternak kecil-kecilan.

Dalam konteks itu, penulis berpendapat, upaya jagungnisasi NTT akan semakin lebih mudah dimengerti karena sesungguhnya adalah suatu bentuk upaya mulia menuju sebuah masyarakat NTT yang swasembada pangan, mandiri dan sejahtera. Dengan kata lain, masyarakat NTT tidak lagi hanya mau terus-menerus bergantung pada bantuan dan belas kasihan ‘’orang lain’’.

Logikanya, jika pangan cukup, kita menjadi pribadi yang independen, waktu bisa digunakan untuk mengembangkan kapasitas diri (talenta), dan dana dapat dibelanjakan untuk peningkatan kesejahteraan. Di sisi lain, paradigma baru yang perlu dibangun adalah bahwa harkat dan martabat kita tidak jatuh karena makan jagung, tetapi terus menjadi benalu tanpa tahu malu-padahal sebenarnya bisa karena ranah NTT masih cukup bersahabat-itu yang melahirkan tatapan sinis, dipandang remeh dan dianggap enteng.

Jika sungguh direnungkan, makna dan pesannya jelas. Daripada menunggu raskin dan Bantuan Langsung Tunai (BLT) yang sifatnya hanya temporer dan insidental, semestinya kita sungguh-sungguh manfaatkan dan terus berdayakan pangan lokal yang ada. Ini tentu, terlepas dari warga yang benar-benar berhak menerimanya karena pelbagai keterbatasan yang ada. Dengan demikian, meskipun ‘’75 persen Biaya di NTT dari Pusat’’ (PK,26/11/2008), kalau hanya untuk urusan makan, mestinya kita bisa atasi sendiri. Karena sejatinya, orang NTT cukup dikenal beretos kerja tinggi, ulet dan rajin mengolah lahan pertanian.

Dari paparan tersebut, penulis berpendapat, cara paling bermartabat yang harus dilakukan adalah Doa, Usaha, Iman dan Takwa ( DUIT). Doa menjadi komunikasi paling pribadi antara ciptaan dengan Penciptanya. Dia amat sangat sanggup dan senantiasa siap serta selalu terbuka menerima setiap keluh kesah anak-anak manusia, karena Ia amat mengasihi seluruh ciptaan-Nya.

Pada saat yang sama, perlu Usaha, yakni mau memeras keringat sendiri dengan satu tekad; berdiri di atas kaki sendiri (Berdikari). Selain itu, mesti juga disertai Iman atau keyakinan bahwa Tuhan akan selalu mencurahkan berkat-berkat-Nya atas semua yang telah diusahakan dengan susah payah dan jujur, penuh kesungguhan dan ketulusan hati.

Akan tetapi, agar berkat-berkat menjadi sempurna, maka mesti diimbangi dengan takwa. Secara sederhana, takwa dapat bermakna tahu berterima kasih dan bersyukur baik dalam keadaan susah maupun senang.

Bukan sebaliknya, hanya mengeluh bahkan terus menghujat Sang Pencipta hanya karena hujan yang turun sepanjang hari atau cuaca panas yang membuat gerah. Di sini, kita ditantang untuk menjadi manusia yang tahu bersyukur bukan saja pada saat untung, tetapi juga kala buntung agar diberi hikmat, pengertian dan kekuatan oleh Tuhan Yang Maha Esa (kembali pada Doa).

Di puncak ulang tahun ke-50, kiranya inilah saatnya kita teriakan kepada dunia, bahwa NTT bisa berdikari dan mandiri terutama dalam hal pangan. Masalah kemarau panjang, curah hujan yang rendah, bukanlah penghalang bagi kami untuk terus maju. Ini adalah tantangan sekaligus peluang untuk berpikir kreatif dan berinovasi. Anda setuju, bukan?

Kita masih bisa makan jagung bakar dan jagung rebus sekalipun di tengah musim kemarau? Ini berarti, kondisi alam NTT yang keras dan menantang seperti ini bukanlah penghalang bagi anak Nusa untuk terus eksis dan berkreasi. Selain tentu, salah satu bukti konkrit bahwa kita sebenarnya bisa, asalkan berkemauan keras dan terus berjuang mengolah begitu banyak lahan tidur yang ada. Karena itu, secara sadar atau tidak, memelihara kebiasaan malas, harap gampang, lemah kemauan dan daya juang, pasrah pada nasib, apalagi menjadi apatis seolah-olah kemiskinan adalah takdir tentu bukanlah hal yang bijaksana.

Fisolofi bahwa di balik gunung selalu terbentang tanah terjanji mesti menjadi kekuatan sekaligus daya dorong untuk terus maju. Syaratnya? Tentu adalah mau bekerja keras dan harus mulai dari diri kita sendiri, seperti ungkapan dan harapan orang nomor satu NTT di awal tulisan ini. Satu yang pasti, kita (masyarakat NTT) tidak bisa (terus-menerus) mengharapkan bantuan dari orang lain.

Secara umum-meski terlanjur distigma miskin, bodoh dan terbelakang, satu hal yang sedikit menghibur adalah fakta bahwa nyaris tidak kita temui orang NTT yang menjadi gepeng (gelandangan dan pengemis) baik di perempatan jalan, lampu setopan, pusat-pusat perbelanjaan maupun dalam bis kota di NTT.

Sejalan dengan itu, jika sejenak kita cermati, maka upaya jagungnisasi dan pengembangan peternakan sesungguhnya memiliki keterkaitan yang sangat erat dengan program para Gubernur sebelumnya. Ini menunjukan komitmen dan konsistensi para Gubernur NTT bagaimana menahkodai bahtera ini bersama seluruh penumpangnya selamat tanpa ada yang harus tertinggal karena busung lapar, gizi buruk dan rawan pangan.

Dengan demikian, jika penumpangnya sudah berkecukupan pangan, maka ada jedah untuk memanfaatkan waktu dan kesempatan secara berdaya guna dan berhasil guna, sekaligus merancang masa depan yang lebih baik.

Gubernur W.J Lalamentik, misalnya, dengan program Komando Operasi Gerakan Merata (KOGAM). Gubernur El Tari dengan program Tanam-Tanam, Sekali Lagi Tanam. Gubernur dr. Ben Mboy dengan Operasi Nusa Hijau, Operasi Nusa Makmur, Operasi Nusa Sehat (ONM,ONH,ONS), antara lain; jagung Hibrida dan Lamtoro Gung yang sangat berhasil pada masa itu.

Gubernur dr. Hendrik Fernandez melalui program dan Mars Gempar (Gerakan Meningkatkan Pendapatan Asli Rakyat). Gubernur Herman Musakabe dalam Tujuh Program Strategis; salah satu hasilnya adalah jagung bakar di sepanjang Jl. El Tari-Kupang, selain arena pameran Fatululi, Aula El Tari serta pemakaian kain tenun pada hari Kamis.

Kesinambungan program pemerintah sebelumnya kita lihat juga dalam motto Gubernur Tallo; Mulailah dengan Apa yang Ada pada Rakyat dan Apa yang Dimiliki Rakyat melalui Program Tiga Batu Tungku. Kristalisasi komitmen kerakyatan itu terus berlanjut hingga saat ini dalam duet Gubernur dan Wakil Gubernur sekarang, yakni; Delapan Agenda Prioritas Pembangunan dalam spirit Anggur Merah (Anggaran Untuk Rakyat Menuju Sejahtera). Di antaranya adalah program Jagungnisasi dan Hewan Ternak.

Atas dasar itu, maka sesungguhnya siapapun yang menjadi anak kandung provinsi ini tidak perlu kaget dan heran apalagi malu ketika berbicara tentang nasi jagung. Tentu kita sepakat bahwa ini adalah makanan rakyat NTT pada umumnya sehingga menjadi semakin mudah untuk dimengerti; jika kita punya cukup banyak persediaan jagung dan tidak malu makan nasi jagung (baca; pangan lokal), maka kita tidak akan ribut lagi masalah rawan pangan, gizi buruk.

Tidak perlu terlalu resah dan gelisah ketika persediaan beras padi menipis atau tidak ada. Karena itu, agar lebih kaya kalori dan gizi, bisa menghemat pengeluaran serta tidak terlalu terasa duri saat ditelan, mengapa tidak membuat nasi Merah Putih a’la NTT? Bahannya cukup beras jagung dicampur dengan beras padi. Bisa juga Nasi Campur a’la NTT, seperti jamak terjadi beras jagung dicampur kacang merah (kacang nasi) atau kacang hijau dan sedikit beras padi. Perbandingannya tergantung kebutuhan keluarga.

Dengan demikian, penghasilan rumah tangga yang ada dan mungkin terbatas tidak tersedot habis hanya untuk membeli beras padi. Konsekwensi logisnya dapat dialokasikan untuk kebutuhan lain seperti membiayai anak sekolah, belanja lain bagi peningkatan gizi keluarga, seperti ikan, telur, ayam. Jika perlu sepotong dua potong pakaian, dan sedikit sarana informasi seperti TV dan tape sejauh memungkinkan.

Bahkan, bukan tidak mungkin akan mampu menyicil sedikit demi sedikit bahan bangunan seperti seng, beberapa potong batu bata dan sejenisnya. Selain itu, anggaran pemerintah pun yang nota bene sudah terbatas bisa dialokasikan untuk pembangunan infrastruktur seperti sarana dan prasarana rumah sakit, obat-obatan, jalan, dan sebagainya.

Dengan demikian, pemerintah daerah tidak selalu harus mengalokasikan lagi dana yang begitu besar hanya untuk menangani masalah rawan pangan dan gizi buruk. Bayangkan, ‘’Butuh Rp.57 M Tangani Gizi Buruk di NTT,’’ (Timeks, 2/9/2008).

Bukankah dana sebanyak itu bisa dimanfaatkan untuk memperbaiki ruas jalan beratus-ratus kilometer? Atau membangun sebuah rumah sakit tipe C, misalnya. Mungkin juga-dalam kasus tertentu, rakyat kecil tidak perlu dijejali dengan segudang istilah asing yang sudah pasti sulit dilafalkan, diingat bahkan mungkin tidak pernah dimengertinya.

Marasmus, kwashiorkor, marasmus kwashiorkor, misalnya. Meskipun hal itu bukan tabu karena bermakna positif dan bertujuan baik, tetapi tentu kurang bijak dan bajik jika berhadapan dengan masyarakat awam. Apalagi jika tidak disertai penjelasan dan pesan sederhana yang benar-benar dapat dimengerti masyarakat akar rumput.

Pepatah tua sedikit bicara banyak bekerja kiranya tetap aktual hingga kini. Oleh karena itu, program populis untuk kemaslahatan banyak orang seperti telah dibuktikan Provinsi Gorontalo, tentu menjadi tugas kita bersama untuk Sehati Sesuara menyukseskannya, demi NTT Baru yang kita impikan bersama.

Paling kurang-menurut penulis, NTT yang mampu berswasembada pangan, yang kembali pada jati diri mengkonsumsi pangan lokal dan berjuang atas dasar keringat sendiri menjaga kehormatan yang - kecuali karena anomali iklim, tidak mau terus-menerus menadahkan tangan pada belas kasihan orang lain? Ya sedapat mungkin, NTT yang bebas dari masalah rawan-pangan, gizi buruk, kurang gizi, tanah longsor, bahaya banjir dan stigma bodoh, miskin dan terbelakang.

Caranya, mari kita aktualisasikan program tersebut sesuai talenta masing-masing. Misalnya, beternak itu menguntungkan, menanam itu investasi masa depan dan makan jagung itu baik. Bahwa kalau pangan tersedia cukup di lumbung, meskipun yang ada adalah jagung, umbi ketela pohon yang telah dikeringkan, labu merah, dan pangan lokal sejenisnya, maka kita tidak akan menderita rawan pangan lagi; juga waktu, tenaga dan pikiran bahkan uang tidak lagi terkuras hanya untuk mendatangkan bahan pangan (baca:beras padi) yang harganyapun semakin hari semakin melambung.

Tantangan lainnya pasti ada. Kecenderungan generasi muda yang tidak mau terjun ke ladang/kebun, budaya instant, anomali iklim hingga penggunaan pestisida dalam pembersihan lahan amesti menjadi tantangan penelitian pihak berkompeten, guna mengetahui dampak jangka panjangnya bagi kesuburan bumi kita.

Di batas ini, dengan tidak mengurangi rasa hormat pada para penderita diabetes mellitus, kita tentu sepakat bahwa tidak perlu menunggu saran dokter (baca: sakit gula) dulu baru mau makan jagung, bukan?

Jagung dan ternak bagi penduduk asli NTT tentu bukan hal baru. Provinsi yang sangat akrab dengan kemarau panjang selama 8 (delapan) bulan dan musim penghujan yang hanya 4 (empat) bulan ini, selain sangat cocok untuk komoditi jenis ini, juga paling sesuai dengan kultur penduduk asli NTT, yang sejak para leluhur telah hidup dengan jagung dan memelihara hewan ternak.

Bahkan demikian terkenalnya NTT sebagai gudang ternak pada masanya (salah satunya Pulau Sumba), Taufiq Ismail, hanya dengan mendengar cerita saja begitu terinspirasi meciptakan Puisi ’’Beri Daku Sumba’’ pada tahun 1970. Walaupun, Sang Penyair kawakan Indonesia ini sendiri baru sempat mengunjungi Sumba pada tahun 1992. Boleh jadi, dimensi puisi ini mesti dipandang sebagai sebuah pengakuan konkrit sekaligus pesan moril dari saudara kita, bahwa NTT pernah jaya dengan label sekaligus kebanggaan sebagai gudang ternak nasional yang perlu terus dilestarikan.

Akan tetapi, pertanyaannya adalah dimanakah kejayaan itu? Dibandingkan pengantarpulauan hewan (bukan daging!) yang tidak didukung dengan usaha dan upaya nyata pengembangbiakan secara konsisten baik swasta, masyarakat maupun Pemerintah daerah, pesta adat hanyalah sebuah contoh terkecil.

Celakanya lagi, ekspor hewan tidak memperhitungkan jenis kelamin dan usia produktif hewan, sehingga secara perlahan, nasib hewan di NTT tidak lebih mujur dari kayu Cendana, yang namanya begitu harum disebut, tetapi begitu sulit dijumpai secara bebas menebarkan aroma semerbak di alam nyata.

Jagung, sekilas memang terdengar begitu sederhana. Namun, dari tanaman yang terlihat begitu bersahaja bahkan cenderung dipandang sebagai makanan kelas dua ini, telah menyelamatkan berjuta-juta nyawa dari penyakit diabetes mellitus. Tak sedikit pula anak kandung provinsi ini yang menjadi orang besar bahkan ikut mempengaruhi kebijakan nasional di negeri ini. Profesor, Doktor, Gubernur, Wakil Gubernur, Perwira Tinggi TNI/Polri, Dosen, Bankir, Bahkan Menteri.

Dari ulasan itu, maka yang paling penting adalah aksi nyata dari sebuah rencana aksi. Betapapun bagus sebuah program, tidak akan berdampak positif apalagi mengharapkan multiplier effect (dampak ikutan), jika tidak didukung dengan tindakan nyata warga NTT sendiri secara konsisten dan konsekwen, serta kemauan keras (strong determination) untuk BERDIKARI.

Kita tentu sepakat untuk tidak perlu menunggu datangnya ‘’Mr. Claus’’ dan kemudian beramai-ramai antri. Kita pun tidak boleh lansung terlampau pesimistis dengan alasan iklim, pasar atau dalih pembenar lainnya-meskipun itu logis-sebelum bertarung. Bukankah Sesepuh NTT, Gubernur Ben Mboy dengan amat bijaksana telah mengingatkan; ‘’Kalau bukan sekarang, kapan lagi dan kalau bukan kita, siapa lagi?.


*) Sumber : Timor Express

Empat Orang Penderita Diare Dirawat

Rabu, 31 Dec 2008
KUPANG, Timex--Penyakit diare kian meluas, menjangkiti warga Kota Kupang. Kemarin, koran ini berhasil mengidentifikasi lagi empat pasien baru, yang dilarikan ke Instalasi Gawat Darurat (IGD) RSU Kupang, mereka yakni... Mikael Mbau (5 bulan) warga Osmok Kelurahan Alak, Suika Ekawati bocah (7 bulan) warga Kelurahan Nunhila, Bernadus Tefa (9 bulan) warga Kelurahan Maulafa dan Buang Radja (7 bulan) warga Manutapen. Mereka tengah dirawat di ruangan kelas III anak RSU Prof. W Z Johanes Kupang. Data ini belum termasuk beberapa lansia yang dirawat intensif karena menderita diare.

Informasi yang dihimpun wartawan koran ini di ruangan UGD RSU Kupang, kemarin dari sejumlah sumber diantaranya Ramli, orangtua Suika Ekawati, ia mengurai Suita menderita sakit sejak tiga hari lalu. gejalanya panas tinggi diikuti buang air besar secara terus menerus. Sedangkan penderita lain atas nama Mikael Mbau, mengalami gejala yang sama. Hal yang sama terjadi puda pada pasien lainnya.

terpantau, di ruangan kelas II dan III anak RSU Kupang, kemarin, hampir seluruh ruangan kelas II dan III anak penuh pasien dengan penyakit berfariasi, misalnya demam berdarah, ada juga gizi buruk namun yang dominan adalah penderita diare.

Perkembangan penderita diare dalam sepekan terakir, khusus pasien anak ruangan kelas II dan III anak penuh sehingga harus dirawat di ruangan UGD karena saking banyaknya.
Menanggapi meningginya penyakit diare, dr Frans Taolin yang ditemui koran ini kemarin menjelaskan gejala diare adalah buang air besar encer yang lebih sering dari biasanya, dapat berupa air saja, bila mengandung darah disebut desentri.

Diare sangat berbahaya karena bahaya utamanya adalah kekurangan cairan sehingga dapat mengakibatkan kematian. Penyebab adalah makanan dan minuman yang tercemar oleh kuman penyakit atau bahan kimia.

Penyebab tidak langsung melalui kotoran/berak di sembarang tempat dengan media penularan seperti air, serangga (lalat, kacoa, tikus) tanah dan tangan sampai ke makanan dan minuman manusia.

Gejala bagi anak yang terserang diare yakni gelisah/rewel, lemah sampai tidak sadar, mata cekung, amat cekung sampai kering. Minum biasa haus ingin minum banyak sampai tidak bisa minum karena muntah terus. (teo)

Ketiadaan Pangan Sebabkan Masalah Gizi

Rabu, 12 Nov 2008
KUPANG, Timex--Dari aspek medis, ada tiga penyebab langsung dari masalah gizi keluarga yakni kurangnya ketersediaan pangan di tingkat rumah tangga, pola asuh keluarga, dan kurangnya akses terhadap pelayanan kesehatan yang berkualitas. Demikian Wawali Daniel Hurek ketika membuka sosialisasi program Nutrition Improvement Through Community Empowerment (NICE), Selasa kemarin di Hotel Kristal.
Menurutnya, ketiga faktor penyebab ini gilirannya terakumulasi dalam persoalan yang lebih kompleks baik dari sisi jenis dan besarannya, sehingga cenderung menimbulkan kesulitan dalam menerapkan model perbaikan gizi yang lebih spesifik, selain tindakan kuratif dan rehabilitatif.

Kondisi ini perlu dikaji mendalam, model pencegahan dan penanggulangan masalah gizi yang komprehensif sepatutnya disesuaikan dengan kondisi masing-masing daerah dengan melihat fenomena kehidupan masyarakat yang mencakup keseluruhan aspek baik itu internal maupun eksternal.

"Saya melihat, akar persoalan kasus kurang gizi atau gizi buruk sesungguhnya terletak pada faktor kelalaian banyak keluarga untuk memilih dan menetapkan hal-hal mana yang perlu menjadi prioritas dalam pola hidup rumah tangga,"tambahnya.

Disamping itu pula, pola pikir dan budaya masyarakat yang cenderung memilih dan mengkonsumsi makanan-makanan instan dianggap lebih bergengsi daripada makanan-makanan lokal bergizi, telah ikut berpengaruh terhadap kualitas gizi keluarga.

Ia menawarkan kata kunci untuk menanggulangi persoalan kesehatan secara umum, terutama fenomena gizi balita dan kesehatan ibu hamil maupun ibu menyusui di kota ini adalah perlunya melakukan "transformasi" pola pikir masyarakat tradisional ke pola pikir masyarakat modern.

Ia berharap proyek NICE yang akan dikoordinir oleh Bappeda dan Dinas Kesehatan benar-benar akan menemukan model tepat yang sesuai dengan kondisi dan karakter masyarakat terutama bagi keluarga kurang mampu.

Ia berpesan sosialisasi ini perlu dikembangkan secara meluas bukan hanya pada tataran institusi atau kelembagaan, tetapi sampai ke lapisan masyarakat paling bawah. Masyarakat kurang mampu harus tahu apa hakekat dari proyek NICE dan sejauhmana program ini mampu memberi dampak positif terhadap derajat kesehatan mereka, khususnya bagi balita, ibu hamil, dan ibu menyusui.

Keberhasilan atau kegagalan program bidang kesehatan yang direncanakan sangat bergantung kepada keberhasilan atau kegagalan pengelolaan dan kelembagaan. (boy)

40 Persen Ibu Hamil Anemia

Minggu, 09 Nov 2008
Timex. IBU hamil yang kebutuhan zat besinya tak mencukupi ternyata masih tinggi. Padahal, mineral itu sangat penting untuk menjaga kondisi ibu selama hamil. Zat besi juga memengaruhi proses tumbuh kembang janin selama dalam kandungan.
Mengutip data departemen kesehatan, di antara 10 ibu hamil di Indonesia, empat orang menderita anemia. Dua di antaranya bahkan kekurangan gizi. ''Anemia bisa diatasi. Kalau sampai ada ibu hamil yang mengalami anemia dan kekurangan gizi, itu kan memprihatinkan,'' kata dr Amang Surya SpOG, ahli kebidanan dan kandungan RS Spesialis Husada Utama.

Menurut dia, anemia sering terjadi pada ibu hamil. Sebab, kebutuhan zat besi meningkat tiga kali lipat, dari 200 mikrogram saat tidak hamil menjadi 600 mikrogram saat hamil.
Zat besi, lanjut Amang, bisa didapat dari bahan makanan berupa sayuran berdaun hijau dan kacang hijau. Kebutuhan besi juga bisa dipenuhi dengan konsumsi suplemen berupa susu atau tablet, bergantung kebutuhan dan kesukaan ibu hamil. ''Konsumsi bahan makanan atau suplemen zat besi dimulai saat usia kehamilan masuk trimester kedua,'' ungkapnya.

Jika dikonsumsi pada trimester pertama, lanjut Amang, dikhawatirkan ibu hamil jadi enek (mual). Padahal, saat itu ibu hamil biasanya sering mual dan muntah. ''Bila ditambah konsumsi zat besi, frekuensi mual dan muntah akan meningkat,'' katanya.

Amang menjelaskan, zat besi sangat bermanfaat bagi ibu hamil dan janin. Bila kekurangan zat besi, pembentukan hemoglobin bisa terganggu. Padahal, hemoglobin bertugas mengantarkan nutrisi dan oksigen dari ibu ke janin. ''Jika pembentukan hemoglobin terganggu, pemenuhan nutrisi untuk janin jadi berkurang,'' katanya.

Kalau itu terjadi, saat lahir, bayi bisa menderita anemia dan defisiensi gizi. Bayi juga bisa terlahir dengan berat badan di bawah normal (berat lahir rendah). ''Kualitas bayi dalam kondisi tersebut jelas tidak bagus,'' jelasnya.

Bagi ibu, kekurangan besi membuat kondisi tubuh tidak prima. Sering pusing, lemas, dan seperti tak bertenaga. Saat persalinan, dikhawatirkan terjadi komplikasi perdarahan. ''Perdarahan bisa mengancam nyawa ibu,'' kata Amang.

Karena itu, kata Amang, ibu hamil seharusnya memperhatikan dampak negatif kekurangan besi tersebut. ''Bila rutin kontrol ke dokter atau bidan, anemia tak akan dialami. Sebab, dokter atau bidan pasti membekali ibu hamil dengan zat besi,'' ujarnya. (jpnn)