Jumat, 18 Juni 2010

Di Belo, Banyak Jalan Rusak

Jumat, 18 Juni 2010 

KUPANG, POS KUPANG, Com -- Jalan lingkungan di wilayah Kelurahan Belo, banyak yang rusak. Kondisi ini dikarenakan tidak adanya pemeliharaan.

Hal ini dikatakan beberapa warga Kelurahan Belo, diantaranya, David Tuan dan Dortia T. Takene, saat ditemui, Rabu (16/6/2010).

Tuan dan Takene mencontohkan jalan yang rusak seperti jalan menuju ke Susteran Belo serta jalan lainnya yang ada di wilayah RT5/03.

"Ruas jalan ini dulunya diaspal tetapi sekarang  aspal sudah hilang dan batu-batu mulai terlepas. Kalau bisa pemerintah bisa memperhatikan ruas-ruas jalan yang rusak tersebut," kata Tuan.

Ditemui terpisah, Lurah Belo, Frieds N Frans, S.STp juga mengakui kalau secara fisik ada banyak jalan ruas jalan di Belo yang rusak. Namun dengan menggunakan dana PNPM perkotaan akan dilakukan pembangunan jalan yang rusak. "Untuk ini juga dilakukan dengan menggunakan skala prioritas. Namun secara bertahap jalan-jalan yang rusak diperbaiki," kata Frans saat ditemui di ruang kerjanya, Kamis (17/6/2010).

Mengenai ruas jalan yang menghubungkan RT 9 dan RT 4 yang sampai saat ini belum terhubung sekitar puluhan meter, Frans mengungkapkan, sudah ada tim teknis yang turun untuk mengukur ruas jalan tersebut.

"Mudah-mudahan dalam ABT nanti bisa diprogramkan sehingga ruas jalan ini bisa terhubung. Jika tidak maka masyarakat harus  berputar jauh. Padahal ruas jalan tersebut sudah dibangun beberapa tahun lalu," jelasnya. (ira)

Alor Miliki Dua Lokasi Panas Bumi

Jumat, 18 Juni 2010
 
KALABAHI, Pos Kupang.Com -- Potensi panas bumi di Kabupaten Alor terdapat di dua lokasi, yakni di Tuti Adagai, Desa Air Mancur, Kecamatan Alor Timur Laut (ATL), dan satu lagi di wilayah Korolou, Desa Aramaba, Kecamatan Pantar Tengah.

Sekretaris Dinas Pertambangan dan Energi Kabupaten Alor, John Pulingmahi, dan pejabat teknis, Mersy Sumaa, kepada Pos Kupang di Kalabahi, Rabu (16/6/2010), menjelaskan, dua lokasi potensi panas bumi ini telah disurvai tim dari Direktorat Inventarisasi Sumber Daya Alam Pusat sekitar tahun 2003. Ketika itu, ungkap Sumaa, di Korolou tim baru melakukan survai pendahuluan. Sedangkan di Tuti Adagai, tim mulai fokus dengan survai permukaan anomali panas. Setelah survai permukaan di daerah Tuti Adagai, tim berlanjut dengan kegiatan pengeboran pada dua titik di tepi pantai di wilayah itu atau di luar dari kawasan konservasi hutan lindung. Namun bersamaan itu pada tahun 2004 terjadi gempa bumi sehingga saat itu kegiatan pengeboran tidak dilanjutkan.

"Kegiatan tidak dilanjutkan hingga saat ini karena terbentur dengan masalah izin lokasi dan masalah sosial kemasyarakatan di wilayah itu. Izin menjadi sulit karena pusat panas bumi itu berada di dalam kawasan konservasi," jelas Sumaa.

Dia mengatakan, masalah izin pernah dibicarakan, tapi pihak KSDA tidak mengizinkannya dengan alasan di lokasi hutan konservasi  itu terdapat sejumlah binatang yang dilindungi, seperti ular dan burung yang spesifik.

Dia mengungkapkan, potensi panas bumi di Tuti Adagai cukup tinggi, baik untuk pemakaian tidak langsung maupun langsung. "Untuk pemakaian tidak langsung, biasanya dijadikan sumber energi listrik. Sementara pemakaian langsung, biasanya digunakan untuk pengeringan hasil pertanian atau hasil laut," ungkapnya.

Dia menandaskan, potensi panas bumi Tuti Adagai berdasarkan hasil survai, yaitu  masih berupa kemungkinan atau cadangan  potensi listrik sebesar 26 megawatt (MW).

"Bisa bayangkan potensinya jika kita bandingkan dengan mesin pembangkit yang dihasilkan PLN di Alor karena kekuatannya mungkin tidak sampai 1 MW," tandasnya.

Mengenai potensi panas bumi di Korolou, Pulingmahi menjelaskan, lokasi itu tidak masuk hutan lindung atau konservasi. Survai pendahuluan menemukan mata air (sumber air) yang panas, air panas yang mengalir di sungai atau air belerang, dan tanah di sekitar lokasi tersebut juga dalam kondisi panas.

"Kondisi air dan tanah yang panas ini biasanya dimanfaatkan masyarakat setempat. Bila ke hutan untuk berburu binatang, biasanya masyarakat bawa ubi atau telur, gali tanah lalu masukkan ubi dan telur. Dalam waktu singkat ubi dan telur sudah masak dan masyarakat menjadikannya bekal untuk
berburu," tambahnya. Lokasi tersebut, kata dia,  ke depannya, jika pemerintah berencana melakukan survai lebih mendalam, maka akan diarahkan ke wilayah itu.

"Kita belum tahu potensi energinya sebab baru survai pendahuluan. Tapi yang jelas kandungan panas bumi ada,"  tandasnya sambil menambahkan lokasi ini dekat dengan Gunung Api Sirung. (oma)

Harga Kakao dan Kopra di Watuneso Merosot

Jumat, 18 Juni 2010
Dipermainkan Tengkulak

ENDE, Pos Kupang.Com-- Harga hasil bumi seperti kakao dan kopra milik petani di Kelurahan Watuneso, Kecamatan Lio Timur, Kabupaten Ende merosot. Kondisi ini sangat merugikan petani setempat.  Pasalnya, harga hasil bumi seperti kakao dan kopra selalu naik turun/tidak stabil membuat petani selalu merugi. Petani minta pemerintah campur tangan soal harga.
Demikian keluhan beberapa petani Watuneso, kepada Pos Kupang, Kamis (17/6/2010) siang.

Para petani ini, yakni Grasia Pah, Yuliana Seja, Emerensiana Seku, dan Yudith Ndeo. Mereka mengeluh soal harga kakao yang tidak stabil dan cenderut mersot harganya. Kondisi ini sudah berlangsung lama. Anehnya, pemerintah tidak memberikan sanksi kepada para tengkulak ini.

"Perubahan harga terjadi setiap minggu. Kadang harga baik tapi lebih banyak yang harganya merosot," kata Grasiana
Dijelaskannya, harga kakao dari Rp 20 ribu/kg turun menjadi Rp 15 ribu/kg. Harga yang tidak stabil ini membuat petani bingung.


"Harga sudah tidak baik lalu hasil kakao juga menurun karena  diserang hama. Kami bingung dan pusing. Kami sebagai etani hanya pasrah dan tidak bisa buat apa lagi," kata Grasiana.
Hal yang sama dipaparkan Yuliana. Dia mengatakan, selain kakao, harga kopra mersot dan membingungkan petani di Watuneso.

"Penjual kopra paling banyak dari wilayah Paga dan Maumere. Hari ini harganya lain dan besok sudah lain lagi harganya. Kami terpaksa menjual saja yang penting cepat terjual dan kami bisa membeli beras untuk makan," kata Yuliana.
Para tengkulak ini, kata Yuliana, sering menurunkan harga semaunya. Petani dibuat tak berdaya dan tidak mendapat untung. Petani memilih mencari pekerjaan lain seperti menjual kayu bakar di jalan negara.

Dijelaskannya, hasil kopra setiap tahun selalu melimpah. Namun petani tidak pernah untung karena permainan harga dari para tengkulak. "Tanaman kakao dan kopra juga terkena serangan hama," kata Yuliana.(ris)

Dua Kades Diduga Selewengkan KUBE

Jumat, 18 Juni 2010
 
TAMBOLAKA, Pos Kupang.Com -- Dewan Perwakilan Rakyat Daerah  Sumba Barat Daya (SBD) mendesak pemerintah setempat menindak  oknum Kepala Desa Wailabubur dan oknum Kades Kori, Kecamatan Kodi Utara, Kabupaten SBD. Keduanya diduga menyelewengkan dana kelompok usaha bersama (KUBE) tahun anggaran (TA) 2009.

Dana Kube ini merupakan bantuan pemerintah untuk 170 kelompok atau untuk 1.700 anggota dengan besaran dana Rp 2 juta/anggota.

Berdasarkan hasil kunjungan dewan ke beberapa kelompok penerima bantuan, diperoleh informasi dana Kube tersebut tidak dikelola pengurus kelompok, tapi dikelola kepala desa.
Diduga kedua oknum kades ini menyunat dana untuk  setiap kelompok dengan beragam alasan yang tak masuk akal.
Demikian penyampaian tim DPRD SBD yang berkunjung ke Kecamatan Kodi Utara, Kodi dan Kodi Bangedo dalam rapat paripurna DPRD SBD, Senin (14/6/2010).

Rapat dipimpin Wakil Ketua DPRD SBD, Gerson Tanggu Dendo, S.H, dihadiri Wakil Bupati SBD, Jack Malo Bulu, serta pimpinan SKPD.

Tim dewan ini menemukan, dari 10 kelompok usaha bersama dengan 100 orang anggota di Desa Wailabubur, Kecamatan Kodi Utara, ditemukan pencairan tahap I Rp 150 juta dengan rincian Rp 1,5 juta/anggota.

Namun berdasarkan pengakuan kelompok penerima bantuan dan pengakuan Kades Wailabubur, dana KUBE dibagi kepada kelompok  hanya Rp 60 juta atau 600 ribu/kelompok dari seharusnya Rp 1,5 juta/kelompok. Dia menyetor dana tersebut ke Dinas Sosial atas permintaan oknum di dinas itu sebesar Rp 6 juta. Dana kelompok yang masih berada di tangan Kades Wailabubur sebesar Rp 84 juta.

Namun pengakuan Kades Wailabubur mendapat protes  kelompok penerima bantuan yang mengaku tidak semua kelompok mendapat bantuan dana Kube sesuai ketentuan. Misalnya, ada dua kelompok memperoleh Rp 600 ribu/anggota, satu kelompok memperoleh Rp 700 ribu/anggota, bahkan ada anggota kelompok hanya memperoleh 150 ribu/anggota dan  450 ribu/anggota.

Diperkirakan dana KUBE yang masih ada di tangan Kades  Wailabubur bukan cuma Rp 84 juta, tapi lebih besar dari itu.
Oknum Kades Kori, Kecamatan Kodi Utara, SBD,  diduga memotong dana KUBE Rp 100 ribu/anggota dengan alasan membeli obat dan pembuatan kandang babi. Ternyata hal itu tidak dilakukan. Bahkan Kades Kori menyatakan hak anggota ada di tangan kepala desa.

Sedangkan di Desa Kalenga Rongo, Kecamatan Kodi Utara, ada dua ketua kelompok diduga tidak membagikan dana KUBE kepada kelompok penerima bantuan. Akibatnya, warga melaporkan dua oknum ketua kelompok ke Polsek Kodi Utara.
Karena itu, DPRD SBD meminta  pemerintah segera berkoordinasi dengan Polsek Kodi Utara untuk menuntaskan kasus tersebut sesuai ketentuan  yang berlaku. (pet)
--------------tabel-------------
Tim kunjungan DPRD SBD:
Koordinator Gerson Tanggu Dendo, S.H
Ketua          Heribertus Pemudadi, S.Sos
Sekretaris     Rudolf Radu Holo
Anggota       Soleman Tari Wungo
Anggota     Thomas Tanggu Dendo
Anggota     Oktavianus Holo
Anggota    Antoneta Kura
Anggota   Agustinus Mali
Anggota   Oktavianus Djama Nuna.

Dana BLT Rp 1,7 Miliar Diduga Ditilep

Jumat, 18 Jun 2010
Tak Dikembalikan ke Kas Negara

RUTENG, Timex-Kantor Badan Pemberdayaan Masyarakat Desa (BPMD) Kabupaten Manggarai diduga telah menyunat dana sejumlah Rp 1,7 miliar lebih.
Dana tersebut adalah dana bantuan langsung tunai (BLT) tahun 2007 yang ditarik kembali karena jatuh ke tangan aparat desa.

Karena itu, pihak Kajaksaan Negeri Ruteng diminta untuk mengusut kasus itu sehingga keberadaan uang tersebut semakin jelas. "Ada sekira Rp 1,7 miliar dana BLT tahun 2007 yang disunat aparat BPMD Manggarai. Uang tersebut adalah uang yang tidak diberikan ke masyarakat karena penerima jatuh ke tangan aparat desa dan tidak dibenarkan dalam aturan," kata anggota DPRD Manggarai, Robert Funay kepada koran ini, Selasa (15/6).

Robert mengatakan, sebelumnya kalangan Dewan pernah menyoroti hal itu sebab sudah menjadi temuan BPK NTT dan direkomendasikan agar dikemablikan ke kas negara sesuai aturan yang berlaku. Namun, sampai saat itu ternyata dana miliaran tersebut belum juga dikembalikan ke kas negara sehingga diduga kuat jika dana tersebut telah ditilep oleh pihak BPMD Manggarai yang mengelolah dana BLT tahun 2007 itu.

Lebih lanjut, kata Robert, disinyalir dana tersebut masuk di rekening pribadi orang tertentu pada BPMD Manggarai. Sebab tidak jelas pertanggungjawabannya. Padahal, BPK sudah mengeluarkan laporan hasil pemeriksaan (LHP) dan membuat tagihan agar mengembalikan uang tersebut ke kas negara. Karena itu, ia meminta agar aparat penegak hukum pihak Kejari Ruteng dan kepolisian untuk mengusut persoalan ini sehingga tidak ada yang dirugikan termasuk Pemkab Manggarai.

Dikatakan juga, pihaknya sudah mengecek di Kantor Pos Ruteng apakah benar dana tersebut sudah dikembalikan atau belum ke kas negara, ternyata pihak Pos Ruteng belum menyetor kembali ke kas negera. "Saya menduga kuat dana tersebut digelapkan oleh pihak BPMD Manggarai," katanya.

Sementara Kepala BPMD Manggarai, Blasius Patut yang dihubungi terkait persoalan itu mengatakan dana sisa BLT tahun 2007 yang ada di rekening BPMD Manggarai sebanyak Rp 56 juta, bukan sebanyak Rp 1,7 miliar. Soal seperti yang disampaikan anggota dewan, ia mengaku belum tahu sebab saat itu dirinya masih menjabat sebagai Kabag Pembangunan Setda Manggarai. Yang menjadi Kepala BPMD saat itu adalah Alo Abar. "Yang ada di rekening BPMD saat ini dana sisa BLT sebanyak Rp 56 juta," kata Blasius.

Ia juga mengatakan, pihaknya masih mencari dokumen-dokumen terkait dengan dana BLT tersebut sebab selama ini ada masukan dan laporan tetapi masih dicari dokumen yang pasti. (kr2)

RSUD Larantuka keurangan Tenaga Medis

Jumat, 18 Jun 2010
Pelayanan Dinilai Buruk
LARANTUKA, Timex-Pelayanan Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Larantuka dikeluhkan pasien. Pelayanan yang tidak maksimal diakibatkan oleh kurangnya tenaga kesehatan terlebih dokter hhli. Untuk mengatasi masalah ini, beberapa tenaga ahli dari RS Wahidin siap berpraktek di RS Larantuka.

Kualitas pelayanan RSUD Larantuka yang buruk banyak dikeluhkan oleh pasien dan masyarakat. Hal ini dibenarkan Direktur RSUD Larantuka, Yoseph Kopong Daten. Menurutnya, keluhan dari masyarakat tersebut diakibatkan RSUD Larantuka hingga saat ini masih mengalami kekurangan tenaga medis. Karena itu pelayanan yang diberikan oleh pihak RSUD dirasakan masih belum maksimal.

"Kita sudah menggerakan segala potensi untuk meberikan pelayanan terbaik, secara kualitas kita siap untuk itu tetapi secara kuantitas kita masih sangat jauh tertinggal. Tenaga kita di lapangan sangat sedikit jika dibandingkan dengan banyaknya pasien yang membutuhkan pelayanan medis," ungkap Yoseph.

Ia menyebut, kekurangan tenaga medis menyebabkan pihaknya menggunakan standar pelayanan minimum. Tidak berimbangnya jumlah pasien dan ketersediaan tenaga medis menyebabkan beban kerja para petugas medis menjadi sangat tinggi. Karena itu, menurutnya tidak mengherankan jika banyak masyarakat yang beranggapan pelayanan RSUD Larantuka buruk.

Standar pelayanan yang dipakai di RSUD Larantuka saat ini adalah standar minimum. Contohnya sistem untuk ruang rawat inap kita pakai adalah 4:2:2 artinya untuk tugas pelayanan pagi empat orang, siang dan malam masing-masing dua orang. "Dengan jumlah yang sangat sedikit ini sangat tidak mungkin pelayanannya menjadi maksimal," ujarnya. Cara seperti ini, katanya, mau tidak mau kita gunakan karena memang kita kekurangan tenaga, sementara itu rumah sakit ini adalah satu-satunya di Flotim.

Sementara itu, terkait dengan tenaga dokter ahli di RSUD Larantuka, Yoseph juga mengakui bahwa RSUD Larantuka masih kekurangan tenaga ahli. Karena itu, pihaknya bersama pemerintah daerah telah berupaya untuk mendatangkan tenaga ahli untuk memberi pelayanan di RSUD Larantuka. Salah satu cara yang ditempuh adalah dengan mencari sister hospital atau RS lain yang menjadi bapak asuh.

Saat ini, kata Yoseph, RSUD Larantuka sudah memiliki satu RS untuk menjadi bapak asuh yakni RS Wahidin Makassar. Sebagai bapak asuh, katanya, RS Wahidin akan menyiapkan tenaga dokter ahlinya untuk bekerja di RS Larantuka. Pemerintah di dua daerah tersebut sudah menandatangani MOU.

"Dalam waktu dekat mereka akan visitasi setelah itu akan bekerja di sini. Tenaga ahli yang akan kita peroleh adalah ahli kebidanan, spesialis anak, tenaga analis tranfusi, spesialis anastesy dan perawat NICU yang tugasnya melakukan perawatan intensif bayi yang baru lahir," katanya. (krf2)

Lima Tersangka Korupsi Ditahan

Jumat, 18 Jun 2010
Kasus Korupsi Pembangunan RSUD SoE
SOE, Timex--Setelah mantan Direktris RSUD SoE, Jeane Wondal dan Ketua Komisi C DPRD TTS, Thimotius Tapatab dijebloskan ke Rutan SoE, Rabu (16/6) kemarin, lima tersangka lainnya menyusul.

Kamis (17/6) kemarin, penyidik Polres TTS kembali menyerahkan lagi lima tersangka dalam kasus korupsi pembangunan gedung rawat inap RSUD SoE. Kelima tersangka itu yakni, Panitia PHO, Johanis Liunokas, Otniel Tulle, Aleksander Tefu, Muhamad Basuni dan Noldi Yola Tallo.
Kapolres TTS, AKBP Tito Basuki Priyatno kepada wartawan Kamis (17/6) mengatakan, setelah penyerahan lima tersangka ini maka tinggal Direktur PT. Almandira Sakti, Joneri Bukit yang belum diserahkan. "Saat ini yang bersangkutan katanya masih berada di Surabaya namun penyidik sudah memanggilnya," imbuhnya.

Setelah diserahkan, lima tersangka ini langsung ditahan sesuai surat perintah penahanan oleh Plh Kejari SoE, Suhadi. Kelima tersangka ditahan selama 20 hari terhitung tanggal 17 Juni sampai tanggal 6 Juli 2010 mendatang. Alasan penahanan kelima tersangka karena dikhawatirkan akan melarikan diri, merusak dan menghilangkan barang bukti dan atau mengulangi tindak pidana.

Kelima tersangka selaku panitia PHO saat itu telah melakukan tindak pidana korupsi pembangunan gedung rawat inap RSUD SoE tahun anggaran 2007 hingga merugikan negara senilai Rp 97.649.014,60. Kelimanya diduga melanggar pasal 2 dan pasal 3 UU 31/1999 yang telah diubah dengan UU 20/2001 tentang tindak pidana korupsi.

Penasehat hukum kelima tersangka, Filmon Polin mengatakan telah mengajukan penangguhan penahanan namun tidak diterima. Upaya penangguhan penahanan akan kembali diajukan setelah berkas perkaranya dilimpahkan ke PN SoE.

Pantauan koran kelima tersangka dilimpahkan ke Kejari SoE sekira pukul 10.30 Wita. Kelima tersangka kemudian digiring ke Rutan SoE sekira pukul 16.00 Wita menyusul dua tersangka lainnya mantan Direktris RSUD SoE, Jeane Wondal dan Ketua Komisi C DPRD TTS yang sudah duluan ditahan.

Terpisah Kepala Rutan SoE, Lukas Dju mengaku Jeane Wondal dan Thimotius Tapatab dalam kondisi sehat setelah dijebloskan ke dalam sel.”Kondisi keduanya baik dan sehat. Kebetulan hari ini (kemarin red) jadwal kunjungan dokter Rutan dan keduanya dinyatakan baik dan sehat,” jelas Lukas Dju.

DPRD TTS kata Ketua DPRD TTS, Eldat Nenabu dan Wakil Ketua, Ampera Seke sangat menghormati proses hukum yang melibatkan Ketua Komisi C DPRD TTS, Thimotius Tapatab.
Menurut Eldat Nenabu pengambilan sikap terhadap Thimotius Tapatab dilaksanakan setelah ada putusan hukum tetap. Sementara tugas-tugas Komisi C DPRD TTS tetap berjalan seperti biasa tidak terganggu meski ketua komisi sementara dalam tahanan. "Karena jika ketua komisi tidak berada ditempat, masih ada pimpinan lain yakni wakil ketua dan sekertaris untuk ambil alih melaksanakan tugas," imbuhnya.

Sementara Ampera Seke Selan yang juga ketua DPC Partai Demokrat TTS mengatakan, partainya baru akan mengambil sikap tegas ketika sudah ada putusan hukum tetap. "Sementara biarlah proses hukum berjalan. Namun administrasi akan segera disiapkan," ujarnya.

Bila sudah ada putusan tetap jelas dia, DPC Demokrat TTS akan berkoordinasi dengan DPD dan DPP Partai Demokrat untuk bersikap. Posisi Thimotius Tapatab sebagai anggota DPRD TTS akan diganti dengan nama nomor urut kedua pada Pemilu Legislatif 2009 yakni Fransiska Tapatab-Feto. (dek)