Senin, 07 Juni 2010

45,8 Ton Mangan Dibawa Kabur

Distamben Rote Kecolongan
Laporan Maxi Marho
Jumat, 4 Juni 2010
 
BA'A, Pos Kupang.Com-Dinas Pertambangan dan Energi (Distamben) Kabupaten Rote Ndao kecolongan terkait pengawasan eksploitasi dan penjualan batu mangan ke luar kabupatenini. Pasalnya, oknum pengusaha sudah tujuh kali membawa keluar batu mangan dengan berat 45,8 ton dari daerah ini menggunakan kapal.

Hasil investigasi dan pelacakan wartawan di Kabupaten Rote Ndao, pekan lalu menyebutkan, seorang warga di wilayah Papela, Kecamatan Rote Timur berinisial JB bertindak sebagai pedagang pengumpul mangan dan memiliki jaringan dengan investor pembeli mangan.  JB membeli mangan dari warga di wilayah Kecamatan Rote Timur dan menimbun di rumahnya. Setelah jumlah mangan cukup banyak kemudian dikirim kepada investor pembeli yang datang mengangkut menggunakan mobil lalu membawanya melalui transportasi laut (kapal feri) di Pelabuhan  Pantai Baru.

Saat ini di kediaman JB, di Papela, Kelurahan Londalusi, Kecamatan Rote Timur, saat ini masih terdapat sekitar 80 ton batu mangan yang siap dikirim ke luar kabupaten ini.

Kepala Dinas (Kadis) Pertambangan dan Energi Kabupaten Rote Ndao, Dicky Amalo, dikonfirasi di ruang kerjanya, Kamis  (2/6/2010)  menegaskan, tindakan menjual mangan ke luar Kabupaten Rote Ndao tanpa ijin merupakan perbuatan ilegal dan tidak dibenarkan sesuai aturan. Bahkan di Kabupaten Rote Ndao pun belum ada warga yang diberi ijin melakukan penambangan mangan meskipun titik-titik yang menjadi daerah potensi mangan di wilayah ini sudah diketahui pemerintah.

"Di Rote Ndao tidak mungkin mangan dijual keluar karena belum ada ijin eksplorasi, ijin eksploitasi apalagi ijin menjual ke luar kabupaten ini. Itu perbuatan ilegal namanya," kata Amalo.

Menurut Amalo, pekan lalu pihaknya sudah menurunkan tim ke Papela terkait informasi adanya penjualan mangan, dan adanya warga berinisial JB yang bertindak sebagai pedagang pengumpul mangan dari warga. Namun informasi adanya penjualan mangan ke luar Rote Ndao belum tahu pasti.

"Tapi dinas pertambangan sudah memiliki foto sebagai bukti adanya mangan yang akan dijual. Jadi informasi penjualan mangan kami akan cek. Kami akan panggil warga pengumpul mangan itu dan akan mengarahkan dia kembali ke jalan yang benar karena menjual mangan harus punya ijin," kata Amalo.

Dia menambahkan, selama ini ada tujuh perusahaan dari Jakarta yang telah mengajukan ijin eksploitasi mangan di Kabupaten Rote Ndao. Namun ijin tersebut masih dalam proses sehingga belum ada perusahaan yang boleh melakukan eksploitasi mangan di wilayah ini. (mar)

Sumber : Pos Kupang

Berburu Tokek

Kampoengku Oleh Agus Sape
Sabtu, 29 Agustus 2009

Duduk di bangku kayu yang ditanam mati. Dikelilingi hamparan pekarangan/kebun gersang berdebu. Namun perasaan tetap teduh di bawah rimbunan ratusan pohon lontar. Kekayaan Naimata.
Saya tidak perlu menyebut nama tetua itu. Yang jelas dia warga asli. Atoin Meto. Saya begitu kagum dengan aktivitas hariannya.

Aktivitas yang oleh banyak orang mungkin tidak diperhitungkan. Naik-turun pohon lontar, mengiris nira (tuak/laru). Delapan sampai sepuluh bambu setiap pagi dan sore. Dari penjualan nira, dia bisa menafkahi keluarga. Bahkan bisa membiayai pendidikan anak-anaknya.

"Tapi, beberapa hari ini, saya tidak iris. Saudara saya yang bantu iris. Saya sakit. Katanya asma (asthma bronchiade, pen), dada sakit, napas sesak," tutur tetua itu dengan nada getir. Penyakit ini sulit sembuh total. Kapan saja dia bisa kambuh kembali.
Lalu dia bercerita bahwa dia disuruh makan tokek. Tidak gampang baginya makan daging tokek. Selain tidak biasa, dia merasa ngeri dengan tampang tokek. Mulut lebar, kulit kasar, kaki dan tangannya melengket. Hi...

Saya pun tertegun. Prihatin dengan penyakit si tetua. Tapi, saya meyakinkannya bahwa penyakit itu bisa sembuh. Saya juga meyakinkannya bahwa daging tokek itu tidak sengeri tampangnya. Enak, apalagi dia berkhasiat untuk menyembuhkan asma.

Saya lalu teringat dan menceritakan bagaimana saya dan teman- teman SD berburu daging tokek di kampungku Cumpe, di Manggarai. Sebagaimana kebanyakan anak-anak di kampungku pada masa itu, saya pergi sekolah di SDK Golo. Dalam bahasa Manggarai, golo berarti bukit. Tetapi, sekolahku itu terletak di lembah, dikelilingi lereng-lereng. Saya tidak tahu kenapa namanya justru kebalikan dari kondisi alamnya.

Pada saat ke sekolah, kami bisa berlari-lari menuruni lereng sekitar dua kilometer. Tetapi, waktu kembali dari sekolah, sungguh melelahkan. Kami harus mendaki lereng. Kami selalu melukiskannya seperti naik ke surga, penuh perjuangan.

Untung saja di sekitar jalan itu, terdapat kebun-kebun milik warga dari kampungku. Kebun milik orangtuaku juga. Ada sawah yang ditanami jagung di awal musim hujan, dilanjutkan dengan tanam padi. Ada juga ladang yang ditanami ubi kayu, ubi jalar, keladi, sayur-mayur, pisang, jeruk, satu dua pohon kelapa dan masih banyak lagi.

Di kebun-kebun itu terdapat banyak sekali batu besar. Bukan batu karang. Melalui proses alam selama bertahun-tahun, batu- batu itu banyak yang pecah atau sekadar retak membentuk celah- celah. Membahayakan kalau sesewaktu rubuh dan terguling. Tetapi, celah atau lubang pada batu-batu itu justru nyaman bagi berbagai jenis binatang liar, seperti tikus, bengkarung, cecak, ular dan tokek. Di dalam batu-batu itu mereka hidup dan bersembunyi dari buruan manusia.

Sebelum sampai kembali di rumah, kami menyinggahi kebun- kebun itu. Kalau lagi musim kebun, kami membantu orangtua menyiangi rumput di sawah atau ladang. Tetapi, kalau belum musim, seperti saat ini, kami biasanya bergerombol, menyelinap di kebun-kebun warga. Persis seperti Si Bolang (Bocah Petualang) di Trans7.

Apa pun yang kami jumpai dan pantas dimakan, kami makan saja, meskipun di kebun milik orang. Kalau kami lihat pisang masak, kami potong saja lalu makan. Ada semacam etika yang kami anut waktu itu, bahwa mengambil barang orang lain karena desakan lapar, tidak berdosa. Asalkan makan di tempat, tidak boleh dibawa pulang ke rumah. Mungkin tuannya akan marah, tapi Tuhan tidak. Itu kami yakin betul.

Maksud utama kami menyelinap di kebun-kebun itu adalah berburu binatang liar, tokek, yang tinggal di celah atau lubang batu. Begitulah kami di pedalaman. Beda dengan orang-orang di pantai. Kami memburu tokek untuk makan dagingnya. 

Kami jalan dari batu ke batu, mengintip di celah-celah. Kalau celah batunya terang atau samar-samar, kami bisa melihat tokeknya menempel di dinding batu. Ada yang seluruh badannya kelihatan, tapi ada yang hanya kelihatan sorotan matanya. Putih.
Tapi, kalau celah batunya gelap, kami harus memasukkan kayu ke dalam lalu mengorek-ngorek dinding batu supaya tokeknya keluar, kalau ada tokek.

Menangkap tokek tidak gampang. Dia kepala batu, tidak gampang beranjak. Tangan dan kakinya melengket di dinding batu. Untuk menangkapnya kami menggunakan tali jerat. Tali diikat melingkar di ujung kayu panjang.

Tali yang lainnya memanjang mengikuti batang kayu. Kayu dan tali itu dikendalikan dari ujungnya di luar celah batu. Hati-hati sekali, jangan sampai kayu dan tali dilihat si tokek. Dia bisa lari, masuk ke celah batu yang lebih dalam lagi.

Kalau leher tokek berhasil masuk ke dalam lingkaran tali, kayu didorong supaya lingkaran tali mengecil dan mencekik leher tokek. Kalau tali dipastikan sudah menjerat leher tokek, kayu dilepas dari dari tali.

Sambil menarik tali keluar, ujung kayu digunakan untuk mendongkel badan tokek, melepaskan kaki-kakinya yang melengket di dinding batu. Kalau sudah di luar, ujung kayu secepatnya menekan leher tokek. Kawan lainnya langsung mencekik lehernya, menangkap dan mematikannya.

Kami bisa menangkap sampai beberapa ekor tokek. Tapi bisa juga gagal sama sekali. Hari berikutnya kami mencoba lagi. Tokek yang sudah kami tangkap selanjutnya dibelah mulai dari mulut terus ke perut sampai anusnya. Tidak hanya ususnya dibuang, zat warna putih menyerupai kapur di kepalanya pun dibersihkan.

Selanjutnya dipanggang sampai matang. Dagingnya dipotong- potong sampai semua kebagian. Kalau ada ubi, dagingnya dimakan menemani ubi. Tapi kalau tidak, dimakan kosong saja. Enak to.

Waktu itu kami makan daging tokek sebatas daging. Kami belum tahu kalau tokek itu bisa menyembuhkan asma. Tapi, boleh jadi karena makan tokek itu, maka belum ada di antara kami yang divonis sakt asma.

Tetua di Naimata itu terheran-heran mendengar cerita saya. "Ya, katanya memang enak. Saya harus makan," kata si tetua. Semoga asma-nya segera sembuh.*


Sumber : Pos Kupang

I ang Mage Waer

Kampoengku Oleh OMDSMY Novemy Leo
Sabtu, 5 September 2009
 
I'ang (ikan), mage (asam) dan waer (air) alias ikan kuah asam ini merupakan salah satu makanan khas tradisional masyarakat di Kaupaten Sikka. Hampir setiap warga di kabupaten ini menjadikan mage waer sebagai makanan favorit.

Mage waer menjadi menu spesial dan paling laris dicicipi tamu saat disajikan dalam acara resmi pemerintahan maupun pesta atau acara keluarga lainnya.
Dalam kehidupan sehari-hari, I'ang Mage Waer alias Mage Waer hampir selalu tersedia di meja makan rumah-rumah warga di Kabupaten Sikka. Pada sebagian warung makan juga tersedia Mage Waer menjadi salah satu menu yang dijual bersama menu tradisional atau menu modern lainnya.

Bahkan menjadi kebiasaan orang Maumere (sebutan umum untuk warga Kabupaten Sikka), setiap tamu baik dari kabupaten, propinsi atau negara lain yang berkunjung ke wilayah Kabupaten Sikka akan disuguhi Mage Waer dan makanan lokal lainnya.

Mulut dan sikap bisa saja berbohong, namun lidah tidak bisa berbohong. Setelah mencicipi Mage Waer, lidah kita pasti 'kaget' merasakan gurihnya Mage Waer.  Pastinya kata yang segera terucap adalah 'wow...lezat dan nikmat'. Dan, si pencicip -- apalagi yang baru pernah kali merasakannya -- akan  membangkitkan selera makan sehingga tidaklah heran bila mage waer bisa membuat orang selalu tambah makan.

Tak jarang si pencicip akan minta tuan rumah menuliskan resepnya atau malah besok akan kembali datang ke rumah itu untuk minta dibuatkan lagi Mage Waer.
Memang di sejumlah daerah di NTT, menu ikan kuah asam ala Maumere ini ada. Namun meski bumbu dan cara membuatnya sama, namun Mage Waer di Maumere terasa beda.

Mengapa? Jawabannya sederhana. Karena ikan sebagai salah satu bahan Mage Waer itu berasal dari perairan Sikka yang sudah terkenal sebagai penghasil ikan segar dengan kualitas bagus. Apalagi kalau Mage Waer itu menggunakan ikan 'batu'  (ikan kerapuh merah). Sudah pasti yang memakannya tidak akan melupakan bagaimana kelezatan Mage Waer itu seumur hidupnya.

Tidak sulit membuat Mage Waer. Bapa Mus, Mama Yeany, Vera Gayatri dan Olga de Kolaq, keluarga dan sahabat saya di Maumere selalu menyajikan menu Wage Waer kepada saya. Selama saya bertugas di Maumere beberapa tahun, setiap tiga hari sekali, lidah saya dibuat manja dengan kelezatan Mage Waer. Mereka kemudian membagikan resep Mage Waer sebagai oleh-oleh untuk saya bawa pulang ke Kupang.

Terima kasih oleh-oleh yang sangat berharga dari daerah asal ayah saya.
Bumbu dasar Mage Waer yakni mage (asam), somu (bawang merah), hunga (bawang putih), lea (jahe), guni (kunyit), koro (lombok besar), gelo (kemiri), daun kemangi, daun sereh. Juga hingi (garam), i'ang (ikan) dan bumbu instant. Ikan mentah yang digunakan itu bisa ikan apa saja (dianjurkan ikan batu atau ikan merah), baik ikan yang masih utuh atau ikan yang sudah dipotong-potong kecil.

Cara membuatnya, bawang merah, bawang putih, jahe, kunyit, lombok besar,
semuanya dihaluskan. Tambahkan kemiri untuk membuat kuah menjadi kental. Jangan lupa daun sereh untuk membuat harum. Setetah itu, semua bahan tersebut ditumis dengan minyak secukupnya dalam wajan sesuai kebutuhan. Ingat! Nyala api jangan terlalu besar.

Sebelum tumisan bumbu itu kering, langsung tambahkan air asam (air sudah dicampur dengan asam) secukupnya. Lalu biarkan air asam dan bumbu yang ditumis itu mendidih, setelah itu masukkan ikan ke dalam kuah itu.

Biarkan selama 15 menit lalu berikan garam dan masako secukupnya. Kemudian taburi bawang goreng di atas masakan lalu angkat masakan dan taruh pada wadah yang sudah disiapkan. Setelah itu Mage Waer disajikan di meja makan dan siap disantap dengan nasi. Rasanya? Hmm....

Siapa yang mau mencoba I'ang Mage Waer? Bertandatanglah segera ke Maumere, Kabupaten Sikka. Atau kalau tidak sempat, maka cobalah membuat sendiri I'ang Mage Waer di rumah masing-masing. Selamat mencoba. (vemy_leo@yahoo.com)

Oho Ai Mitan

Kampungku Oleh Reddy Ngera
Sabtu, 12 September 2009
 
Beraneka ragam pula umbi yang ditanam, antara lain ada yang berwarna putih, ada juga ubi ubi kayu warna kuning.

Cita rasa setiap tanaman ubi kayu atau dikenal dengan singkong ini juga berbeda sesuai daerah masing-masing karena tergantung dari keadaan struktur  dan tingkat kesuburan di masing-masing daerah.

Misalnya, ubi kayu dari  Kabupaten Ende yang terkenal, yakni ubi nuabosi. Rasa  ubi kayu ini sangat memikat selera karena isinya sangat lembut setelah dimasak.

Dari ubi ubi kayu ini, masyarakat umumnya dapat mengolah menjadi makanan ringan, antara lain seperti kripik ubi, gaplek atau tape. 

Khusus untuk warga Kabupaten Sikka, ubi kayu atau dikenal dengan nama oho ai. Ada proses pengolahan dan penyimpanan ubi ini sehingga berwarna hitam dan masyarakat mengenalnya dengan nama oh ai mitan (ubi kayu hitam).



Cara pengolahannya sangat sederhana.  Umbi ubi kayu, setelah dicabut dari  tanah, kulitnya dikupas, kemudian dibelah  menjadi dua bagian atau  lebih. Hasil belahan itu dijemur selama seminggu.

Setelah kering, umbi ubi kayu dibungkus dengan daun pisang, kemudian dimasukkan dalam keranjang anyaman daun kelapa. Keranjang yang ada ubi kayu ini disimpan di tempat yang  cukup lembab. Setelah seminggu, keranjang dibuka.

Ubi kayu telah berubah warna menjadi hitam ( oho ai mitan) karena telah dipenuhijamur warna hitam. Oho ai mitan kemudian direndam lagi dengan air bersih sekitar empat hari.

Untuk  masyarakat di Kabupaten sikka, khususnya di desa- desa, oho ai mitan direbus atau digoreng. Rasanya sangat lezat. Bila oho ai mitan dimakan dengan  parutan kelapa setengah tua atau dengan  kuah ikan (mage air). (*)

Sumber : Pos Kupang

Cake dan Kue Kering Iwi

Oleh Agus Sape
Sabtu, 26 September 2009
 
Ubi itu oleh orang Sumba Timur disebut Gadung atau Iwi. Di masa lalu Iwi identik dengan kelaparan. Ketika orang Sumba Timur makan Iwi, berarti mereka sudah tidak punya persediaan makanan lagi.

Sempat terjadi kontroversi mengenai anggapan itu. Terutama Pemda Sumba Timur berhadapan pemberitaan media yang melihat Iwi sebagai tanda kelaparan. Menurut Pemda Sumba Timur, mengonsumsi Iwi tidak berarti lapar. Iwi sudah menjadi makanan masyarakat setempat sejak dulu, meskipun mereka masih memiliki persediaan pangan seperti padi dan jagung.

Untuk mengangkat derajat sekaligus menepis anggapan rendah terhadap Iwi, Pemda dan masyarakat Sumba Timur kini mengolah Iwi menjadi sederajat dengan bahan makanan modern.

Di anjungan Kabupaten Sumba Timur itu, Ir. Hartini H. A (Kabid Konsumsi dan Keamanan Pangan pada Badan Bimas Ketahanan Pangan Kabupaten Sumba Timur) berapi-api mempromosikan berbagai jenis makanan lokal Sumba Timur, termasuk Iwi yang menyedot perhatian pengunjung.

Menurut Hartini, Iwi itu aslinya beracun. Tetapi ketika diolah dengan baik, dia menjadi bahan makanan yang berkualitas. Sekadar gambaran, dia membandingkan kandungan gizi Iwi dengan bahan pangan lokal lainnya. Iwi kukus mengandung 6,8 protein, kurang sedikit dari tepung beras yang mengandung 7,0 protein. Dari segi kandungan karbohidrat, Iwi jauh lebih rendah (20,9) dibanding tepung beras (80,0) atau tepung jagung 73,7 atau tepung terigu 77,3. Iwi memiliki kandungan Kalsium lebih besar 26,0 daripada tepung beras 5,0 atau tepung jagung 10,0.

Bagaimana mengolah Iwi agar layak dikonsumsi? Umbi Iwi diiris-iris lalu direndam berhari-hari dalam air. Setelah diperkirakan tidak beracun lagi, irisan-irisan Iwi itu dijemur sampai kering lalu diolah menjadi tepung. Tepung itulah kemudian yang diolah menjadi berbagai jenis kue.

Masyarakat Sumba Timur sudah mengolah tepung Iwi menjadi Cake Zebra Iwi dan Kue Kering Iwi.

Untuk membuat Cake Zebra Iwi, diperlukan tepung Iwi 200 gram, mentega 250 gram, gula 150 gram, telur kuning 6 dan telur putih 2, vanili setengah sendok teh, bumbu spekuk setengah sendok teh, ovalet/TBM satu sendok teh, dan coklat bubuk dua sendok makan.

Cara membuatnya: kocok mentega dengan gula dan ovalet/TBM sampai putih lalu masukkan telur satu persatu. Selanjutnya, kocok sampai adonan naik, tambahkan tepung Iwi sedikit demi sedikit sampai habis, tambahkan vanili dan bumbu spekuk. Lalu, bagi adonan menjadi dua bagian, bagian yang lain diberi coklat bubuk. Siapkan loyang bulat dengan diameter 22 cm, olesi dengan mentega. Masukkan adonan silih berganti sampai adonan habis lalu masukkan ke dalam oven yang sudah dipanasi lebih dulu (120 derajat Celcius). Setelah 10 menit, adonan ditabur dengan kenari atau kismis. Setelah dingin Cake Zebra Iwi siap disajikan.

Inovasi lain dari Iwi adalah Kue Kering Iwi. Bahan-bahannya: tepung Iwi 0,5 kg, gula halus 250 gram, mentega 300 gram, kuning telur empat butir, vanili 0,5 sendok teh, dan maizena dua sendok makan.

Cara membuatnya: kocok mentega dan telur selama sekitar 10 menit lalu masukkan kuning telur satu-persatu dan kocok sebentar. Masukkan vanili dan tepung maizena. Masukkan tepung sedikit demi sedikit sampai kalis/dapat dipulung/dicetak. Selanjutnya, masukkan ke dalam oven sampai panas 180 derajat Celcius.

Pemda Sumba Timur sudah menyiapkan ratusan brosur tentang pengolahan Iwi. Brosur-brosur itu dibagi gratis kepada setiap pengunjung anjungan Sumba Timur.

Bukan hanya brosur, Pemda Sumba Timur juga menyediakan contoh tepung Iwi dan kue-kue yang terbuat dari tepung Iwi. Setiap pengunjung pun boleh mencicipi kue-kue itu secara gratis.

"Supaya percaya, silakan cicipi kue dari Iwi. Enak kan? Ini hasil kreasi kami dari Sumba Timur. Gubernur pun sudah mencicipnya tadi dan mengagumi kue-kue ini," ujar Hartini bersemangat.
Kue Iwi produksi Sumba Timur memang luar biasa. Tampang  dan cita rasanya sama dengan kue tar yang terbuat dari tepung terigu. Kalau begitu, buat apa susah-susah beli tepung terigu, pakai saja tepung Iwi.

Menurut Hartini, di Sumba Timur Iwi tidak lagi sekadar umbi hutan. Iwi sudah dibudidayakan di kebun-kebun warga. Mereka akan menggalinya setelah mencapai ukuran yang sudah matang dan siap untuk dikonsumsi.

Melihat tampang Iwi dari Sumba Timur, saya jadi ingat, jangan- jangan ini umbi yang oleh orang Manggarai disebut Raut. Di kampung Timbang, Kecamatan Cibal, dulu banyak sekali Raut. Meskipun kampung itu menghasilkan banyak padi dan jagung, raut juga menjadi pilihan konsumsi mereka. Hanya waktu itu pengolahannya belum seperti Iwi di Sumba Timur saat ini.*

Sumber : Pos Kupang

Sainoni Menanti Listrik dan Air

Kampoengku Oleh Alfred Dama
Sabtu, 10 Oktober 2009

Pembangunan yang didengungkan oleh pemerintah pun masih jauh dari harapan desa yang berada sekitar 4 km dari garis batas negara itu.

Desa Sainoni merupakan salah satu desa yang berada di wilayah perbatasan. Meskipun tidak berbatasan langsung, jarak terdekat dari desa ini ke wilayah Distrik Oecusse, Timor Leste hanya sekitar 4 hingga 5 km atau membutuhkan waktu tempuh sekitar 15 menit dengan sepeda motor.

Meski jalan raya yang menunju ke wilayah  Timor Leste melintasi desa ini, kekurangan utama yang dihadapi oleh warga desa ini adalah listrik dan air.

Masyarakat yang mendiami desa yang berada sekitar 20 km dari Kota Kefamenanu, ibu kota Kabupaten TTU ini masih gelap gulita pada malam hari dan selalu kesulitan air bersih pada musim kemarau. Perhatian pemerintah untuk dua masalah ini masih jauh dari desa ini.

Kesulitan yang dialami warga desa ini sempat saya rasakan langsung selama tiga hari tinggal di wilayah ini. Untuk mengatasi masalah ini, warga desa yang mampu bisa mengusahakan mesin listrik ringan dengan kapasitas kecil.

Namun, bagi mereka yang masih hidup dalam kekurangan harus menggunakan lampu-lampu minyak yang dibuat sendiri.

Demikian juga dengan air. Air bagi masyarakat Sainoni saat musim kemarau adalah kebutuhan yang sangat mahal.

Warga yang mampu bisa menyiasati masalah kekurangan air ini dengan membangun bak penampung. Sementara bagi warga yang tidak mampu harus rela berjalan kaki sekitar dua hingga tiga kilometer untuk mendapat air bersih.

Bak penampung yang ada biasanya diisi dengan air bersih yang didatangkan dari Kota Kefamenanu menggunakan truk tangki. Air  lima ribu liter tersebut dibeli seharga Rp 200 ribu hingga 250 ribu. "Kalau air habis, biasanya kita pesan air tangki dari Kefamenanu. Mereka antar sampai di sini," kata Milarius, warga Desa Sainoni.

Menurut Milarius, air seharga tersebut bisa digunakan satu hingga tiga bulan, tergantung tingkat kebutuhannya. Sudah belasan tahun warga desa ini kesulitan air bersih. Padahal dari desa ini tampak jelas berdiri kokoh gunung Mutis yang merupakan sumber air untuk daratan Timor termasuk wilayah TTU. 

Kesulitas air bagi warga desa ini hanya terjadi pada musim kemarau. Sebab pada musim hujan, warga bisa mendapatkan air dengan menampung air hujan atau mengambil air dari beberapa sumber mata air yang muncul di beberapa titik di wilayah itu.

Sementara untuk listrik, warga yang mampu mengusahakan untuk membeli mesin genset kecil. Namun masalah lain muncul yaitu kesulitan bahan bakar minyak (BBM) jenis bensin. Bensin di wilayah ini tergolong mahal dan tergantung persediaan di Stasiun Pengisian Bahan Bakar untuk Umum (SPBU) di Kota Kefemenanu.

Bila persediaan bensin cukup, maka harga bensin di wilayah ini Rp 5000 hingga Rp 6000 per liter. Namun bila stok bensin di SPBU habis, maka bensin di wilayah ini menjadi sangat mahal atau ikutan habis juga.

Masalah kekurangan air dan listrik di wilayah ini sudah dirasakan oleh beberapa generasi di wilayah itu. Menurut beberapa warga, sebenarnya beberapa tahun lalu pernah ada pihak yang datang melakukan survei untuk memasang listrik, namun hingga saat ini listrik dari PLN belum pernah tersambung ke wilayah ini.

Oleh masyarakat bersama sebuah lembaga juga pernah secara swadaya memasang jaringan listrik dan menyediakan mesin generator. Sejenak warga pernah menikmati listrik, namun kurangnya koordinasi dan informasi antara masyarakat dan pengelola membuat wilayah ini kembali gelap pada malam hari.

Peran pemerintah Kabupaten TTU sebenarnya sangat dibutuhkan oleh warga desa ini. Karena sebagai bagian dari negara Indonesia, warga Desa Sainoni dan desa- desa lain di wilayah perbatasan RI-Timor Leste masih menanti dan ingin diperhatikan dan ingin merasa bangga sebagai bangsa Indonesia yang sudah maju dari Timor Leste.(*)

Sumber : Pos Kupang

Tenaga Kerja Kita

Kampoengku Oleh Paul Burin
Sabtu, 17 Oktober 2009
 
Perseteruan itu  membawa hubungan  dua negara  ini berada  pada titik nadir.  Dengan kata yang lebih tegas,  tinggal  mengokang  senjata dan meletusnya perang saudara.

Puncak perseteruan ini  ketika Malaysia dalam setahun belakangan melancarkan tingkahnya dengan mengklaim produk budaya Indonesia adalah karya mereka. Untuk menyebut beberapa, Reog Ponorogo, batik, dan tari pendet asal Bali, yang belum lama beredar dalam rangka promosi pariwisata Malaysia, adalah produk budaya mereka. Juga lagu Rasa Sayange dari Maluku yang telah diklaim sebagai bagian dari kebudayaannya.

Yang  membuat hati bertambah miris  lagi adalah  tingkah pongah mereka yang  diduga memplesetkan  lagu kebangsaan Indonesia Raya karya Wage Rudolf (WR) Supratman menjadi IndonSIAL National Anthem. 

Rasanya sebel dan sungguh menyakitkan bila membaca  kata demi kata plesetan lagu itu. Sebuah penghinaan luar biasa terhadap harkat dan martabat negeri ini.

Juru bicara Departemen Luar Negeri, Teuku Faizasyah mengatakan bahwa Pemerintah Indonesia telah meminta agar situs yang memuat lirik pelecehan lagu kebangsaan Indonesia Raya, http://www.topix.com/forum/world/malaysia, dicabut.

"Keterangan dari Depkominfo situs yang memuat lagu itu ditemukan berasal dari Amerika Serikat dan karena melanggar etika, maka kita meminta agar situs itu ditutup, dan tentunya sudah ditutup," kata Faizasyah di Jakarta, Jumat (28/8/2009).

Bagaimana perasaan  hati  pencipta lagu ini seandainya ia masih hidup dan menyaksikan karya monumental ini "dikebiri"  oleh  saudaranya dari Negeri Jiran itu? Kita yakin dari  dunianya di sana, dari alam baka,  WR Supratman menitikkan air mata.

Dan, barangkali hubungan dua negara yang  sedang retak ini menginspirasinya untuk menghasilkan karya yang lebih original bukan plagiat atau apa pun namanya sebagaimana dilakukan  Malaysia. Ternyata  lagu kebangsaan Malaysia,  "Negaraku",  pun diduga  hasil  daur ulang lagu "Terang Bulan" yang adalah lagu hasil karya anak negeri ini.

Di zamannya, Bung  Karno berkali-kali meneriakkan slogan Gamal, Ganyang Malaysia. Sekarang justru  Malaysia  mengganyang balik negeri ini. Pulau Sipadan dan Ligitan serta kekayaan budaya kita telah "dirampoknya." Gembong teroris Noordin M Top dan Dr. Azahari adalah  produk negeri itu.

                    ***
Gonjang-ganjing ini mengingatkan saya  karena sebagian  perantau asal kampung saya dan dari kampung lain di  daerah ini sudah, sedang dan akan mengadu nasib di  sana. Secara nasional jumlah imigran asal  negeri ini sebanyak  tiga juta orang.
Jumlah perantau  dari Indonesia di Malaysia hampir sama dengan jumlah penduduk  NTT. 

Kita yakin bahwa masih banyak tenaga kerja yang belum terdata karena banyak dari mereka  yang  memasuki  negeri itu  melalui samping,  penghalusan  dari kata pendatang  haram.

Di sisi lain  kita marah terhadap  tingkah aneh mereka. Namun sejujurnya  Malaysia-lah  negeri yang secara langsung menghidupkan kita. Banyak tenaga kerja dari daerah ini dan daerah lain di negeri ini yang mengadu nasib  di sana. Malaysia adalah ladang  untuk mengais  rezeki. Ladang untuk mengais ringgit. Bahkan sebutan terhormat bagi tenaga kerja kita adalah pahlawan devisa.

Meski menjanjikan,  Malaysia  bukanlah surga bagi perantau.   Banyak saudara  kita  yang merantau tapi  tak menghasilkan apa- apa. Malaysia tak membuatnya berubah.  Bahkan  setelah kembali ke tanah ini mereka justru membawa beban sosial yang tak kecil. Kalau saja mereka bertahan di kampung tentu ada hal lain yang mungkin sudah diraihnya.

Malaysia hanya dijadikan tempat bersenang-senang dan mereka seakan  tak  memaknai  kata "melarat."  Beberapa dekade lalu  Malaysia benar-benar memberikan pengharapan bagi perantau tanah ini. *

Sumber : Pos Kupang

Ritus Adat Siom Tafani Afu Naijan

Oleh Julius Akoit
Sabtu, 14 November 2009
 
Ritus adat ini digelar untuk memulihkan dan mengembalikan hak-hak adat   yaitu beberapa bidang tanah milik delapan  suku adat di Insana, yang diserobot oleh Kodim 1618/TTU untuk mendirikan Markas Batalyon Infantri (Yonif) 746 dan Markas Kompi Kavaleri (Kikav).

Ritus adat dipimpin langsung oleh tobe (pemangku adat) setempat bernama Silvester Naibobe. Turut hadir delapan  tobe yang mewakili delapan suku di Insana, yaitu Dominikus Abatan (Suku Amafnini), Ambrosius Kobo (Suku Saunoah), Fransiskus Sikone Taboi (Suku Taboi), Ignasius Suni Lake (Suku Amafsanan), Silvester Atini (Suku Naibobe), Vinsensius Tnesi (Suku Amatonis) dan Stanis Neno (Suku Amsabnani).

Ritus ada dimulai dari Lopo Hauteas. Tobe Silvester Naibobe didampingi  tobe setempat menyembelih dua ekor ayam, yaitu seekor ayam jantan besar dan seekor anak ayam. Darah ayam itu dipercikkan di tiang lopo milik delapan suku tersebut.

Selanjutnya rombongan menuju ke lokasi Nefotufe. Di sini disembelih seekor kambing jantan. Darahnya dipercik pada sebatang bambu khusus dan abu tanah di pungut dari tanah lalu dimasukkan dalam saku baju milik pemangku adat. Selanjutnya abu tanah itu dibawa dan disimpan dalam Lopo Hauteas. "Abu tanah itu simbol dari hak milik suku adat (tanah) yang diambil pulang oleh suku. Sebab tanah milik hak ulayat delapan suku adat di Nifotufe dijual dan diserahkan secara diam-diam oleh beberapa oknum warga kepada TNI untuk keperluan mendirikan Markas Yonif 746 dan Markas Kompi Kavaleri," jelas Silvester Naibobe.

Ia juga meminta agar Pangdam Udayana, Mayor Jenderal TNI H. Panjaitan, Danrem 161/Wirasakti Kupang, Kolonel Inf. Dody H. Usodo dan Dandim 1618/TTU, Letkol Inf. H.M. Sinaga, dan jajaran TNI agar menghormati hak ulayat delapan suku di Insana. "Selain itu sudah ada kesepakatan oleh DPRD TTU dan Pemkab TTU berupa surat rekomendasi agar TNI tidak boleh melakukan aktivitas apa pun di lokasi tanah Nefotufe milik 8 suku di Insana," tandas Silvester Naibobe.

Ritus adat pemulihan hak ulayat delapan suku di Insana adalah untuk memurnikan tanahnya dari "noda dosa" yang dilakukan oknum warga dan oknum TNI di lokasi Nefotufe. "Semoga tentara mau belajar menghormati tanah milik suku di Insana," harap Naibobe. (*)


Sumber : Pos Kupang

Tuntuni, Dusun yang Belum Merdeka

Oleh Ferdy Hayong
Sabtu, 24 Oktober 2009
 
Jalan sebagian beraspal. Inipun berkat kemurahan hati biarawati yang membangun biara di daerah itu.

Jalan beraspal hanya sekitar 200 meter, selebihnya berbatu-batu. Letak dusun ini di lereng bukit Lidak. Terkategori daerah pinggiran  Kota Atambua, ibu kota Kabupaten Belu. Tapi, kondisi dusun ini sangat memprihatinkan. Bahkan, tanpa penerangan listrik.  Warga mengandalkan lampu pelita.
Air bersih (air leding)? Jangan ditanya,  masih jauh dari harapan. Warga harus berjalan kaki mencari sumur warga untuk mendapatkan air minum. Singkat kata, Dusun Tuntuni belum merdeka.

Warga Dusun Tuntuni, Frida Rika Halek, Yosefina Hoar, tokoh masyarakat, Felix Nesi, S.Pd, mengakui keterbelakangan warga Dusun Tuntuni. Warga merindukan sentuhan pembangunan seperti pungguk merindukan bulan.

Frida Rika Halek menuturkan, wilayah dusun mereka jarang mendapat perhatian terutama pembangunan penerangan dan air bersih. Sejauh ini mereka belum menikmati penerangan listrik seperti saudara mereka di kelurahan lainnya.
"Kami ini kan masuk wilayah kelurahan. Tapi, sudah tiga kali ganti kepala kelurahan, dusun kami tidak pernah mendapat perhatian. Listrik hanya sampai di Onoboi, sementara kami di Tuntuni tetap gelap. Kalau di wilayah kelurahan pinggiran kota saja begini, apalagi di kampung-kampung, pasti lebih tidak diperhatikan," kata Halek.

Menurut Halek, andalan warga selama ini hanyalah lampu pelita. Warga berupaya menghadirkan lampu petromax, namun persoalan pada ketersediaan minyak tanah. Karena itu, tidak heran kalau warga setempat berangkat ke peraduan pada pukul 19.00 Wita. Memprihatinkan memang.

Pengakuan lain disampaikan Yosefina Hoar. Dia menyatakan keprihatinannya terhadap nasib anak sekolah di dusun itu. Selama ini penerangan tidak memadai sehingga angka drop out dari dusun ini cukup tinggi. Para siswa hanya bisa belajar pada siang hari, sementara pada malam hari tidak bisa dilakukan. Persoalan ini, kata Hoar, sudah pernah disampaikan kepada aparat kelurahan, tetapi belum mendapat perhatian.

"Masalah lain soal air minum. Selama ini kami tidak punya air leding untuk memenuhi kebutuhan hidup kami. Kami hanya mengandalkan sumur milik warga lain. Dusun kami ini memang jarang diperhatikan," kata Hoar.

Tokoh masyarakat Felix Nesi menyampaikan soal nasib para siswa dari dusun itu. Selama ini, katanya, tingkat drop out (putus sekolah) siswa dari daerah itu cukup tinggi. Pasalnya, para siswa harus berjalan kaki mengikuti pendidikan di wilayah Kota Atambua. Terhadap kondisi itu, pemerintah menghadirkan SD kecil guna menampung calon siswa dari Dusun Tintua dan sekitarnya.

"Sejak tahun 2004 sudah ada SD kecil di Onoboi sehingga warga dari Dusun Tuntuni bisa sekolah. Kalau tidak ada SD, pasti orangtua tidak mau sekolahkan anaknya karena jarak yang cukup jauh. Tetapi sekarang sudah ada SDN, maka anak-anak dari daerah itu sudah bisa bersekolah. Kini warga Tuntuni tinggal menghadapi kesulitan penerangan listrik dan air minum. Mudah-mudahan hal ini menjadi perhatian pemerintah kelurahan dan pemerintah kecamatan," harap Felix Nesi.(*) 


Sumber : Pos Kupang

Darat Gunung Masih Terus Berjuang

Sabtu, 31 Oktober 2009
 
Desa ini memang masih terus dilanda banyak persoalan dalam kehidupan bermasyarakat setiap hari. Desa ini adalah Desa Darat Gunung.

Desa yang berada di Kecamatan Talibura, Kabupaten Sikka, atau sekitar 50 km timur Kota Maumere. Desa Darat Gunung mudah ditempuh menggunakan kendaraan roda dua dan roda empat melalui ruas jalan negara dari Maumere-Larantuka. Namun desa ini masih membutuhkan perhatian serius dari pemerintah dan semua elemen di desa itu.

Akses menuju desa ini tidak sulit, tapi ada satu dusun dalam wilayah ini yang masih jauh dari sentuhan sarana transportasi dan akses kota dan pasar, yakni Dusun Natarita.

Secara umum ada dua persoalan yang setiap tahun masih mendera kehidupan warga di Desa Darat Gunung yaitu kondisi jalan dan air.

Kenapa jalan dan air? Kondisi jalan di wilayah ini masih berupa tanah yang selalu sulit dilewati kendaraan bermotor pada musim hujan.

Warga memang sudah lama merindukankan jalan. Kerinduan dan kebutuhan warga telah terjawab dengan kehadiran Progran Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) Tahun 2009 di desa ini.

Warga pun menyambut gembira masuknya program ini. Dengan semangat kegotongroyongan dan persaudaraan mereka bahu-membahu mengerjakan proyek jalan menuju Dusun Natarita.

Semangat kebersamaan guna membangun desa sangat nampak. Mereka tak mengenal panasnya terik matahari. Mereka tetap berjuang agar desa atau dusunnya memiliki jalan sehingga bisa memudahkan mereka ke kota dan pasar.

Contoh paling nyata, mereka bisa membawa hasil panen jambu mete dan kemiri ke kota dan pasar. Dari pasar, mereka  bisa membawa pulang barang-barang kebutuhan mereka setiap hari.

Masalah kedua adalah air. Warga masih menjerit kekurangan air. Untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari ini, mereka harus menempuh berbagai cara. Ada yang membeli, ada yang berjalan kaki 5 km dan menggunakan air hujan. Memprihatinkan.

Desa Darat Gunung sebenarnya tidak krisis air bersih. Kades Darat Gunung, Kondradus Padji, ketika ditemui Pos Kupang, mengaku ada dua persoalan di Desa Darat Gunung, yakni jalan dan air.

Dari tahun ke tahun sejak Indonesia merdeka masalah ini belum terselesaikan. Namun, harapan demi harapan warga dan pihaknya kini mulai terjawab dengan adanya program yang masuk ke desa. 

Dikisahkan Padji, Desa Darat Gunung terkenal tandus dan gersang di bagian pedalaman yakni Dusun Natarita yang memiliki 120 KK dan 470 jiwa. Dusun ini jauh dari ruas jalan negara Maumere-Larantuka. Untuk mencapai dusun ini hanya bisa dengan kendaraan truk dan sepeda motor ojek dengan biaya yang tidak sedikit.

Dusun Natarita berada di perbukitan Kecamatan Talibura. Jalan menuju wilayah itu cukup curam dan menanjak. Warga membangun rumah di pinggir lereng dan berkebun di kawasan perbukitan.

Dusun Natarita mempunyai potensi seperti mente dan kemiri. Secara umum Desa Darat Gunung memiliki potensi perkebunan yang bisa membawa perubahan bagi ekonomi keluarga.

Bagi warga desa ini, kondisi alam yang keras tersebut sudah menjadi kehidupan sehari-hari mereka. Meski gersang, mereka pantang menyerah untuk terus mengais kehidupan di wilayah itu. Mereka terus berjuang melawan kekeringan dan kegersangan alam yang cukup memprihatinkan.

Warga Dusun Natarita terus bertahan karena memiliki semangat juang tinggi. Nilai gotong-royong pun masih tertanam kuat di desa itu. Desa Darat Gunung mau berubah melalui kebersamaan. (*)

Sumber : Pos Kupang

Air Tak Pernah Mampir ke Desa Kami

Oleh Muhlis Al Alawi
Sabtu, 14 November 2009
 
Namun keinginan masyarakat untuk bangun dari mimpi dan mendapatkan air bersih dengan gampang belum pernah menjadi kenyataan.

"Untuk memenuhi kebutuhan air bersih, kami warga Oelet harus berjalan kaki sepanjang 4 kilometer pergi pulang. Sumber mata airnya pun bukan dari sumber mata air yang bersih, tetapi dari hamparan tiga sungai di dekat desa kami," ujar Arnolus Nesimnasi kepada Pos Kupang pekan lalu di Oelet.

Sebenarnya ada mata air di desa tetangga yakni Desa Pili berjarak sekitar delapan kilometer yang dapat menyuplai kebutuhan air bersih 1.783 jiwa di desa itu. Namun keluhan dan usulan warga yang disampaikan lewat musrenbang tingkat kecamatan dan kabupaten belum terealisasi hingga kini.

Kendati demikian, warga Oelet tetap survive kendati hidup dengan ketiadaan sarana air bersih yang memadai selama berpuluh-puluh tahun. Kehidupan di Oelet tetap berjalan seperti biasa meski harus bersusah payah setiap harinya untuk mengambil 20 liter air bersih dengan menuruni dan mendaki bukit sepanjang empat kilometer. 


Menurut Arnolus, ada tiga kali yang menjadi sumber mata air bagi warga Desa Oelet. Ketiga kali itu, yakni Oeuah, Oeuayu dan Oeunbu. Namun semenjak musim kering terus berkepanjangan warga tak semudah dahulu mendapatkan air. Untuk mendapatkan satu jerigen air warga harus menggali sungai dan menunggu hingga berjam-jam hingga air memenuhi kubangan.

Tak hanya masalah air. Ibarat sudah jatuh tertimpa tangga pula, masalah penerangan juga menjadi persoalan tertinggalnya desa itu dibandingkan dengan desa lain.

Beberapa upaya telah dilakukan pemerintah dengan memberikan bantuan beberapa unit PLTS bagi warga setempat. Namun rasa keadilan itu hanya diperoleh bagi yang mendapatkan bantuan.

Lantas bagaimana dengan warga yang terus bergelap gulita saat malam tiba.

"Sebenarnya kami bisa mendapatkan sarana penerangan bila PLN mau menyambungnya dari Ibu Kota Kecamatan Amanuban Timur di Oeekam. Tapi sampai kini sambungan listrik itu juga tidak pernah mampir di desa kami. Masyarakat kami banyak menggunakan pelita untuk penerangan malam hari," ujar Antonius.

Antonius bercerita, nyala pelita akan mengisi ruang gelap di rumah warga bila masyarakat mampu membeli minyak tanah. Pasalnya harga minyak tanah di Oelet cukup `mencekik' leher warga. Satu liter minyak tanah warga harus merogoh kocek sebanyak Rp 5.000.

Harapan Antonius dan Arnolus, Pemkab TTS tak melupakan Oelet sebagai salah satu desa yang harus mendapatkan kue pembangunan. Bukan tak mungkin keterisolasian warga setempat terjadi lantaran masalah air bersih dan penerangan yang tak kunjung datang. (*)


Sumber : Pos Kupang

Air Kurang, Mandi dan Belajar Tidak Diutamakan

Oleh Servatinus Mammilianus
Sabtu, 28 November 2009
 
Satu-satunya sumber air di Desa ini adalah mata air Weepangali, yang berjarak sekitar 500 meter dari permukiman warga di desa itu. Setiap warga desa yang hendak mendapatkan air di tempat itu, harus bersabar untuk menunggu berjam-jam, sampai air yang tertampung bisa digayung.

"Debit air yang keluar sangat lambat, sehingga kadang kita harus rela bersabar dari pagi hingga siang hari. Tidak jarang kita menunggu sampai jam delapan malam," kata Ketua Badan Perwakilan Desa (BPD), Eduardus Bili Daga, yang ditemui Pos Kupang di desa itu, Jumat (20/11/2009).

Eduardus menuturkan, untuk mendapatkan air satu gayung ukuran satu liter, setiap warga harus bersabar sampai sekitar setengah jam. Selain untuk konsumsi warga, air tersebut juga digunakan  pemilik hewan untuk minum ternaknya seperti kuda dan kerbau.

Hal senada disampaikan oleh Sabinus Ngongo Routa, seorang warga lainnya. "Beberapa warga sudah memiliki bak penampung air  sehingga kalau ada uang bisa membeli air dengan harga seratus ribu per tangki. Ini sangat membantu karena bisa mengurangi jumlah antrian di mata air," kata Sabinus. Namun, menurut Sabinus, sebagian besar warga di desa itu belum mampu membangun bak air sehingga hanya menampung air di drum. Harga per drum Rp 5.000.

Warga yang tidak memiliki bak atau drum bisa membeli air di tetangga yang sudah memiliki tampungan air, dengan harga Rp 20.000 tiga jerigen (satu jerigen ukuran 20 liter). "Kita tidak mungkin mandi setiap hari karena diutamakan untuk minum dan masak makanan, mandi seperlunya saja," kata Sabinus.

Warga yang kekurangan uang satu-satunya solusi adalah menungu dan tetap menunggu hingga air yang keluar dari matanya tersebut, bisa dipindahkan dan memenuhi jerigen atau ember yang disiapkan.

Lain halnya dengan Yovita Ghoghi. Siswi kelas 6 SDK Weepangali itu, harus mengorbankan jam belajar karena setelah keluar dari sekolah, dia wajib menunggu air di tempat tersebut sampai debit air yang keluar bisa memenuhi jerigen yang dibawanya.

"Setelah pulang sekolah, saya makan siang dan langsung datang menunggu air di sini (Mata air-Red). Setiap hari selalu begitu," kata gadis cilik yang ditemui di lokasi mata air tersebut.

Gadis itu mengaku tidak bisa mengikuti gadis di tempat lain yang seusianya, mereka mungkin bisa membuka kembali buku pelajaran yang didapatnya setelah pulang sekolah. Sedangkan dia, terpaksa harus mengutamakan kebutuhan air minum di rumahnya. Pekerjaan menunggu itu juga membuat gadis yang telah kehilangan ibu kandungnya itu capai, dan tidak bisa menggunakan waktu di malam hari untuk belajar. Dia harus cepat tidur, karena besok harus melakukan aktivitas yang sama, yakni sekolah dan menunggu kedatangan air di mata air. Di rumahnya, dia hanya ditemani seorang kakak laki-laki dan ayah kandungnya. Dia mengambil alih pekerjaan Ibunya yang telah meninggal dunia, beberapa tahun silam.

Pantauan Pos Kupang di mata air itu sekitar pukul 15.00 Wita, sejumlah anak SD, SMP dan SMA, masing-masing membawa jerigen dan ember untuk ambil air. Mereka  berlindung di bawa naungan pohon bambu di sekitar mata air tersebut, sambil menunggu banyaknya air yang tertampung di mata air itu.

Beberapa diantaranya tidak mempedulikan panasnya mentari siang itu. Mereka memilih tetap bertahan di tepi mata air yang lebih menyerupai sumur itu. Mata air di Weepangali itu, berada di kedalaman sekitar enam meter dari permukaan tanah, terlihat seperti bekas galian, dengan diameter sekitar dua meter.

Warna airnya agak keruh. Sekelilingnya dipenuhi bebatuan yang tersusun rapi menggunakan campuran semen. Menurut warga sekitar, awalnya batu tersebut disusun oleh nenek moyang mereka, namun sekitar lima tahun lalu ada sebuah lembaga swadaya masyarakat (LSM), yang berinisiatif menata lokasi mata air tersebut dengan menyusun kembali batu-batu yang ada menggunakan campuran semen.

Eduardus mengaku, sudah beberapa kali menyampaikan kondisi tersebut kepada Pemerintah Kabupaten SBD, namun sampai saat ini tidak ada respon. (*)

Sumber : Pos Kupang

Nuabosi yang Kekurangan Air

Oleh Romualdus Pius
Sabtu, 12 Desember 2009

Ubi Nuabosi jika ditemani dengan sambal ikan teri atau sambal kelapa akan mengundang selera makan yang tinggi karena rasanya yang nikmat, apalagi kalau ditambah dengan teh atau kopi hangat. Ubi tersebut bisa dinikmati dengan cara  digoreng atau direbus.

Namun di tengah nama ubi Nuabosi yang begitu melegenda, ada fakta ironis. Warga yang tinggal di sekitar Nuabosi, seperti Desa Randotonda dan  Ndetundora, ternyata masih kesulitan air bersih. Warga mengalami kesulitan air bersih layak minum.

Untuk mendapatkan air minum, warga di desa-desa tersebut terpaksa berjalan kaki sejauh 1 hingga 2 kilometer ke sumber air. Atau cara lain, yakni membangun bak-bak penampung air hujan di setiap rumah.

Menurut warga Desa Randotonda, Emi Sona, yang ditemui Pos Kupang pekan lalu, untuk mendapatkan air minum, warga desa berduyun-duyun mendatangi sumber air yang cukup jauh dari desa dengan berjalan kaki atau menyewa jasa sepeda motor ojek.

Menurut Emi, beberapa tahun lalu, pemerintah pernah berinisiatif mengintervensi agar air minum bisa masuk ke sejumlah desa yang ada di kawasan Nuabosi. Namun,  hasilnya tidak bertahan lama,n warga kembali seperti kebiasaan lama yakni mengambil air  di pancuran yang jauh dari desa.

Kondisi tersebut memang agak ironis kalau melihat kondisi alam Nuabosi terlihat sangat subur. Hamparan pohon-pohon kayu hijau rimbun terlihat sejauh mata memandang. Namun warga Nuabosi justru kesulitan air minum.

Keadaan demikian menimbulkan pertanyaan, ke mana air mengalir. Apa air mengalir begitu jauh sehingga warga Nuabosi tidak bisa menikmati air bersih secara lebih mudah?

Fakta lain yang terlihat di Nuabosi adalah kondisi jalan raya menuju desa-desa tersebut. Saat ini memang  sudah ada jalur jalan, namun kondisinya tidak terlalu mamadai.

Hal ini dapat dilihat ketika memasuki daerah Samba. Di sepanjang jalur jalan itu yang merupakan lokasi penggalian pasir kondisi jalannya telah rusak tergerus air hujan dan meninggalkan lubang-lubang di sepanjang jalan.

Selain itu batu-batu besar yang ditinggalkan para penggali pasir tentu menjadi ancaman tersendiri bagi para pengguna jalan karena sewaktu-waktu batu tersebut bisa saja terguling ke jalan raya yang bisa mengancam pengguna jalan.

Nuabosi yang terlihat begitu subur bahkan  begitu suburnya daerah  maka tidak heran kalau ada lagu dari Koes Plus yang liriknya batu dan kayu jadi tanaman bisa saja untuk menggambarkan keadaan Nuabosi. Namun Nuabosi yang sangat terkenal dengan ubi nuabosinya ternyata mengalami kekurangan air hingga saat ini. Jika saja ada intervensi dari pemerintah misalnya memasukkan air dari sumber air yang ada di belakang desa Randotonda, maka  warga Nuabosi tentu akan tersenyum gembira segembira para petani di desa-desa tersebut pada saat memanen ubi Nuabosi. (pius_2708@yahoo.com)

Manggulu, Penganan Khas Sumba yang Mulai Tergeser

Oleh Adiana Ahdmad
Sabtu, 23 Januari 2010

Ukurannya kecil dan bentuknya mirip dodol.  Makanan khas ini sudah jarang ditemui di Sumba Timur.

Hanya di beberapa wilayah yang masyarakatnya masih membuat produk tersebut. Itu pun hanya pada waktu-waktu tertentu dan dalam jumlah tertentu. 

Dalam kemasan aslinya, Manggulu dibungkus dengan daun pisang kering. Bagi orang Sumba, daun pisang kering memiliki nilai pengawet. Namun belakangan daun pisang mulai diganti dengan kemasan modern seperti plastik.

Manggulu saat ini memang masih ada. Namun keberadaannya mulai tergeser oleh penganan dari luar. Selain karena  produksinya terbatas, perubahan gaya hidup masyarakat Sumba turut berpengaruh terhadap eksistensi dari produk tersebut.  Keterbatasan produksi disebabkan oleh proses pembuatannya yang cukup memakan waktu.

Caranya, pisang kapok masak harus dikeringkan dahulu, kacang tanah goreng dikeluarkan kulit arinya. Kacang tanah kemudian ditumbuk. Demikian juga pisang masak kering. Setelah kedua bahan ini halus, dicampur lalu dibentuk.

Kalau cara tradisional, pembentukan dengan menggunakan tangan. Namun belakangan pencampuran dan  pembentukan bisa menggunakan mesin penggiling.

Manggulu saat ini memang  masih ditemukan di wilayah-wilayah  tertentu di Sumba Timur, seperti di Nggongi, Kahunga Eti. Di Kota Waingapu juga ada kelompok-kelompok binaan Badan Bimas Ketahanan Pangan yang masih membuat Manggulu. Namun produksinya tidak banyak. Karena itu, Manggulu jarang ditemukan di toko-toko kue. Kalaupun ada, jumlahnya sangat sedikit. Itupun jarang laku terjual karena Manggulu seakan tenggelam di antara penganan dari luar.

Hartini dari Badan Bimas Ketahanan Pangan Kabupaten Sumba Timur adalah orang yang masih konsisten untuk mempertahankan produk khas Sumba Timur ini. Melalui kelompok binaannya, Hartini mencoba untuk mengembangkan kembali penganan ini dan bertekad untuk menempatkan Manggulu menjadi tuan di negeri sendiri.

Sumba Timur  sebenarnya kaya akan penganan lokal. Namun gaungnya kalah dengan penganan dari luar. Selain kemasan dan tampilan yang lebih menarik, pergeseran pola hidup masyarakat di daerah itu turut berpengaruh terhadap eksistensi penganan lokal.

Masyarakat Sumba Timur lebih berkelas jika menenteng donat atau roti daripada Manggulu. Selain itu, promosi dan pencitraan pangan lokal yang masih terbatas membuat penganan ini tidak banyak dilirik oleh masyarakat Sumba Timur. Manggulu belum terkenal seperti kacang Sumba.

Jangankan untuk masyarakat luar, generasi Sumba saja bahkan sudah ada yang tidak mengenal Manggulu. Padahal kalau diperkenalkan terus-menerus, Manggulu bisa menjadi penganan yang diminati banyak orang karena rasanya khas.(*)

Sumber : Pos Kupang

Nenek Bunga dan Pelita

Kampoengku Oleh Sarifah Sifat
Sabtu, 13 Februari 2010
 
Lampu yang dibuatnya itu dibagikan kepada tetangga atau rekan-rekan sejawatnya yang membutuhkan untuk penerangan rumah pada malam hari.

Lampu pelita itu terbuat dari bekas kaleng susu atau botol kaca bekas minuman lalu seng digulung menjadi gulungan kecil sebesar jari telunjuk orang dewasa. Ke dalam lubang gulungan itu dimasukkan benang sumbu kompor. Lampu pelita tersebut dinyalakan setiap malam sebelum magrib atau sekitar pukul 18.00 Wita.

Orang menyapanya Nenek Bunga (60). Ia adalah korban banjir di Kelurahan Postoh pada tahun 2003 lalu. Karena rumah mereka ludes terbawa banjir, maka pemerintah membangun pemukiman perumahan Batu Ata Indah Permai. Pembangunan ini menggunakan dana bantuan pemerintah pusat.

Sudah dua tahun lebih Nenek Bunga dan sejumlah warga lain tinggal di pemukiman itu. Namun, seiring dengan perjalanan waktu, nenek yang sudah janda dan hanya tinggal dengan cucunya ini saban hari hanya menyalakan lampu pelita.

Padahal, letak bangunan perumahan ini ada di dalam Kota Larantuka dan tidak jauh dari perkantoran pemerintah daerah setempat. Namun, tidak ada fasilitas seperti listrik dan air yang merupakan kebutuhan pokok masyarakat dan menjadi fokus pembicaraan pemerintah untuk memberikan kesejahteraan kepada masyarakatnya.

Begitu juga air. Sudah ada beberapa korban termasuk ibu-ibu hamil yang keguguran karena harus mengambil air dengan posisi jalan mendaki dengan jarak yang cukup jauh. Semua ini dijalani warga dengan harapan ke depan akan ada perhatian pemerintah.

Namun, seiring perjalanan waktu hingga usai tahun 2009, bahkan nyaris sebagian besar dari 300 rumah yang dibangun sudah mulai kusam dan rusak, belum ada sikap pemerintah untuk membantu masyarakat dengan memasukkan fasilitas listrik dan air ke pemukiman itu.

Nenek Bunga hanya memiliki satu harapan dari pemerintah yaitu agar air dan listrik masuk ke rumahnya.
"Pekerjaan saya hanya buat kue jual di pelabuhan. Kalau laris, maka sehari hanya untuk beli beras. Kalau tidak, kami terpaksa puasa makan. Karena itu, kami minta agar pemerintah membantu memberikan fasilitas listrik dan air. Karena memakai lampu pelita pengeluarannya lebih banyak untuk beli minyak tanah."

"Begitu juga air. Saya tidak kuat lagi angkat air. Karena itu kami terpaksa beli air satu jerigen Rp 2.500 untuk minum hari-hari. Sedangkan untuk mandi, kami kadang cari air atau kalau tidak terpaksa tidak mandi," keluh Nenek Bunga. (*)

Sumber : Pos Kupang

Hutan Mbeliling

Kampoengku Oleh Salomo Haba
Sabtu, 20 Februari 2010

Tidak hanya terkenal di wilayah NTT, tapi juga di dunia internasional. Potensi tersebut membawa dampak luas bagi masyarakatnya jika dikembangkan dengan baik.

Hutan Mbeliling merupakan satu dari sejumlah potensi pariwisata yang mampu menarik wisatawan lokal maupun mancanegara. Kawasan seluas 77.485,75 Ha ini memiliki panorama alam yang sangat mengesankan mata.

Letaknya di wilayah Kecamatan Sano Nggoang-Kabupaten Manggarai Barat.

Ketertarikan pada kawasan hutan tersebut mendorong saya menelusuri wilayah itu, Kamis (18/2/2010). Menempuh jarak sekitar 60 km ke lokasi itu seakan tidak terasa. Banyak potensi alam yang membentang, membuatku menikmati perjalanan. Kawasan hutan Mbeliling yang selama ini hanya didengar akhirnya bisa kulihat.

Menarik, indah dan sejuk. Kata-kata tersebut mungkin tidak cukup untuk melukiskan kondisi kawasan hutan itu. Pengembangan hutan yang terpadu, pemeliharaan DAS dan sumber airnya membawa dampak positif bagi terciptanya kelestarian alam.

Pentingnya hutan bagi kehidupan masyarakat sangat besar. Namun jika tidak dikelola serta dijaga dengan baik tentunya bisa menimbulkan malapetaka.

Hutan Mbeliling sebagai hutan tropis dataran rendah memiliki kekeyaan besar yang bisa digunakan bagi kepentingan sosial budaya, ekonomi, pendidikan dan kesehatan.

Namun bertolak belakang jika kawasan yang bisa dijadikan pusat pariwisata ini tidak dipromosikan lebih luas. Peran pemerintah mempromosikan kawsan tersebut sangatlah penting. Hal ini dimaksudkan agar potensi hutan itu membawa dampak langsung bagi masyarakat sekitarnya.

Landasan kebijakan dan kegiatan pariwisata Mabar tentunya bermuara pada kepentingan masyarakat luas. Oleh sebab itu, sangatlah  penting  kontribusi pengembangan alam bagi masyarakat.

Partisipasi masyarakat menjaga kawasan Mbeliling perlu menjadi sorotan pemerintah sehingga kelak aset pariwisata tersebut tidak hilang.

Sejumlah warga yang ditemui di sekitar lokasi hutan Mbeliling mengatakan, di samping sebagai kawasan hutan, Mbeliling juga menjadi salah satu objek wisata. Pengelolaan kawasan tersebut seharusnya lebih terarah. Tujuannya demi terwujudnya keseimbangan ekosistem.

Hutan Mbeliling saat ini belum disentuh secara baik. Oleh sebab itu, promosi wilayah perlu dilakukan guna menarik perhatian masyarakat terhadap keberadaan Hutan Mbeliling bagi kehidupan generasi yang akan datang. (*) 

Sumber : Pos Kupang

Kearifan Masyarakat Nenas untuk Listrik

Oleh Alfred Dama
Sabtu, 6 Maret 2010

Magi masyarakat Desa Nenas listrik bukan lagi sesuatu yang sulit dan diminta kepada pemerintah.

Sejak tahun 2004, masyarakat di desa ini  menikmati listrik. Listrik itu bukan milik PT PLN, melainkan listrik yang diupayakan oleh masyarakat sendiri.

Desa ini berada sekitar 1.200 meter di atas permukaan laut, di sisi barat puncak Gunung Mutis, gunung tertinggi di Timor Barat.

Kepala Desa Nenas, Simon Sasi, yang ditemui di Studio Driya Media (SDM/LSM Lingkungan Hidup) Kupang belum lama ini menjelaskan, masyarakat di desanya menikmati listrik dari pembangkit listrik tenaga air milik masyarakat Desa Nenas.

Turbin yang ada di desa itu bisa menghasilkan tenaga listrik hingga 55 KVA. Dengan kapasitas tersebut, sebanyak 200 KK di desa ini bisa menikmati listrik.

Simon menguraikan, kehadiran listrik tenaga air itu bermula dari permohonan masyarakat kepada Pemerintah Kabupaten TTS untuk mendapatkan satu unit pembangkit listrik tenaga air, karena air di wilayah itu dirasa bisa menjadi pembangkit tenaga listrik.

Setalah melalui proses uji kelayakan, Pemkab TTS melalui Dinas Pertambangan dan Energi membantu masyarakat Desa Nenas dengan satu pembangkit listrik tenaga air.

Pemasangan jaringan listrik dilakukan pada tahun 2004-2005. Maka sejak saat itu,
listrik di Desa Nenas terus menyala.

Simon menjelaskan, air penggerak turbin pembangkit listrik itu mencapai 250 liter per detik berasal dari air kali Uni. Air ini dialirkan melalui pipa berdiameter 20 cm ke rumah turbin yang berjarak beberapa ratus meter. Tenaga air ini kemudian memutar turbin untuk menghasilkan tenaga listrik.

Meskipun air untuk menggerakkan turbin itu mengalir sepanjang tahun, bukan jaminan listrik akan menyala terus. Menurut Simon Sasi, listrik tenaga air ini hanya berlangsung hingga bulan Agustus.

"Air yang ada mulai berkurang pada bulan Agustus, sehingga air lebih banyak dialirkan untuk kebutuhan pertanian masyarakat. Listrik baru kembali normal ketika memasuki musim hujan sekitar bulan Oktober," jelasnya.

Masyarakat Desa Nenas menyadari listrik di desa mereka merupakan milik sendiri. Pemerintah Kabupaten TTS yang memberikan turbin pembangkit listrik tidak lagi mengatur dan membiayai operasional atau perawatan turbin itu. Biaya itu ditanggung oleh masyarakat Desa Nenas sendiri.

Simon Sasi menjelaskan, biaya tersebut dibebankan kepada warga dalam bentuk iuran listrik bulanan. Setiap pelanggan atau rumah tangga di Desa Nenas wajib membayar iuran listrik Rp 15 ribu/bulan.

Uang tersebut digunakan untuk membiayai pemeliharaan dan operasional listrik tersebut. Jadi biaya operasional dan perawatan menjadi swadaya masyarakat. (*)
Sumber : Pos Kupang

Manusia dan Ternak Rebutan Air Minum

Oleh John Taena
Sabtu, 27 Maret 2010
 
Namun warga kampung Geo Olo, Desa Gerodhere, Kecamatan Boawae, Kabupaten Nagekeo, setiap hari masih berpikir, "Hari ini mau minum apa?"  Apa lagi pada musim kemarau panjang. Untuk mendapatkan setetes air minum, warga terpaksa berebutan dengan ternak di lokasi sumber air.

Kampung Geo Olo terletak di atas sebuah bukit yang berjarak sekitar 30 km dari Kota Mbay, Ibu Kota Kabupaten Nagekeo. Untuk mencapai lokasi tersebut, membutuhkan waktu kurang lebih empat jam. Dari pusat Desa Gerodhere harus berjalan kaki sekitar tiga jam untuk menempuh jarak 5 kilometer agar sampai di kampung ini.  Waktu perjalanan cukup lama karena harus melalui jalan menanjak dan berlumpur. Selain itu, terdapat beberapa kali yang harus diseberangi.

Dari ketinggian bukit kampung Geo Olo, dapat disaksikan pemandangan indah dari berbagai penjuru. Meski demikian, tanah Geo Olo, yang tandus dan kurang subur, menjadi lokasi pilihan untuk bermukim bagi 13 kepala keluarga (KK). Mereka merupakan sekelompok masyarakat yang enggan untuk meninggalkan tanah leluhur. Meskipun pergulatan hidup kian hari kian keras dan menantang.

Kurang lebih terdapat 80 jiwa yang bermukim di kampung Geo Olo. Sebuah kampung yang hingga saat ini masih terisolir dan jauh dari sentuhan pembangunan. Akses transportasi dan pembangunan lainnya belum mereka nikmati. Tak jarang pada musim kemarau panjang, mereka membawa bekal dan mengantre sepanjang hari untuk mendapatkan
setetes air minum.

Berdasarkan hasil analisis kesejahteraan partisipatif (AKP), warga setempat masih hidup di bawah garis kemiskinan atau sangat miskin.

Hal ini dikatakan oleh tiga orang warga setempat, masing-masing Kosmas Djawa (tokoh masyarakat setempat), Rafael Bhia (Ketua RT 13) dan Hermanus Laki (Kepala Desa Gerodhere).

Mereka mengatakan, kesulitan terbesar yang dihadapi
warga setempat adalah air minum. "Kadang-kadang terjadi konflik di antara warga yang mengantre di lokasi sumber air untuk mendapatkan air minum," kata Laki.

Musim kemarau biasanya terjadi mulai bulan Juni hingga akhir Desember. Warga setempat biasanya antre sejak pukul 04.00 Wita di lokasi sumber air yang berjarak sekitar 5 km dari pusat permukiman.

Selain itu, debit air yang ada tidak besar. "Kalau kami antre dari dini hari biasanya sampai jam 12 siang baru dapat jatah air minum. Itu pun hanya mendapat sekitar 20 liter," sambung Laki.
Tak jarang sejumlah warga yang tidak mendapat air minum memilih untuk bermalam di sekitar lokasi sumber air. Hal ini terpaksa dilakukan demi dapat menampung air minum untuk dibawa kembali ke rumah.

Dikisahkan Rafel Bhia, Ketua RT setempat, terkadang air yang sudah ditampung oleh warga menunggu sejak malam hari dicuri sesama warga lainnya. "Kalau sudah seperti itu, konflik dan perkelahian di antara mereka tidak terelakkan," sambung Kosmas Djawa.

Mereka mengatakan, untuk mendapatkan air bersih yang bisa dikonsumsi saja sudah sulit sekali, apalagi kebutuhan rumah tangga yang lain tentunya tidak terpenuhi. Dari debit air yang tersedia pada musim kemarau tersebut, warga hanya bisa menggunakannya untuk konsumsi.

"Hanya untuk minum saja, sudah kesulitan sekali. Bagaimana mau mandi. Apalagi untuk kebutuhan lainnya, tentu kami tidak bisa penuhi. Kasarnya kami di sini rebutan air minum dengan ternak," kata mereka.(*)


Sumber : Pos Kupang

Warga Paka, Bersatu Melawan Kegelapan

Kampoengku Oleh Edy Royanto Bau
Sabtu, 3 April 2010
 
 
POS KUPANG.Com--KAMPUNG Paka, Desa Gurung Liwut, Kecamatan Borong, Manggarai Timur (Matim) berada sekitar 10 km dari Kota Borong, ibu kota Kecamatan Borong sekaligus ibukota Kabupaten Manggarai Timur. Suasana desa ini pun asri dan jauh dari hiruk-pikuk suasana kota.

Meski dekat dengan perkotaan, wilayah ini masih layak disebut kampung. Kenapa? Kampung ini punya keunikan tersendiri. Berjalan menyusuri kampung ini, punya kesan tersendiri. 

Di wilayah lain, tentu Anda tidak heran jika di sisi kiri dan kanan jalan, terpancang tiang-tiang baik dari besi maupun kayu yang menjulang tinggi dengan kabel-kabel listrik yang besar.

Namun di Kampung Paka dan beberapa kampung di sekitarnya (Peot, Kembur, Warat), Anda pasti terheran-heran dan pasti bertanya-tanya tentang adanya tiang-tiang bambu berukuran sedang yang terpancang pada sisi kiri dan kanan jalan serta kabel listrik berukuran kecil melilit pada tiang-tiang bambu itu.

Kampung yang juga tanpa sinyal telepon seluler ini kaya akan komoditi pertanian. Ada kopi, kakao, kemiri, pisang, pinang, alpukat dan masih banyak lagi. Curah hujan di wilayah ini cukup baik dibanding Kota Borong meski jaraknya tidak jauh.

Hanya butuh sekitar 15-20 menit perjalanan dengan sepeda motor dari Borong untuk sampai ke tempat ini. Terkadang di Paka terjadi hujan deras, sementara di Kota Borong kering kerontang.

Kampung ini juga dalam beberapa bulan terakhir sering disebut di media massa. Pasalnya, warga kampung ini terlibat kasus sengketa tanah Lehong.

Perang melawan kegelapan berawal dari suatu kondisi di mana warga Paka merasa kesulitan mendapatkan minyak tanah untuk lampu gas dan lampu minyaknya. Mereka lalu menghitung untung dan ruginya menggunakan genset atau generator dibanding dengan menggunakan lampu minyak yang menggunakan bahan bakar minyak tanah.

Kalau generator atau genset, memang agak bising suaranya, tapi rumah jadi terang benderang. Pada saat bangun pagi pun lubang hidung tidak hitam akibat asap lampu pelita. 

Yoseph Sakung, salah satu warga Paka, saat ditemui Pos Kupang di kediamannya, Kamis (01/04/2010), mengatakan, bersama warga lainnya, mereka telah berupaya sejak tahun lalu memerangi kegelapan. Usaha mereka akhirnya berhasil.

Ketika musim kakao tiba, hasil panenannya digunakan untuk membeli genset. Genset ini awalnya hanya untuk digunakan sendiri, namun karena ada permintaan dari tetangga dan keluarga di sekitarnya, maka mulailah dilakukan pemasangan layaknya listrik PLN.

Dari sebuah generator bisa melayani 10 hingga 15 rumah dengan ketentuan satu rumah hanya bisa menggunakan tiga bola lampu.
"Dari kesepakatan bersama,  setiap bulan, tetangga yang memasang listrik itu wajib membayar Rp 50 ribu untuk tiga bola lampu," kata Sakung.

Mengenai cara pembayaran, tidak ada petugas khusus laiknya petugas PLN. Semua secara sadar dan penuh pengertian datang membayar setiap tanggal 10 dalam bulan. 

Berdasarkan kesepakatan pula, listrik itu dinyalakan mulai pukul 18.00 hingga pukul 22.00  waktu setempat, kecuali ada acara suka maupun dukacita. Mereka tidak pernah mengenal yang namanya pemadaman bergilir.

Warga Paka lainnya, Yuliana Ratna mengatakan, gensetnya bisa melayani 15 rumah ditambah televisi (TV). Bagi yang memasang TV, biaya bulanannya ditambah Rp 20 ribu menjadi Rp 70 ribu perbulan.  Dalam semalam (keadaan normal dari pukul 18.00-22.00), mesin listrik itu bisa menghabiskan dua liter bensin.

"Tidak pernah ada komplain dengan angka meteran karena memang  tidak pakai meteran. Kita juga tidak kenal istilah pemadaman bergilir atau padam tiba-tiba sampai semua alat elektronik rusak. Semua sadar membayar tepat waktu tanpa ditagih," kata Ratna sambil tersenyum.

Menurut Kepala Dusun Paka, Kolsianus Hambur, di dusun itu terdapat sekitar 180 kepala keluarga (KK) yang mata pencahariannya petani dengan komoditi pertanian, seperti kakao, kemiri, pisang, pinang dan alpukat.

Sebagian besar dari 180 KK ini telah menggunakan listrik yang ditarik dari rumah ke rumah. Hasil dari semuanya itu, jelas Hambur, kampung yang dulunya gelap gulita, kini terang benderang. Kampung yang dulunya sepi, kini ada demtuman musik dan suara TV.  Meski tidak semuanya, namun kini warga bisa menikmati acara di TV dan tidak kekurangan informasi.(*)

Seberangi 3 Sungai Menuju Dona

Kampoengku Oleh Agnesta Radja
Sabtu, 10 April 2010
 
DONA, dusun terpencil yang berada di puncak bukit Desa Naruwolo, Kecamatan Jerebu'u, Kabupaten Ngada, kaya akan potensi alam perkebunan dan pertanian. Di balik terpencilnya Dona, tersimpan semangat juang dan kekeluargaan tinggi para warganya.

Topografinya yang sulit ditempuh tak mengurungkan niat warganya untuk terus beraktivitas demi menghasilkan rupiah menyambung hidup.

Pada suatu waktu, Pos Kupang memulai perjalanan dari Mangulewa menuju permukiman adat Bena. Setelah melewati pertigaan Bena, jalan mulai berbatu, berdebu, dengan gelombang yang mengguncangkan seisi perut.

Sudah begitu, jalan ke sana juga menanjak, melewati tiga titik jalan yang dialiri air sungai. Pada titik sungai yang pertama, air sungai yang cukup lebar mengalir sangat deras. Membuat hati orang yang tidak biasa menjadi was-was untuk melintasinya.

Bebatuan kali yang besar turut mengguncang keseimbangan laju kendaraan yang melintasi sungai itu. Perjalanan itu berlangsung sekitar 15 km panjanganya.

Bus kayu, satu-satunya kendaraan umum yang memediasi warga Dona dengan Kota Bajawa, masuk ke kampung itu pada pukul 02.00 Wita. Warga yang ingin menjual hasil panennya harus siaga sebelum pukul 02.00 untuk mendapatkan tumpangan. Sedangkan untuk balik dari Kota Bajawa ke Dona, paling lambat jam 10.00 Wita.

Ongkos untuk transportasi tersebut sebesar Rp 15.000. Jika harus menggunakan ojek, warga harus mengocek saku sebanyak Rp 50.000.

"Sayangnya, jika semenit saja terlambat, maka hasil panen tersebut terpaksa bermalam dan menunggu datangnya giliran esok," ungkap Hieronimus Bomo, salah seorang tokoh muda. Jika hasil komoditi itu harus ditunda sehari, maka berkuranglah kualitasnya, harga jualnya ikut menurun.

Begitulah kenyataannya, sudah sembilan tahun pengeluhan ini disampaikan, namun tidak ada tanggapan. Untuk urusan perjalanan, warga Dona selalu diselimuti perasaan khawatir.

Apalagi ketika sedang  diguyur hujan. Satu-satunya kendaraan umum yang melintasi kampung, bus kayu, juga tak mampu menyeberangi sungai itu.

Daripada ditimpa risiko yang buruk, warga terpaksa memilih tetap berdiam di tempat dan tidak memperoleh penghasilan sepeser pun. Selain terpencil dari jalan, warga Dona juga harus rela menjalani aktivitas di perkampungan tanpa penerangan.

Untuk keluarga yang tergolong mampu, dapat menikmati listrik dengan bantuan genset. Namun, keluarga yang hidupnya serba pas-pasan, hanya dapat menyalakan lentera demi mendapatkan cahaya pada malam hari. Rupanya, terlalu tinggi jika harus meminta fasilitas penerangan. Yang utama bagi warga Dona saat ini adalah "jalan".

Hingga permintaan warga diwakili Karolus Kumi, salah seorang tokoh adat. "Khusus untuk Dona-Naruwolo, jalan dari Nage ke Dona dapat diupayakan sehingga hasil komoditi lancar disalurkan, yang kemudian mendongkrak perekonomian warga dusun ini," pintanya.(*)


Sumber : Pos Kupang

Orang Lado Lima Rindu Jalan Aspal

Kampoengku Oleh Mathilde Apolonia Dhiu
Sabtu, 17 April 2010
 
PADA agustus 2009 saya menjalani cuti dua minggu. Perasaan senang dan apalah namanya berkecamuk di dada ketika mendapat kesempatan itu.

Waktu dua minggu sebenarnya pas untuk sedikit memanjakan diri di rumah, bersantai-santai dengan keluarga setelah sepanjang tahun sibuk dengan rutinitas sebagai seorang wartawati.

Apalagi, kesempatan cuti ini adalah saatnya pulang kampung. Ini kesempatan luar biasa untuk bertemu dengan keluarga besar. Saya pun berangkat bersama keluarga ke Flores.

Saya ingin berlibur di kampung halaman suamiku di Desa Lado Lima Utara, Kecamatan Keo Tengah, tepatnya di kampung Bajo. Hati berdebar karena ingin tahu seperti apa desa itu.

Menurut cerita yang saya dengar sebelumnya, udara di desa ini sejuk karena berada di ketinggian, hijau karena masyarakatnya sudah beralih dari rutinitas membuat sawah dan ladang dengan menjadikannya sebagai tempat yang dipenuhi dengan berbagai tanaman umur panjang, seperti cengkeh, kakao, kelapa dan sebagainya.

Setelah menempuh perjalanan dengan transportasi laut menuju Ende, kami pun menumpang bus ke Raja. Dari sana kami harus berganti kendaraan lagi dengan truk kayu menuju kampung Bajo.


Ya, senang sekali karena pemandangan yang maha indah, bukit- bukit yang dipenuhi dengan pepohonan yang lebat. Hitung- hitung cuci mata, karena di Kupang kadang hanya memandang batu karang dan rumput kering.

Perjalanan menyenangkan dari Raja berubah menjadi sesuatu yang membuat kesal. Jalan aspal yang tadinya mulus tiba-tiba berlubang-lubang yang menganga. Jalan aspal hanya sampai tepat di depan rumah salah seorang politisi nasional yang sebenarnya orang asli dari Kota Keo.

Selanjutnya, tinggal sejumput doa yang melelahkan karena berharap segera tiba di kampung dan meninggalkan perjalanan yang benar-benar mengerikan.

Kondisi jalan yang masih pengerasan dengan batu-batuan yang mengkilat, membuat kendaraan yang kami tumpangi harus miring ke kiri dan ke kanan. Belum lagi kondisi medan yang terjal dan berbukit-bukit. Kondisi ini ternyata bukan baru terjadi sekarang, tetapi sudah lama.

Ada beberapa kontraktor yang masuk untuk mengerjakan proyek jalan ini, tetapi selesai kerja, jalan pun kembali rusak, karena para kontraktor kerja hanya untuk proyek saja dan mengabaikan naluri kemanusiaan. Kondisi jalan ini akan sangat parah jika menghadapi musim hujan. Padahal, kalau mau dilihat lebih jauh, dinamika perekonomian masyarakat di desa ini, yang terdiri dari beberapa kampung, yakni Bhela, Bajo, Watumeko, Oja, Mundemi, Wolotaka, Boamuyi dan Koke sangat bagus.

Hasil pertanian umur panjang yang mereka kembangkan juga sangat bagus. Tapi, apalah daya, kalau transportasi tidak lancar ke daerah ini, hanya gara-gara kondisi jalan yang buruk.

Mereka harus menunggu trek yang akan ke Mbay, Raja, Boawae atau Bajawa dengan bangun jam empat pagi berjalan kaki ke jalan besar untuk menunggu trek kayu yang malakukan trayek ke desa tersebut.

Dan hanya satu trek saja yang mau masuk ke desa ini. Kalau terlambat, yah silahkan ditunda besoknya. Kalau sekedar terlambat yah, tapi kalau sudah cape menunggu, tapi treknya sudah penuh dan tidak bisa ditambah penumpang lagi. Benar- benar sakit hati.

Padahal, mereka sangat membutuhkan transportasi yang lancar untuk memasarkan berbagai komoditi yang mereka hasilkan. Sampai kapan???? Kalau benar-benar butuh, terpaksa mereka harus jalan berjam-jam memikul hasil komoditi mereka ke Raja atau menunggu kendaraan dari Ma'unori.

Penderitaan ini belum selesai, ditambah lagi sampai saat ini warga desa ini belum menikmati listrik, baik dari PLN maupun tenaga surya atau tenaga lainya. Malam hari adalah malam yang sangat ditakuti warga, apalagi orang baru?

Sampai saat ini mereka masih menggunakan lampu pelita. Syukur-syukur kalau persediaan minyak tanah di kios-kios warga memadai.

Tetapi kalau minyak tanah krisis, mereka kembali hanya bisa menyalakan api di tungku saat memasak, setelah itu yah tidur untuk menanti datangnya mentari pagi.

Bagi anak-anak yang sekolah mereka terpaksa harus menyelesaikan tugas rumah di sore hari atau sepulang sekolah. Syukur-syukur kalau rembulan muncul di malam hari, kalau tidak kegelapan yang benar-benar menyesakan kalbu, sunyi senyap tanpa bunyi-bunyian televisi atau radio sebagai sebagai refresing di malam hari.

Masyarakat Lado Lima Utara memang pernah swadaya untuk penerangan dengan menggunakan genset. Tapi, hal itu tidak berlangsung lama karena mesin gensetnya jebol.

Terpaksa kembali gelap lagi. Saat ini hanyalah kabel-kabel yang bergelantungan dari rumah ke rumah karena mesin genset sudah tidak ada lagi.

Kepemimpinan para pemimpin yang ada di sana pun hanya janji- janji kampanye saja. Selanjutnya, masyarakat Lado Lima Utara harus tetap tertatih-tatih memasarkan komoditi mereka ke kota karena ketiadaan jalan dan trasnportasi yang memadai. (*)


Sumber : Pos Kupang

Usa, Tradisi Selaras Alam

Kampungku Oleh Alfred Dama
Sabtu, 24 April 2010
 
KEMAJUAN teknologi dan ilmu pengetahuan tidak serta-merta mengubah tradisi masyarakat Dawan, khususnya di Desa Sainoni, Kecamatan Bikomi Utara, Kabupaten Timor Tengah Utara (TTU).

Warga di desa yang berada di beranda Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) ini terus menjaga tradisi peninggalan nenek moyang mereka.

Salah satu tradisi yang terus dipelihara hingga kini adalah usa. Bagi masyarakat Desa Sainoni dan desa-desa lain di Kabupaten TTU, usa merupakan tradisi tahunan sebagai wujud rasa syukur kepada Tuhan yang telah memberikan hasil bumi, dan juga kepada alam yang telah menjadi media tanaman pertanian warga.

Usa merupakan tradisi wajib bagi masyarakat di Desa Sainoni.  Usa biasanya digelar menjelang pertengahan tahun atau usai musim panen.

Margaret, warga Sainoni yang kini tinggal di Kupang, mengatakan, warga di desanya sangat menghargai setiap tradisi yang diturunkan oleh nenek moyang. Hal ini sangat terkait dengan akibat yang akan dicapai.

Dalam upacara usa, tiap-tiap keluarga membawa hasil pertanian yang baru dipanen, seperti jagung, padi dan aneka jenis hasil bumi dari kebun atau ladang. Hasil pertanian ini hanya sebagian kecil atau simbol saja, seperti jagung hanya beberapa batang yang dipotong pada bagian bawa dan pucuk dengan buah yang tetap menempel pada batang. Beberapa batang jagung bersama buahnya ini diikat menjadi satu.

Hasil bumi kemudian dibawa ke gereja saat misa atau perayaan ekaristi. Semua hasil bumi ditumpuk di dekat altar guna mendapat berkat dari pastor yang memimpin perayaan ekaristi tersebut.

Usai mendapat berkat oleh pastor, hasil ini kemudian dibawa lagi ke rumah adat. Biasanya tiap-tiap suku memiliki rumah adat sendiri. Di tempat ini hasil bumi dimasukkan dan disimpan. Ini merupakan wujud terima kasih kepada nenek moyang dan alam yang telah menjadi media tanaman ini sehingga bisa tumbuh sumbur dan hasilnya baik.

Margaret mengisahkan, masyarakat di wilayah tersebut meyakini bila usa ini tidak dilaksanakan, maka berakibat buruk pada musim tanam berikutnya. Bentuk-bentuk dampak buruk, antara lain tanaman tidak subur, terserang hama atau dimangsa oleh hewan ternak milik masyarakat  di wilayah itu. Selanjutnya bisa gagal panen.

Satu hal yang menjadi pesan dalam tradisi ini adalah masyarakat Sainoni terus menjaga tradisi yang sudah  dilaksanakan secara turun-temurun dan nilai lainnya adalah mereka tetap mensyukuri karania Tuhan dan tetap menghormati alam. (*)



Sumber : Pos Kupang

Pantai, Tanah Subur yang Belum Tergarap

Kampungku Oleh Alfred Dama
Sabtu, 8 Mei 2010
 
SETIAP kali kendaraan melintasi jalan desa, selalu terlihat debu beterbangan. Warga yang kebetulan berada di pinggir jalan pun spontan membelakangi badan jalan atau berlindung di balik pohon menghindari debu.

Begitulah pemandangan hari-hari saat musim panas di Desa Pantai, Kecamatan Biboki Selatan, Kabupaten Timor Tengah Utara (TTU). Desa Pantai yang memiliki pusat pemerintahan di Kampung Opo ini berada sekitar 30 km arah timur Kota Kefamenanu, Ibu kota Kabupaten TTU. Wilayah ini berada sekitar 7 km arah utara dari ruas jalan Trans Timor (Kefamenanu-Atambua) tepatnya dari Desa Kiupasan- Kecamatan Insana.

Meskipun nama desa ini Pantai, namun wilayah ini tidak memilki pantai atau tidak berada di tepi laut. Wilayah ini bahkan berada di tengah daratan Pulau Timor. Untuk mencapai desa ini, orang mesti melewati jalan tanah atau jalan bekas aspal. Tidak heran bila pada musim, kendaraan yang lewat, terutama  roda empat selalu menyebabkan debu beterbangan.

Sebaliknya  pada musim hujan, jalan desa  ini becek dan licin luar biasa. Banyak kubangan lumpur mengakibatkan roda kendaraan tertanam.

Desa yang baru dibentuk sekitar tahun 1970-an ini dihuni oleh masyarakat yang sebelumnya tinggal di sekitar hutan di  perbukitan dekat wilayah itu. Mereka direlokasikan ke tempat itu setelah pemerintah membuka jalan dan pemukiman baru.

Bila dilihat sepintas, pemandangan di desa ini tampak gersang. Tanaman yang terlihat hijau di tengah pemandangan yang gersang ini antara lain pisang dan rerumputan serta semak belukar. Padahal tanah di desa ini cukup subur. Bahkan ada dua sungai yang melintas di desa ini yang selalu mengalir sepanjang tahun.

Kesuburan tanah di desa ini sudah pernah dibuktikan oleh beberapa warga yang datang dari luar desa dengan menanam aneka sayur-sayuran, antara lain sawi, wortel, tomat, cabai, sayur bunga kuning dan beberapa jenis tanaman lainnya. Hasilnya cukup bagus. Namun menanam aneka tanaman ini tidak bisa bertahan lama karena selalu menjadi target pencurian.

Masyarakat di wilayah ini menggantungkan hidup dari peternakan dan pertanian lahan basah seperti sawah. Kalaupun ada pengolahan lahan kering hanya untuk tanaman jagung atau padi saat musim hujan.

Meskipun daerah ini subur dan tidak kekurangan air, namun masyarakat di wilayah ini masih hidup seadanya. Lahan-lahan pertanian yang subur juga masih dibiarkan terlantar. Tidak heran pada musim panas, warga di wilayah ini terkadang kekurangan pangan. Padahal, bila lahan ini dikelola dengan baik bukan tidak mungkin wilayah ini menjadi daerah yang cukup makmur.

Beberapa warga setempat yang ditemui Pos Kupang beberapa waktu lalu mengatakan, masyarakat di desa ini enggan memanfaatkan lahan yang ada. Aksi pencurian tanaman yang siap panen menjadi hal yang biasa di tempat ini. Itu sebabanya mereka ogah menanam. Mereka yang menanam cuma jadi korban pencurian.

Pemerintah dan aparat keamanan mestinya turun ke wilayah ini untuk memberikan motivasi pada masyarakat untuk mau memanfaatkan tanah-tanah subur yang ada dan harus menindak oknum-oknum memanfaatkan hasil yang ditanam orang lain.

Dan, bila semua warga desa ini sudah sadar dan rajin menanam, niscaya desa ini bisa menjadi desa yang memasok sayur-sayuran, buah-buahan, aneka bumbu dapur ke Kota Kefamenanu. *



Sumber : Pos Kupang