Minggu, 27 Juni 2010

Mangan Makan Korban, Pemda Harus Bertanggung Jawab

Jumat, 25 Juni 2010
Jangan Hanya Kejar Profit

TEWASNYA penambang mangan di Kecamatan Kakulukmesak, Kabupaten Belu, disebabkan oleh kurangnya sosialisasi mengenai keselamatan kerja dan cara kerja aman oleh pemerintah dan pengusaha mangan sendiri. Karena itu, pemilik Izin Usaha Pertambangan (IUP) jangan hanya mengejar profit, tetapi harus melakukan sosialisasi kepada masyarakat.

Hal ini dikemukakan Ketua DPRD Belu, Simon Guido Seran, ketika ditemui Pos Kupang di ruang kerjanya, Kamis (24/6/2010). Dia menduga selama ini tidak ada sosialisasi kepada warga mengenai keselamatan kerja, termasuk cara menggali mangan yang aman. Selama ini pengusaha pemilik IUP hanya mengejar profit dan mengabaikan keselamatan pekerja.

"Terlepas dari warga menggali legal atau ilegal, yang perlu diperhatikan adalah sosialisasi soal keselamatan kerja. Pengusaha harus menjelaskan kepada masyarakat bagaimana cara menggali mangan yang baik. Lalu berapa dalam tanah digali untuk mendapatkan mangan. Informasi ini sepertinya tidak pernah disampaikan. Akibatnya seperti dialami warga di Kakulukmesak itu," tegas Simon.

Tentang regulasi, Simon menyatakan sependapat. Di dalam tata tertib terbaru saat ini, pasal 24 menyatakan setiap anggota dewan punya hak mengajukan usulan pembentukan regulasi. Usulan itu disampaikan kepada pimpinan kemudian dibawa kepada panitia legislasi untuk dikaji sebagai hak inisiatif lembaga DPRD Belu.

Khusus untuk perda tentang mangan, Simon menyampaikan akan menyesuaikannya dengan usulan dari pemerintah.

"Soal Perda itu kan bisa datang dari pemerintah, juga dari dewan. Kita lihat nanti, apakah pemerintah yang mengajukan untuk kita bahas bersama ataukah kami dari dewan punya inisiatif, akan kita diskusikan lagi. Tapi yang penting sekarang, sosialisasi mengenai keselamatan kerja dulu bagi para pekerja," kata Simon.

Tokoh masyarakat Belu, Gabriel Fernandez, menegaskan, selama ini pemerintah terkesan membiarkan para pengusaha menggali mangan tanpa memperhatikan dampak lingkungan. Pembiaran seperti ini justru berdampak buruk setelah para pengusaha meninggalkan Belu.

"Jangan karena pengusaha memberikan dana sedikit untuk PAD lantas kita membiarkan lingkungan kita rusak. Sepertinya terjadi pembiaran para pemilik IUP melakukan eksplorasi. Warga yang menggali mangan juga tidak pernah diberikan pengaman. Sekarang memang dampak pada kesehatan belum dirasakan, tapi sepuluh tahun yang akan datang, akan muncul generasi pesakitan sebagai dampak dari penggalian mangan tanpa alat pengaman," tegasnya.

Untuk itu, kata Gabriel, pemerintah dan dewan harus segera membahas peraturan daerah (perda) yang mengatur soal mangan ini. Sebab, kalau tidak ada payung hukum, pengusaha akan dengan leluasa menguras habis kekayaan alam milik Belu untuk dibawa keluar, sementara generasi kelak hanya sebagai penonton di tanahnya sendiri. (yon)

Mangan Makan Korban, Pemda Harus Bertanggung Jawab

Jumat, 25 Juni 2010
 
 
 
Tiga korban yang tewas tertimbun mangan di Kiumabun, Desa Oebola Dalam, Kecamatan Fatuleu disemayamkan bersama di rumah duka sebelum dikuburkan. Ketiga korban itu dibaringkan di atas satu tempat tidur, Rabu (7/10/2009).

 
 
KUPANG, POS KUPANG.Com  -- Pemerintah daerah di wilayah Timor yang memiliki potensi tambang mangan harus bertanggung jawab terhadap setiap masalah yang timbul akibat eksplorasi dan eksploitasi mangan di wilayahnya. Termasuk, ketika  penambangan itu menelan korban jiwa.

Hal ini disampaikan Hubungan Masyarakat (Humas) Persehatian Orang Timor (POT) Nusa Tenggara Timur (NTT), Drs. Michael Betty, kepada Pos Kupang, Kamis (24/6/2010). Betty dimintai tanggapan atas tewasnya beberapa warga akibat menambang mangan di daratan Timor. Kasus terakhir menimpa empat warga di Kecamatan Kakulukmesak, Kabupaten Belu.

"Karena mereka sebagai kepala daerah tahu persis potensi mangan di wilayahnya. Bahkan setiap investor atau pengusaha yang datang selalu melalui pemerintah daerah," kata Betty.

Dia menjelaskan, apabila pemerintah menggunakan alibi, yang sering menjadi korban adalah warga yang mencari mangan secara ilegal, maka hal itu sangat tidak beralasan, sebab warga itu mencari mangan atas permintaan dari pengusaha atau investor, selain tuntutan kebutuhan hidup.

"Kalau pemerintah daerah lepas tangan atau tidak bertanggung jawab, berarti pemerintah sendiri tidak pernah menertibkan investor gelap yang masuk ke daerahnya," jelas Betty.
Dia mengatakan,  apabila pemerintah daerah mengelak karena warga yang menjadi korban itu menambang secara ilegal pun sangat tidak masuk akal. "Pemerintah seharusnya yang menertibkan broker atau investor gelap agar warga pun berusaha secara legal karena yang masuk di wilayahnya itu legal pula," ujarnya.

Ketua Umum POT NTT, Drs. Jonathan Nubatonis, mengatakan, sampai saat ini banyak sekali tengkulak yang mengaku sebagai pengusaha mangan di Timor. "Mereka itu masuk ke kampung- kampung untuk mencari dan mengumpulkan mangan. Karena ilegal, maka saat jatuh korban, mereka mengelak. Kalau legal, maka semua aturan pekerja (warga) harus ada, seperti kerja pakai sarung tangan, masker dan lainnya," kata Nubatonis.

Dikatakannya, kasus-kasus mangan yang membuat korban tewas dan tidak ada yang bertanggung jawab membuktikan, pengusaha atau investornya ilegal atau gelap.

"Selain kepala daerah, DPRD setiap kabupaten/kota juga harus bertanggung jawab sebagai lembaga kontrol yang selalu memberi pengawasan terhadap pemerintah," ujarnya.
Gubernur NTT, Frans Lebu Raya menegaskan, penambangan mangan di NTT perlu pengaturan yang lebih baik, sehingga mengurangi risiko kematian. Pemerintah Propinsi NTT baru mendapatkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor  23 Tahun 2010 sebagai  peraturan pelaksana pertambangan mineral dan batu bara tersebut.

Lebu Raya mengatakan itu usai menghadiri penandatanganan  MoU percepatan MDGs dengan DPD dan UNDP di Hotel Sasando Kupang, Kamis  (24/6/2010).  

Soal pertambangan rakyat yang sering menelan korban jiwa, kata Lebu Raya, perlu diatur lebih baik sesuai dengan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 23 tahun 2010 tentang Kegiatan Usaha  Pertambangan Mineral. Saat ini pemerintah sedang mempelajari amanat PP itu untuk diimplementasikan dalam pertambangan mangan di NTT.

Gubernur mengharapkan para bupati di daratan Timor meredam gejolak warga yang tergiur dengan rayuan pengusaha mangan lalu melakukan pertambangan rakyat yang membahayakan. Lebu Raya menginginkan mangan ditambang dengan menggunakan teknologi sehingga risiko menelan korban jiwanya menjadi kecil.

Pemda Larang
Wakil Bupati Timor Tengah Selatan (TTS), Drs. Benny A. Litelnoni, S. H, M.Si menegaskan, pemerintah daerah menginstruksikan kepada masyarakat melalui Dinas Pertambangan agar  jangan ada penambangan liar terutama penambangan rakyat. Penambangan liar atau penambangan rakyat dapat merusak lingkungan dan keselamatan penambang tidak terjamin.
"Saat ini baru ada delapan investor yang mengantongi izin Kuasa Penambangan (KP), sementara penambangan rakyat belum ada sehingga terjadi kecelakaan akibat penambangan liar atau penambangan rakyat siapa yang bertanggung jawab," kata  Litelnoni saat ditemui di ruang kerjanya, Kamis (24/6/2010).

Benny Litelnoni mengatakan, sejauh ini Pemda TTS selalu mengimbau kepada masyarakat agar tidak boleh melakukan penambangan liar, namun tidak diindahkan karena masyarakat diiming-imingi dengan sejumlah uang oleh oknum-oknum tertentu.

"Pemda TTS mengimbau agar masyarakat menunggu sampai ada izin lokasi bagi investor, baru bisa bermitra untuk melakukan penambangan sesuai dengan persyaratan yang berlaku. Untuk itu, Pemda segera membuat perda tentang mangan dan saat ini drafnya sudah ada dan siap dibahas bersama pihak terkait sebelum ditetapkan oleh DPRD TTS," katanya.

Menurut Litelnoni, saat ini ada delapan investor yang mengantongi izin, namun hanya satu, yakni PT SoE Makmur Resources (SKR) yang melakukan penambangan, sementara tujuh lainnya belum melakukan kegiatan penambangan.

Ketua DPRD TTS, Eldat Nenabu, S. H mengatakan, sejauh ini belum ada koordinasi antara Dinas Pertambangan dan DPRD untuk melakukan sosialisasi kepada masyarakat berkaitan dengan penambangan dan risikonya.

Menurut Nenabu, sebanyak 170 investor telah mengusulkan permohonan izin penambangan mangan melalui Dinas Pertambangan. Nama-nama investor tersebut telah diserahkan kepada DPRD untuk didisposisikan.

Nenabu mengatakan, para investor harus memiliki kantor dan alamat yang jelas agar bisa dihubungi ketika terjadi persoalan di lapangan.

Menurutnya, setelah anggota legislasi DPRD TTS melakukan konsultasi dengan Dirjen Mineral dan Batu Bara dan pihak kementerian, PP dan Permen berkaitan draf standar harga sudah ditentukan dan dikembalikan kepada daerah untuk menuangkan dalam bentuk perda.
"Kewenangan sepenuhnya diserahkan kepada daerah. Yang terpenting pencanangan wilayah tidak masuk dalam kawasan hutan lindung dan ketentuan tentang ganti rugi tanam- tumbuh pada lokasi serta batasan umur masyarakat masuk lokasi tambang, yakni anak-anak dibawa umur dan orangtua di atas 60 tahun dilarang," katanya.

Demikian juga disampaikan Wakil Ketua DPRD TTS, Ampere Seke Selan, S. H. Menurut dia, ketentuan lain, seperti izin khusus penimbunan, harus dilakukan berkaitan dengan Amdal dan kesehatan lingkungan. (yel/gem/mas)

KM Lintas Jaya Tenggelam di Selat Sape

Minggu, 27 Juni 2010
Muat 40 Ekor Kuda
 
LABUAN BAJO, POS KUPANG.Com -- Tim Gabungan yang terdiri dari Syahbandar Labuan Bajo, Tim SAR, Polres Mabar dan TNI mencari Kapal Motor (KM) Lintas Jaya yang tenggelam di Selat Sape, perbatasan antara Kabupaten Manggarai Barat, NTT dan Kabupaten Bima, NTB, Jumat (25/6/2010), sekitar pukul 17.00 wita.

Hal itu disampaikan Komandan Pos Angkatan Laut (AL) Labuan Bajo, Letnan I Rudhy Rusdianto, kepada wartawan di Labuan Bajo, Sabtu (26/6/2010).

Rusdianto mengatakan, sebelum KM Lintas Jaya tenggelam, salah satu awak kapal mengirim pesan bahwa kapal tersebut hampir tenggelam.

Mendapat informasi itu, jelas Rusdianto,  pihak Syahbandar Labuan Bajo, Tim SAR, Polres Mabar dan TNI  melakukan koordinasi untuk mencari kapal tersebut.

"Pukul 04.00 Wita dini hari tadi (Sabtu kemarin, Red),  tim gabungan sudah menuju lokasi. Tetapi, dari pencarian yang dilaporkan, belum ditemukan tanda-tanda. Kami akan terus menyisir semua lokasi di dekat tempat kejadian," kata Rusdianto.

Menurut informasi yang diperoleh Pos Kupang di kantor Syahbandar Labuan Bajo, Manggarai Barat (Mabar), Sabtu (26/6/2010), KM Lintas Jaya tenggelam tepat di perairan sekitar Pulau Kelapa.

Kapal tersebut berangkat dari Weekelo, Kabupaten Sumba Barat Daya, menuju Jeneponto, Propinsi Sulawesi Selatan, tanggal 24 Juni 2010 lalu. Kapal tersebut mengangkut puluhan ekor kuda dari Sumba beserta enam awak kapal.

Dalam pelayaran tersebut, KM Lintas Jaya sempat istirahat di Labuan Bajo, kemudian berangkat lagi tanpa sepengetahuan Syahbandar Labuan Bajo.

Kapal tersebut kemungkinan besar tenggelam akibat kebocoran mesin. Sebab, sebelum tenggelam, salah satu awak kapal masih menghubungi pihak Syabandar Labuan Bajo melalui pesan singkat (SMS).

Hingga kini belum diketahui nasib enam awak kapal tersebut. Tapi, puluhan ekor kuda kemungkinan besar tenggelam bersama kapal. Kerugian akibat musibat tersebut mencapai ratusan juta rupiah. (cc)

Gunawan Lutfi dan Jeremias Messakh Ditahan

Rabu, 23 Juni 2010
 
BA'A, POS KUPANG.Com -- Penyidik Kepolisian Resor (Polres) Rote Ndao sudah menahan Ir. Gunawan Lutfi dan Jeremias AJ Messakh dalam kasus berbeda. Gunawan ditahan sejak tanggal 10 Juni 2010 dalam kasus dugaan korupsi pengadaan alat sterilisasi kontrasepsi pada Dinas Kependudukan dan Keluarga Berencana (KKB) Kabupaten Rote Ndao tahun 2008.

Sedangkan Jeremias AJ Messakh ditahan sejak tanggal 15 Juni 2010 dalam kasus dugaan korupsi dana bantuan sosial untuk peningkatan areal padang penggembalaan ternak dan hijauan makanan ternak (HMT) Dinas Peternakan Kabupaten Rote Ndao tahun 2009.

Hal ini disampaikan Kapolres Rote Ndao, AKBP Johanies Riyanto, S.IK, ketika ditemui Pos Kupang di ruang kerjanya, Selasa (22/6/2010) siang. Saat memberi keterangan ini, Riyanto didampingi Kasat Reskrim Polres Rote Ndao, Iptu David Candra Babega, Kepala BKO, Bripka Moses Mbarbosa dan
Kanit Pidum, Brigpol Vinsensius Bosco.

"Saat ini ada lima kasus dugaan korupsi yang kami tingkatkan dari tahap penyelidikan ke tahap penyidikan, dan dari jumlah itu ada dua tersangka dalam dua kasus dugaan korupsi sedang kami tahan untuk kepentingan penyidikan," kata Riyanto.

David Candra Babega menambahkan, Gunawan Lutfi ditetapkan sebagai tersangka dalam kapasitasnya sebagai Direktur CV Anugerah Timor Mandiri yang menjadi kontraktor dalam proyek pengadaan alat sterilisasi kontrasepsi pada Dinas KKB Kabupaten Rote Ndao tahun 2008.

"Dalam pengelolaan proyek pengadaan alat sterilisasi kontrasepsi tahun 2008 ini, seharusnya Gunawan Lutfi sebagai kontraktor mengadakan 128 unit alat sterilisasi kontrasepsi. Tetapi yang terjadi, tersangka hanya sanggup melakukan pengadaan 28 unit alat sterilisasi kontrasepsi, sedangkan 100 unitnya tidak diadakan," kata David.

Indikasi kerugian negara yang ditimbulkan dalam pengelolaan proyek pengadaan alat sterilisasi kontrasepsi ini, kata David, diperkirakan mencapai 245 juta dari nilai proyek sebesar Rp 797.433.000. Meski pengadaan belum selesai, PPK mencairkan dana proyek seratus persen kepada kontraktor.

Sedangkan Jeremias Messakh, menurut Bripka Moses Mbarbosa, ditetapkan sebagai tersangka dalam kapasitasnya sebagai pejabat pembuat komitmen (PPK) proyek dana bantuan sosial untuk peningkatan areal padang penggembalaan ternak dan hijauan makanan ternak (HMT) Dinas Peternakan Kabupaten Rote Ndao tahun 2009.

Dana bantuan ini, kata Mbarbosa, seharusnya diberikan kepada kelompok tani Ita Esa di Desa Suebela, Kecamatan Rote Tengah, Kabupaten Rote Ndao, sebesar Rp 242.500.000. Namun, setelah dana tersebut dicairkan oleh KPPN Kupang dan ditransfer ke rekening kelompok tani Ita Esa, Jeremias AJ Messakh selaku PPK malah mengambil alih pengelolaan dana tersebut dan memanfaatkan dana tersebut untuk kepentingan pribadinya.

Dana ini merupakan bantuan pemerintah pusat dengan DIPA Departemen Pertanian-Ditjen Pengelolaan Lahan dan Air tahun anggaran 2009.

Kapolres Rote Ndao mengatakan, penyidikan kedua kasus dugaan korupsi ini masih terus berjalan untuk melengkapi berkas berita acara pemeriksaan (BAP) kedua tersangka. Tidak tertutup kemungkinan terjadi pengembangan penyidikan dan pihak lain yang dinilai ikut bertanggung jawab dalam kasus tersebut akan ikut ditetapkan sebagai tersangka.

"Yang pasti penyidik Polres Rote Ndao tetap serius dalam menangani kasus-kasus dugaan korupsi di daerah ini. Kami berharap penyidikan kasus ini bisa berjalan lancar sehingga para tersangka nantinya bisa dilimpahkan kepada kejaksaan untuk dibawa ke pengadilan guna mempertanggungjawabkan perbuatan mereka," kata Riyanto.

Dalam laporannya pada kunjungan kerja Kapolda NTT, Brigjen Pol Yorry Yance Worang di Polres Rote Ndao, Senin (14/6/2010) siang, Kapolres Rote Ndao mengatakan, saat ini aparat Polres Rote Ndao sedang mengusut delapan kasus dugaan korupsi, baik yang masih pada tingkat penyelidikan maupun penyidikan.

Kasus-kasus tersebut adalah dugaan korupsi dana belanja bantuan untuk partai politik, dugaan korupsi dana tunjangan insentif dan dana operasional pimpinan DPRD Rote Ndao, dugaan korupsi dana kas RSUD Ba'a, dugaan korupsi dana bantuan sosial perluasan lahan ternak, dugaan korupsi pengadaan pupuk urea, dugaan korupsi rehabilitasi Puskesmas Pulau Ndao, dugaan korupsi pengadaan mebeler di Setda Kabupaten Rote Ndao dan dugaan korupsi pengadaan alat
kontrasepsi dan KB. (mar)

Pemilik IUP Tidak Bertanggung Jawab

Kamis, 24 Juni 2010

ATAMBUA, POS KUPANG.Com -- Pemerintah Kabupaten Belu melalui Dinas Pertambangan dan Energi Belu menegaskan, pemilik Izin Usaha Pertambangan (IUP), CV Sakina Glory, tidak bertanggung jawab atas kejadian yang menimpa empat warga Kecamatan Kakulukmesak di lokasi tambang mangan, Minggu (20/6/2010). Pemilik IUP hanya bisa memberikan biaya kemanusiaan karena mereka menambang secara liar tanpa sepengetahuan pemilik IUP.

Meski begitu, pemerintah daerah akan meminta perhatian para pengusaha yang memiliki IUP untuk menyiagakan kepala teknik tambang (KTT) di semua lokasi guna memberikan peringatan keras kepada warga yang menambang secara ilegal dan menghindari terulangnya kasus serupa.

Kepala Dinas Pertambangan dan Energi Belu, Drs. Anton Suri, menyampaikan hal ini ketika dihubungi Pos Kupang di Atambua, Selasa (22/6/2010). Ia ditanyai soal sikap pemerintah dalam kasus tertimbunnya empat warga Kakulukmesak di lokasi tambang mangan.

Suri mengatakan, pemerintah tentu sangat prihatin dengan  kejadian yang menimpa empat warga Kakulukmesak itu. Namun, katanya, pemerintah pun tidak bisa menyalahkan pemilik IUP karena para korban menggali mangan tanpa sepengetahuan pemegang IUP, CV Sakina Glory.

"Pemerintah mau salahkan siapa dalam kasus ini? Memang pemilik IUP di lokasi kejadian itu adalah CV Sakina Glory, tapi pemilik IUP tidak bisa bertanggung jawab. Kalau mereka menggali mangan atas permintaan CV bersangkutan, maka bisa kita bicarakan lagi. Sementara mereka gali secara ilegal. Tapi, saya sudah koordinasi dengan CV Sakina Glory. Meskipun mereka tidak tahu aktivitas penggalian yang dilakukan para korban, atas dasar rasa kemanusiaan, CV Sakina Glory memberikan bantuan kepada para korban," katanya.

Tentang langkah-langkah ke depan agar tidak terjadi lagi kasus serupa, Anton Suri mengatakan, sesuai ketentuan setiap pengusaha mangan harus memiliki KTT yang bertugas mengawasi warga yang melakukan penggalian secara ilegal.
Pihaknya akan memberikan peringatan kepada pengusaha mangan agar KTT selalu disiagakan di lokasi IUP.

"Saya kira kejadian ini menjadi peringatan buat kita agar ke depan KTT diaktifkan. KTT harus siaga di lapangan untuk memberikan peringatan manakala ada warga yang menggali mangan secara ilegal di lokasi IUP," tambahnya.

Diberitakan sebelumnya, tiga orang penambang mangan, yakni Jose Pareira (36), Jorjana Gama (40) dan anaknya, Ferjiana Gama (15), tewas tertimbun tanah saat menggali batu mangan di Sukaerbadak, Desa Fatuketi, Minggu (20/6/2010), pukul 16.30 Wita. Ketiganya tewas di tempat.

Satu korban lainnya, Abilio do Santos (28), juga tertimbun tanah, tapi hanya mengalami luka berat. Dia segera mendapat perawatan medis di Puskesmas Atapupu lalu kembali ke rumahnya.

Jose Pareira berasal dari Transmanuk, Desa Jenilu, sedangkan Jorjana Gama dan Ferjiana Gama berasal dari Dusun Lalori, Desa Leosama, Kecamatan Kakulukmesak. Sementara Abilio do Santos berasal dari Dusun Lalori, Kecamatan Kakulukmesak. (yon)

Pemda Belu Sudah Sosialisasi Jamsostek

Minggu, 27 Juni 2010
 
ATAMBUA, POS KUPANG.Com -- Pemerintah Daerah (Pemda) Belu akan menertibkan para pengusaha mangan yang belum memberlakukan jaminan sosial tenaga kerja (Jamsostek) bagi para pekerja mangan. Hal ini sudah disampaikan Pemda Belu melalui  Dinas Pertambangan dan Energi, Dinas Sosial, Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Belu pada saat sosialisasi sebelumnya.

Kepala Dinas Pertambangan dan Energi Belu, Drs. Anton Suri, menyampaikan hal ini ketika ditemui wartawan di ruang kerjanya, Sabtu (26/6/2010). Ia ditanyai soal perlunya pemberlakuan asuransi atau jamsostek kepada para pekerja mangan di Belu.

Anton mengatakan, sejak pemerintah menerbitkan Izin Usaha Pertambangan (IUP) bagi para pengusaha mangan, pihaknya telah mengundang tim dari Dinas Sosial, Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi untuk menyosialisasikan pemberlakuan jamsostek bagi para pekerja lokal.

Hal ini dibuktikan dengan surat perjanjian kerja yang mengatur soal hak dan kewajiban tenaga kerja dan pengusaha. Selain itu, dibicarakan pula soal jaminan keselamatan kerja dan kesehatan para pekerja.  Namun, kata Anton, apa yang disosialisasikan itu tidak pernah dijalankan para pengusaha sampai saat ini.

"Kalau bilang sosialisasi mengenai asuransi dan jamsostek, pemerintah sudah sampaikan kepada pengusaha. Tapi, itu hanya administratif saja, di lapangan pengusaha belum terapkan itu. Makanya saat ini kita mulai tertibkan dengan mengecek apakah para pekerja di setiap lokasi IUP sudah mendapatkan jamsostek atau belum. Karena sesuai ketentuan, jamsostek itu harus diakomodir oleh pengusaha bagi pekerjanya," kata Anton.

Anton menambahkan, pihaknya juga sudah mendapat perintah dari bupati untuk mengaktifkan kepala teknik tambang (KTT) di setiap lokasi pertambangan milik pengusaha yang sudah mengantongi IUP. Tugas KTT adalah mengawasi para pekerja agar menggali mangan dengan baik dan benar.

Hal itu akan dipantau langsung tim gabungan, seperti Dinas Pertambangan dan Energi, Satuan Polisi Pamong Praja, Dinas Kehutanan, Bagian Ekonomi dan Kesbangpol. Para pekerja ilegal, katanya, akan diberikan peringatan guna menghindari bahaya yang tidak diinginkan.

"Kita juga sangat mengharapkan kepada para warga agar saat menggali mangan berkoordinasi dengan pemilik IUP. Hal ini dimaksudkan agar dapat dikontrol dengan baik. Selain itu, kita minta supaya saat menggali mangan jangan sampai membentuk seperti terowongan karena tanah di Belu ini labil. Kalau sudah membentuk terowongan sampai puluhan meter, maka dampaknya pasti tanahnya akan runtuh dan menimpa pekerja itu sendiri," katanya.

Sebelumnya diberitakan, Bupati Belu, Drs. Joachim Lopez, mengancam mencabut IUP pengusaha mangan yang tidak menempatkan kepala teknik tambang (KTT) di lokasi pertambangan. KTT ini wajib berada di lokasi penggalian mangan untuk mencegah para penambang yang melakukan penggalian secara ilegal.

Untuk memantau keberadaan KTT di lokasi, para camat dan kepala desa diperintahkan untuk mengontrol KTT. Jika KTT tidak ada di lapangan, maka akan diambil tindakan tegas terhadap pengusaha bersangkutan. (yon)

Malangnya Nasib Menjadi TKI Ilegal

Senin, 28 Juni 2010
 
BERITA memilukan mengenai nasib tenaga kerja Indonesia (TKI) di Malaysia kini kembali muncul setelah beberapa bulan sempat redup. Jika sebelumnya, para TKI di Malaysia diberitakan dianiaya oleh majikan dan disiksa oleh aparat keamanan setempat, kini dua TKI diberitakan meninggal karena dibunuh dan serangan jantung. Lebih menyedihkan lagi, mayat kedua TKI itu telantar karena tidak ada yang mengurusnya.

Sebagai orang dengan adat ketimuran, kita tentunya bersedih mendengar berita itu. Tapi apa boleh buat. Kita pun hanya bisa larut dalam kesedihan. Tidak bisa berbuat apa-apa. Sebab, peristiwa memilukan itu tidak terjadi di negara kita.Tapi terjadi di negara orang, dengan adat dan budaya berbeda. Dengan aturan hukum yang berbeda.

Dari berbagai berita yang dilansir media massa selama ini, berita pilu mengenai nasib TKI di Malaysia umumnya menimpa TKI ilegal. Berita itu tentunya bukan sebuah skenario. Atau sengaja dihembuskan untuk menakut-nakuti orang yang berniat menjadi TKI ilegal ke Malaysia. Tapi merupakan fakta yang sesungguhnya  terjadi pada TKI ilegal. Oh, betapa malangnya menjadi TKI ilegal.

Telantarnya mayat dua TKI di Malaysia itu sesungguhnya memberikan pelajaran penting bagi setiap orang dalam berusaha memperbaiki nasib atau kehidupannya dengan menjadi TKI. Bahwa sesungguhnya perjuangan untuk memperbaiki nasib  dengan mencari pekerjaan lintas negara harus dilakukan sesuai prosedur atau cara yang benar. Dilakukan secara jujur dan transparan. Tidak main kucing-kucingan atau melalui jalan pintas dalam mencapai tujuan.

Usaha yang dilakukan tidak sesuai prosedur, tidak jujur dan transparan, serta melalui jalan pintas, cepat atau lambat akan tetap mendapat sandungan. Dan sandungan yang didapat pun pasti akan berat. Bahkan sudah tentu membutuhkan biaya yang mahal.

Kenyataan itulah yang dialami oleh dua orang TKI di Malaysia. Mereka memang telah berhasil lolos masuk ke Malaysia secara ilegal. Bahkan sudah meraup begitu banyak ringgit dari hasil kerjaannya selama ini di Malaysia. Makan uang sendiri tanpa harus membayar visa untuk negara. Tapi tatkala ia mengalami masalah dalam pekerjaannya, termasuk masalah kematian, tidak ada yang bisa mengurusnya karena tidak ada yang bertanggung jawab. Semua hanya menonton. Mayat pun terus telantar.

Kenyataan ini memberi pelajaran penting bagi masyarakat di daerah ini. Jika ingin bekerja menjadi TKI di luar negeri -- di negara mana pun -- dan tidak ingin tersandung masalah di kemudian hari, ikutilah prosedur yang legal. Masuklah lewat perusahaan jasa tenaga kerja Indonesia (PJTKI) yang kredibel. Jangan cepat tergiur dengan iming-iming para calo TKI dari perusahaan yang tidak dapat dipercaya. Selektiflah menerima  tawaran para calo TKI ilegal yang menawarkan jasanya.

Sikap selektif ini penting karena menyangkut masa depan dari para calon TKI itu sendiri. Jika salah dalam mengambil keputusan saat ini, maka masalahnya akan dirasakan kemudian hari ketika sudah berada di negara orang. 

Kasus yang menimpa dua TKI di Malaysia ini juga harus dijadikan dasar acuan bagi pemerintah atau lembaga PJTKI resmi lainnya dalam melakukan sosialisasi kepada masyarakat. Pemerintah harus lebih gencar melakukan sosialisasi kepada masyarakat pencari kerja di daerah ini guna meminimalisir terjadinya TKI ilegal itu. Masyarakat harus diyakinkan bahwa menjadi TKI ilegal akan berdampak buruk bagi masyarakat calon tenaga kerja itu sendiri. Dan jika dampak buruk itu terjadi, akan sulit bagi pemerintah untuk menyelesaikannya.

Sejalan dengan gencarnya sosialisasi itu, pemerintah bekerja sama dengan aparat kepolisian juga harus memperketat dan menindaktegas para calo TKI yang mengirim para tenaga kerja ke luar negeri secara ilegal. Karena masalah TKI ini adalah masalah kemanusiaan, maka para calo TKI ilegal ini harus diberikan hukuman seberat-beratnya. Sebab tindakan para calo TKI ilegal ini dapat menyusahkan banyak orang. Tidak hanya TKI itu sendiri yang telantar, tapi juga akan memusingkan pemerintah. Toh masalah TKI ilegal ini ujung-ujungnya juga akan sampai kepada pemerintah untuk menyelesaikannya. *

Masyarakat Tagih Janji Pemerintah

Sabtu, 26 Jun 2010
Sabu Dilayani Kapal Pelni
KUPANG,Timex-Masyarakat Kabupaten Sabu Raijua menagih janji Pemerintah Provinsi dan Pemkab Sabu Raijua, bahwa Sabu-Raijua akan dilayani oleh Kapal Pelni. Pasalnya, hingga kini janji tersebut, belum terealisasi, padahal pemerintah Provinsi melalui Kepala Dinas Perhubungan, Gulam Husein dan Penjabat Bupati Sabu Raijua, Thobias Uly, telah menjanjikan kepada masyarakat Sabu, bahwa tanggal 26 Mei kapal Pelni sudah melayani Rute Sabu.

Demikian disampaikan Paulus Buly dan Mesak Rihi kepada Timor Expres di kupang (25/6) kemarin. Paulus mengatakan bahwa saat ini pelayaran kupang Sabu dan sebaliknya, sudah mandek akibat cuaca yang tidak mengijinkan untuk pelayaran jenis Fery. Hal ini merugikan orang Sabu, karena pada masa sekarang ada banyak anak sekolah yang ingin lanjutkan pendidikanya di Kupang.

"Kami mau tagih apa yang dikatakan kadis perhubungan NTT, waktu dia turun ke Sabu, saat peresmian penerbangan Buana airlines. Dia janji kalau tanggal 26 Mei, ada kapal Pelni yang akan melayani sabu, tapi hingga sekarang itu hanya tinggal janji. Hal itu juga dijanjikan oleh penjabat bupati beberapa waktu lalu, dimana mereka bilang kapal Awu masih naik dok, sehingga belum bisa melayani Sabu, kenyataannya sekarang Awu sudah jalan tapi tidak ke Sabu. Padahal kita punya anak anak banyak yang mau melanjutkan sekolah di kupang dan ini merugikan kita di Sabu, kalau memang mereka tidak sanggup ya jangan berjani," ujar Paulus kesal.

Paulus juga mengatakan, musim angin timur dan gelombang laut yang tinggi, mengakibatkan tidak berlayarnya kapal fery ke Sabu Raijua, sementara sarana transportasi menuju Kupang, hanya menggunakan kapal laut. Untuk itu dia mengharapkan agar pemerintah segera berusaha agar pelayaran Sabu-Kupang, bisa terlayani menggunakan kapal Pelni jika kapal fery tidak memungkinkan untuk berlayar.

" Kita kan hanya bisa pakai kapal laut, tidak bisa pake pesawat, jadi kalau mau tunggu angin timur berhenti, berarti orang Sabu tidak bisa datang Kupang dan sebaliknya dalam tempo yang lama. Itu artinya roda pembangunan juga tidak jalan dengan baik, karena ketergantungan Sabu terhadap semua aspek masih tinggi di kupang. Sehingga kalau bisa pemerintah berusaha agar kapal Pelni bisa segera berlayar ke Sabu, itu harapan kami," Tutur paulus.

Sementara Mesak Rihi mengatakan, kapal Pelni yang dijanjikan oleh pemerintah kepada masyarakat, sangat diharapkan ketika cuaca tidak bersahabat. Sebab selain harga tiket pesawat yang mahal dan sulit untuk mendapatkan tiket, transportasi yang ideal bagi orang Sabu memang kapal laut.

"Kita kan kalau datang kupang, biasa bawa barang begitu juga kalau kita pulang ke sabu kita pasti bawa barang untuk kebutuhan kita, sehingga memang sarana yang pas buat kita ya kapal laut, bukan pesawat. Jadi kalau ini tidak diperhatikan mati kita di Sabu," Pungkas Mesak (kr9)

Butuh Perda untuk Lindungi Penggali Mangan

Minggu, 27 Juni 2010
 
KEFAMENANU, Pos Kupang.Com -- Menggali mangan secara manual yang saat ini banyak dilakukan masyarakat, sangat beresiko terhadap  keselamatan. Dibutuhkan peraturan daerah untuk melindungi para penambang tradisional karena mereka menggali mangan secara manual.

Demikian penegasan Ketua Pansus Mangan DPRD TTU,  Franky Saunoah saat ditemui Pos Kupang, Jumat (25/6/2010) sore.

Franky mengaku sudah mendesak pemerintah dan dinas pertambangan agar segera menyusun perda tentang mangan untuk menjamin resiko kerja yang dihadapi para penambang tradisional.

Dia juga menegaskan bahwa perusahaan yang memiliki IUP mangan harus memberikan jaminan keselamatan bagi pekerja. Misalnya jamsostek dan jaminan kesehatan.

Dia mengatakan bahwa Ketua DPRD TTU, Roby Nailiu juga telah menyampaikan kepada Pemda TTU agar merevisi Perda Nomor 5 Tahun 2003, serta melihat penjabaran UU No. 4 Tahun 2009 dan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 22 dan 23 Tahun 2010.

Menyinggung soal kinerja Pansus Mangan DPRD TTU, Franky mengatakan bahwa pansus sedang merampungkan hasil kerjanya. "Laporan hasil kerja pansus mangan dalam waktu dekat akan segera disampaikan.
Sementara ini kita masih monitor di lapangan dalam dua hari ke depan. Kemudian meminta keterangan kepada  pihak yang menangani berkaitan dengan penerimaan daerah.

Kepala Dinas (Kadis) Pertambangan Energi dan Mineral Kabupaten TTU, Lodifikus Silla, S.H, Jumat (25/6/2010), mengatakan pihaknya sedang mempersiapkan rancangan Perda Mangan untuk merevisi Perda No. 5 Tahun 2003 tentang usaha pertambangan umum.
Poin-poin yang diatur dalam rancangan perda itu termasuk aspek jaminan keselamatan kerja dan kesehatan para penambang yang wajib dijamin oleh perusahaan penambang mangan.

Para pekerja mangan wajib diberi alat pengaman diri dalam melakukan aktivitas galian. Misalnya, menyiapkan masker, helm, sarung tangan, sepatu khusus dan lain sebagainya. Juga jaminan kesehatan termasuk dalam pembiayaan pengobatan dan pemeriksaan serta santunan kematian.

Selain itu, perda mangan yang baru ini juga akan mengatur mengenai penyelidikan dan penelitian pertambangan. Juga mengatur tentang wilayah izin pertambangan dan izin usaha pertambangan.
Selain itu, perda itu juga mengatur soal hak dan kewajiban, tentang pendapatan daerah dan negara serta sanksi administrasi dan ketentuan pidana menyangkut pelanggaran perda.

"Rancangan perda itu diusahakan segera diajukan untuk dibahas dalam sidang DPRD TTU," tandasnya.

Dia menuturkan, selama ini kegiatan penambangan di wilayah TTU agak simpang siur. Namun dengan adanya perda baru ini diharapkan dapat meminimalisir gejolak sosial yang terjadi akibat penambangan mangan.

Beberapa hari lalu, katanya, pihaknya telah menyerahkan 27 IUP (izin usaha pertambangan) kepada sejumlah pengusaha. Penyerahan dilakukan di Kantor Bupati TTU.

"IUP tersebut bukan izin baru namun merupakan penyesuaian dari kuasa pertambangan yang sudah diterbitkan sebelumnya," jelasnya. (dd)

Dua Kelompok Pemuda Berdamai

Rabu, 23 Juni 2010
KUPANG, POS KUPANG.Com -- Kelompok pemuda Dusun III Desa Baumata Barat, Kabupaten Kupang dan kelompok pemuda RW 3 Kelurahan Penfui, Kota Kupang, mengakiri pertikaian dengan membuat pernyataan damai. Acara perdamaian berlangsung di kampus STIKES Maranatha Kupang, Senin (21/6/2010).

Dua kelompok pemuda menandatangani pernyataan damai. Dari pemuda Dusun III Desa Baumata Barat diwakili Ketua Yayasan STIKES Maranatha, Semuel Selan. Sementara kelompok pemuda Penfui diwakili ketua kelompoknya. Bertindak sebagai saksi, Lurah Penfui, Yuven Beribe dan Kepala Desa Baumata Barat, Yosias Aluman. Ikut menyaksikan, aparat kepolisian dan TNI Kecamatan Maulafa, tokoh masyarakat dan tokoh agama dari Kampung Nasipanaf, Kelurahan Penfui dan Desa Baumata Barat.

Yuven Beribe mengatakan, peristiwa pertikaian hendaknya dijadikan bahan refleksi bagi semua pihak. "Dengan peristiwa ini kita secara langsung didewasakan dan secara pribadi kita diuji untuk berjiwa besar menyelesaikan persoalan ini," kata Beribe.  Menurutnya, penandatangan surat pernyataan damai bukan hanya seremoni belaka tetapi harus disikapi secara positif untuk membangun relasi dan simpati yang lebih tinggi dalam membina hubungan antar sesama.

"Mari kita bangun relasi dan komunikasi serta suasana kondusif. Bangun rasa simpati dan empati yang lebih tinggi untuk  mendapatkan kedamaian bersama. Adanya rasa damai artinya ada rasa tanggungjawab moril untuk saling melindungi," katanya.

Sementara, Semuel Selan mengatakan, setelah penandatangan pernyataan damai, kedepannya diharapkan dua kelompok pemuda menjalin hubungan lebih mesrah.

"Pemuda harus melihat peristiwa ini bukan hanya sekedar tandatangan konsep belaka tetapi perlu adanya kesadaran dan pemahaman dari isi hati yang tulus agar tidak terulang lagi peristiwa yang sama," kata Selan.

Kepala Desa Baumata Barat, Yosias Aluman mengatakan para pemuda harus bisa menunjukkan sikap yang baik terhadap semua orang. Jangan melihat orang lain sebagai musuh tetapi  harus melihat orang lain sebagai saudara. "Bersikaplah yang baik terjadap semua orang dan sebaliknya," katanya.

Tokoh masyarakat Kampung Nasipanaf, Siprianus Radho Toly mengatakan, pemuda perlu membangun kebanggaan kolektif dengan semua orang dengan berbuat hal-hal yang positif. "Berilah respon yang positif kepada semua orang. Dengan adanta respon positif akan  tercipta rasa kedamaian dan kebersamaan. Jadikan peristiwa ini sebagai moment reflektif bagi kita semua," ujar Toly mengingatkan. (den)  

Pencemaran Laut Timor dan Nasib Segitiga Coral

Selasa, 27 Oktober 2009
 
 
 
FOTO NASA-Gambaran luasan pencemaran minyak mentah di Laut Timor yang sudah mendekati bagian timur Pulau Rote.

 

 
Berbagai jenis spesies laut seperti ikan paus, lumba-lumba, tuna, kakap merah dan penyu, biasa melewati kawasan perairan yang tercemar itu
dan bermigrasi di kawasan segitiga terumbu karang (coral triangle).

Menurut laporan jaringan Yayasan Peduli Timor Barat (YPTB) dari Canberra, Australia sebagaimana disampaikan Ketua YPTB yang juga pemerhati masalah Laut Timor, Ferdi Tanoni, tumpahan minyak mentah dari ladang gas Montara itu rata-rata 500.000 liter setiap hari atau sekitar 1.200 barel.

Direktur Program Kelautan World Wildlife Fund (WWF) Indonesia, Wawan Ridwan dalam siaran persnya, Jumat (16/10/2009) mengemukakan, kawasan yang telah dicemari minyak mentah itu merupakan tempat hidupnya ratusan hingga ribuan ular laut, penyu, dan burung laut.

"Yang lebih mengkhawatirkan lagi, daerah tumpahan tersebut dengan kawasan lindung laut terbesar di Indonesia, yakni Kawasan Konservasi Perairan Nasional (KKPN) Laut Sawu di Nusa Tenggara Timur (NTT)," katanya.

Laut Sawu dipilih menjadi kawasan konservasi nasional terhadap mamalia laut, karena wilayah laut yang letaknya antara Provinsi NTT dan Australia itu merupakan habitat terbesar ikan paus dan merupakan jalur migrasi 14 jenis ikan paus, termasuk jenis langka, yakni ikan paus biru (balaenoptera musculus) dan ikan paus sperma (physeter macrocephalus).

Ahli mamalia laut, Dr Benjamin Kahn dari APEX Environmental Program Cetacean Laut Asia-Pasific mengatakan, ada sekitar 32 jenis mamalia laut, paus dan lumba-lumba yang melakukan migrasi di wilayah perairan NTT sampai utara Australia.


Dari jumlah tersebut, tercatat sekitar 14 jenis ikan paus dan lumba-lumba yang melakukan migrasi lewat Laut Sawu. Laut Sawu, menjadi wilayah migrasi mamalia laut langka, karena merupakan pusat tujuan arus dari berbagai benua yang nota bene sangat dikagumi dan disenangi mamalia laut.

Oleh karena itu, kata Kahn, langkah yang diambil pemerintah Indonesia untuk menjadikan Laut Sawu sebagai konservasi nasional dalam melindungi mamalia laut merupakan pilihan terbaik, karena banyak limbah industri seperti sampah plastik, serta penyebaran jaring raksasa di Laut Sawu untuk menangkap mamalia laut tersebut.

"Kami mengharapkan pemerintah Indonesia segera berkoordinasi dengan pemerintah Australia untuk mengatasi masalah ini. Montara perlu mengambil tindakan penanganan segera untuk mengatasi kebocoran ini karena sangat merugikan masyarakat dan lingkungan," kata Wawan Ridwan.

"Kerusakan yang mungkin ditimbulkan terhadap sumber daya laut Indonesia sangat tinggi harganya, mengingat hal itu bisa berdampak terhadap keanekaragaman hayati, kehidupan masyarakat pesisir, serta investasi kita di sektor perikanan dan wisata," katanya.

Nelayan NTT Terancam
Menurut Wawan Ridwan, pihak yang paling terancam dalam waktu dekat adalah nelayan di pesisir selatan Nusa Tenggara Timur (NTT) yang jumlahnya tidak kurang dari 7.000 orang.

Demikian juga dengan komoditas perikanan sebesar 130.000 ton per tahun, yang terdiri dari berbagai macam komoditas perikanan dan rumput laut hasil budidaya.

"Lebih jauh lagi adalah kerugian atas investasi Indonesia dalam bentuk kawasan lindung karena biaya rehabilitasi bila kebocoran mencapai kawasan terumbu karang di KKPN Laut Sawu akan sangat besar," kata Ridwan.

Hampir dua bulan setelah kebocoran terjadi, kepala sumur pengeboran minyak tetap belum tertutup setelah upaya penyumbatan pada minggu ini mengalami kegagalan. Bahan berbahaya terus menyebar. Sedikitnya, 6.000 km2 kawasan itu telah terkena.

Segitiga Terumbu Karang, yang meliputi lautan seluas 6 juta km2, mencakup kawasan perairan Indonesia, Malaysia, Papua Nugini, Filipina, Kepulauan Solomon, dan Timor Leste, adalah rumah bagi enam dari tujuh jenis penyu yang selama ini diketahui bermigrasi dari kawasan ini ke Australia.

WWF-Australia dan sebuah tim ahli ekologi kelautan independen telah mengadakan survei terhadap kehidupan liar di kawasan Laut Timor yang terdampak kebocoran ladang minyak Montara tersebut.

Gilly Llewellyn, Direktur Konservasi WWF-Australia, memimpin tim peneliti untuk mengkaji jumlah dan keadaan kehidupan liar yang ditemukan di kawasan terdampak tersebut. "Hampir dua bulan setelah kebocoran itu, minyak terus menyebar ke samudra," kata Lewellyn.

"Karena tumpahan ini tidak terjadi di hadapan kita, bukan berarti kita bisa mengabaikannya. Kita harus melawan mitos bahwa tumpahan minyak hanya akan berdampak pada kehidupan liar laut ketika itu mencapai pantai," katanya menambahkan.

"Lebih penting lagi, karena lebih banyak infrastruktur minyak dan gas yang terus tumbuh di kawasan ini, kita harus memastikan bahwa ancaman nyata kebocoran lainnya harus diperhitungkan," ujarnya.

Menurut Benjamin Kahn, dampak yang paling besar menimbulkan amblasnya habitat mamalia laut adalah limbah plastik yang terbawa ke laut, limbah industri yang ada di wilayah pesisir serta pengeboran minyak lepas pantai seperti yang terjadi di Laut Timor saat ini.

"Pengeboran minyak lepas pantai ini tidak memperdulikan soal analisa dampak lingkungan (Amdal) terhadap migrasi mamalia laut di wilayah perairan sekitarnya. Ini yang sangat berbahaya, karena mamalia laut itu sangat rentan terhadap limbah industri dan desingan mesin," katanya.

Laut Sawu dengan luas sekitar 4,5 juta hektare itu dinilai sangat cocok dan menjadi satu-satunya kawasan konservasi nasional khusus untuk melindungi mamalia laut langka seperti ikan paus biru (balaenoptera musculus) dan ikan paus sperma (physeter macrocephalus).

Coral Triangle terancam
Coral Triangle adalah kawasan dengan keanekaragaman biota laut tertinggi di planet Bumi, yang sama pentingnya seperti hutan hujan Amazon dan cekungan Kongo bagi kehidupan di Bumi. Coral Triangle mencakup perairan dengan lebih dari 500 spesies karang pembentuk terumbu, mencapai luas 6 juta kilometer persegi, membentang di enam negara di Indo-Pasifik, yaitu Indonesia, Malaysia, Papua Niugini, Filipina, Kepulauan Solomon, dan Timor Leste.

Coral Triangle menjadi rumah bagi 3.000 spesies ikan karang dan ikan bernilai komersial, seperti tuna, paus, lumba-lumba, pari, hiu, dan enam dari tujuh spesies penyu laut yang dikenal selama ini.

Coral Triangle menyokong kehidupan lebih dari 120 juta orang dan merupakan lokasi penting pemijahan atau perkembangbiakan dan pembesaran tuna. Sementara itu, terumbu karang dan ekosistem pesisir yang sehat memungkinkan pertumbuhan sektor pariwisata.

Bekerja sama dengan LSM lain, WWF bersama pemerintah dan lembaga multilateral di seluruh dunia mendukung upaya-upaya konservasi dalam kawasan Coral Triangle untuk kepentingan bersama.

Menurut hasil penelitian terbaru dari  WWF, bukit terumbu karang yang sumber
kehidupan biota laut, sebagian besarnya sudah musnah dari wilayah Segitiga Koral Samudera Pasifik pada akhir abad ini. Hal itu, menurut WWF, dapat pula mengancam stok makanan dan penghidupan sekitar 100 juta orang.

Bencana yang tak dinginkan itu bergantung pada aksi global cepat terhadap perubahan iklim.

Menurut Lembaga Perubahan Iklim dan Segitiga Koral, aksi itu harus dibarengi pula dengan solusi lokal regional atas penangkapan ikan berlebihan dan polusi kawasan, jika tidak manusia dan masyarakat bakal alami resiko besar. Hasil studi yang dilakukan oleh WWF itu disampaikan pula pada Konferesi Lautan Dunia (WOC) di Manado, Sulawesi Utara pada Maret 2008 lalu.

"Area yang musnah dari wilayah Segitiga Koral Samudera Pasifik itu adalah 'mahkota permata planet' yang terbuat dari beragam terumbu karang," kata Catherin Plum, Direktur Program Segitiga Koral dari WWF AS.

Meskipun demikian, katanya menambahkan, masih ada kesempatan untuk mencegah tragedi itu dan membuatnya kehidupan di dalamnya bertahan berkelanjutan, dimana jutaan orang bergantung pada kekayaan sumber alam tersebut.

Hasil studi itu menawarkan dua skenario yang berbeda secara dramatis untuk Segitiga Koral, yang membandingkan area lepas pantai, bukit karang, dan lautan di negara Indonesia, Filipina, Malaysia, Papua New Guinea, Kepulauan Solomon, dan Timor Leste, kawasan dimana Segitiga Koral itu berada.

"Bila diukur, Segitiga Koral hanya satu persen dari permukaan bumi, namun kawasan itu merupakan rumah 30 persen koral dunia, 76 persen spesies bukit-terumbu karang, dan juga tempat tinggal lebih dari 35 persen spesies ikan terumbu karang dan juga menjadi lahan vital ikan komersial penting lainnya seperti tuna," ujar Plum.

"Dalam satu skenario kami tetap mengikuti alur iklim saat ini dan melakukan perlindungan seperlunya dengan lingkungan pantai dan bawah laut dari pembantaian ancaman lokal," tambah Hoegh Guldberg, guru besar dari Universitas Queensland.

"Di dalam dunia ini orang-orang melihat harta karun biologi berupa Segitiga Koral dihancurkan dalam satu abad karena peningkatan temperatur air laut yang cepat, kadar keasaman, dan permukaan laut, sementara objek-objek lingkungan bawah laut juga diperburuk oleh kelemahan manajemen manusia terhadap laut," tambahnya.

Menurut dia, kemiskinan akan meningkat, keamanan stok makanan berkurang, ekonomi menderita, dan orang-orang di kawasan pantai semakin bermigrasi ke kawasan perkotaan.

Laporan WWF juga menyorot celah untuk menghindari skenario kasus terburuk di wilayah melalui pengurangan nyata emisi gas rumah kaca, dan investasi internasional untuk memperkuat lingkungan alami regional. Cara yang dianggap Hoegh sebagai solusi yang akan membantu membentuk lagi objek-objek dan memperbaiki Segitiga Coral, dimana ekonomi dapat tumbuh, pasokan makanan dan lingkungan alami dapat tetap terpelihara.

"Perubahan iklim di Segitiga Koral sangat menantang, tapi dapat dimanajemen, dan setiap kawasan akan merespon baik untuk mengurangi tekanan terhadap lingkungan lokal dari penangkapan ikan berlebih, polusi, dan penurunan kualitas dan kesehatan air laut," katanya lagi.

Meski di bawah skenario terbaik, komunitas di wilayah lokal tetap akan mengalami kehilangan terumbu karang secara dramatis akibat peningkatan ketinggian laut, aktivitas badai meningkat, kemarau panjang, dan kekurangan sumber makan akibat penangkapan ikan.

WWF berpendapat, pemimpin dunia memiliki peran untuk membantu negara-negara di Segitiga Koral guna memperkuat manajemen sumber daya laut melalui aksi internasional terhadap perubahan iklim. "Kita harus membentuk perjanjian internasional yang kuat untuk menghasilkan pengurangan tajam atas produksi gas rumah kaca di Konferensi Iklim PBB, Kopenhagen pada Desember 2009 mendatang," kata Plume menegaskan.

Ancaman terhadap kawasan segitiga terumbu karang, kini semakin menyata dengan meledaknya ladang gas Montara yang tiap hari dilaporkan memuntahkan 500.000 liter minyak dan telah memasuki kawasan Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) Indonesia.

Operator ladang gas Montara PTTEP Australasia telah menyetujui untuk mendanai suatu program pemantauan secara terus-menerus di Laut Timor yang tercemar akibat ledakan sumur minyak Montara pada 21 Agustus lalu, selama sekitar dua tahun.

"Ini sebuah kesepakatan yang telah dibuat oleh Menteri Lingkungan Hidup pemerintah federal Australia Peter Garrett dengan PTTEP Australasia di Canberra, Australia, Jumat (16/10)," kata Ferdi Tanoni.

Ia mengemukakan adanya kesepakatan tersebut berdasarkan laporan jaringan YPTB yang bermarkas di Canberra, terkait dengan perkembangan penanganan masalah pencemaran minyak mentah (crude oil) di Laut Timor.

Menteri Garrett dalam laporannya mengatakan, pemantauan tersebut mencakup survei kehidupan laut, penelitian satwa liar dan habitat, kualitas air, pengaruh terhadap pantai serta penilaiannya.

PTTEP Australasia mengatakan kesepakatan akan mencakup pemantauan jangka pendek dan jangka panjang serta potensi dampak dari tumpahan minyak yang telah terjadi tersebut. Selama ini, kata Tanoni yang juga mantan agen imigrasi Kedubes Australia ini bahwa konservasionis Australia sangat keras dan kritis terhadap cara-cara penanganan tumpahan minyak di Laut Timor oleh perusahaan operator ladang gas Montara PTTEP Australasia dan Pemerintah Federal Australia yang dinilai sangat buruk dan kurang bertanggung jawab.(lorensius molan/antara)

Mantan Kadis PPO TTU Ditahan

Jumat, 25 Juni 2010
 
KEFAMENANU, Pos Kupang.Com--  Mantan Kepala Dinas (Kadis) Pendidikan, Pemuda dan Olahraga (PPO) Kabupaten Timor Tengah Utara, Drs. Antonius Amuna, Rabu, (23/6/2010), ditahan jaksa dari Kejari Kefamenanu. Amuna dituduh melakukan korupsi dana DAK tahun 2007 yang merugikan negara sekitar Rp 500 juta.

Kepala Kejaksaan Negeri (Kajari) Kefamenanu, Diding Kurniawan, S.H, melalui Kasi Intel, I.W Eka Widyara, S.H, saat ditemui Pos Kupang, Rabu sore, mengatakan, Tersangka Anton Amuna telah dititipkan di Rutan Kefa sekitar pukul 14.30 Wita, kemarin.

Jaksa Eka menjelaskan, Anton Amuna terpaksa dijemput langsung di kediamannya oleh jaksa karena sudah tiga kali jaksa mengirimkan surat panggilan namun  tersangka selalu beralasan sakit. Padahal, pantauan jaksa, Amuna sering menggelar pertemuan di rumahnya dengan mengumpulkan cukup banyak orang.

Tim jaksa bersama beberapa anggota Polres TTU, kemarin, mendatangi kediaman Amuna dan membawanya ke kantor Kejari Kefamenanu. Setelah diperiksa sekitar lima jam sejak pagi kemarin, Amuna langsung ditahan.

Pada saat pemeriksaan, isteri Amuna sempat mendatangi Kantor Kejari bersama pembimbing rohani untuk memberi dukungan.

Eka mengatakan, Amuna diduga melakukan tindak pidana korupsi Dana Alokasi Khusus (DAK) Bidang Pendidikan pada tahun 2007 yang menyebabkan kerugian negara hampir Rp 500 juta.

Berkas tersangka Amuna telah dinyatakan P-21 oleh penyidik sehingga dia ditahan. "Jika tidak ada halangan minggu depan berkas tersangka akan dilimpahkan ke pengadilan," kata Eka.

Tersangka Amuna dijerat dengan UU Pemberantasan Korupsi. Untuk diketahui, setelah dicopot dari jabatannya Kadis PPO TTU, Anton Amuna saat ini menduduki jabatan Staf Ahli Bidang Pemerintahan Pemda  TTU. Informasi yang dihimpun, Amuna juga akan maju meramaikan bursa calon pada Pemilu Kada di TTU sebagai bakal calon wakil bupati. (dd)

Kebiasaan Makan Belalang di Rote (1)

Jumat, 21 Mei 2010
Harum, Gurih, Nikmat...!
 
 
 
POS KUPANG-Warga Desa Daleholu di Rote Selatan membakar belalang untuk dihidangkan kepada pejabat Pemkab Rote Ndao yang berkunjung ke desa itu, Selasa (4/5/2010).





DALAM kitab suci pemeluk agama Kristen ditulis bahwa Yohanes memakai jubah bulu unta dan ikat pinggang kulit dan makananya belalang dan madu hutan (Mateus pasal 3 ayat 4). Alkitab menceritrakan tentang kehidupan zaman dulu dimana manusia bisa bertahan hidup hanya dengan makan belalang dan minum madu hutan. Tentu saja kedua jenis makanan tersebut mengandung zat-zat bergizi yang diperlukan tubuh manusia.

Orang Rote pun demikian. Belalang sudah biasa dimakan sejak nenek moyang. Dibakar atau digoreng, belalang terasa gurih. Apalagi "ditemani" segelas dua gelas air gula Rote.
 
Pada hari Selasa, 4 Meo 2010 siang, Wakil Bupati Rote Ndao, Drs. Marthen Luther Saek membawa sejumlah wartawan untuk melihat langsung salah satu kebiasaan warga Rote itu. Ini bukan wisata kuliner, tentu. Sebab, perjalanan kali ini sekaligus untuk memantau pelaksanaan ujian nasional tingkat SD (sekolah dasar) dan meninjau sejumlah proyek bermasalah di Kecamatan Rote Selatan dan Pantai Baru di sepanjang jalur jalan lingkar selatan Rote.

Saat rombongan tiba di Rote Selatan, yaitu di Desa Daleholu, aparat pemerintah setempat sedang memanggang belalang di atas bara api di

rumah Kades setempat, Paulus Bengu. Ada juga  belalang goreng yang siap santap sudah dihidangkan di atas meja.

Tentu bukan demo masak belalang atau pameran menu belalang. Rupanya Wabup Luther Saek sudah "memerintahkan" aparatnya untuk menyiapkan segala sesuatu yang dibutuhkan, terutama para wartawan yang ikut dalam rombongan. Bau belalang bakar lumayan menggoda, harum dan gurih.

Wabup  Luther Saek langsung menyantap belalang bakar dan belalang goreng yang dihidangkan. Warnanya cukup menggoda, kuning seperti udang saat dibakar atau digoreng. Begitu masuk mulut dan dikunyah, lumayan renyah dan rasanya gurih. Nikmat.

Camat Rote Selatan, Arkhilaus Lenggu, S.Pd dan Kades Paulus Benggu pun mengikuti "jejak bosnya". Langsung "sikat" belalang yang dihidangkan. Para wartawan pun langsung mencicipi hidangan unik itu.

"Saya sudah biasa makan belalng sejak kecil, jadi saya nikmati saja. Sebenarnya ini potensi budaya Rote Ndao yang seharusnya dilestarikan dan dipromosikan karena tidak semua orang di Propinsi NTT ini makan

belalang. Belalang tidak racun dan dagingnya enak. Dalam alkitab juga disebutkan kalau Yohanes Pembaptis itu makan belalang dan minum madu hutan. Jadi kita ini sama seperti orang Israel juga," kata Wabup Saek sambil tersenyum.

Sejauh ini riwayat mengenai orang Rote atau orang di daerah lain di NTT yang biasa makan belalang itu, belum pernah dikaji dari sisi ilmu pengetahuan. Satu hal yang pasti yaitu bahwa belalang, hama tanaman pertanian yang kerap mencemaskan, merepotkan sampai mengancam ketahanan pangan warga itu, adalah juga makanan.

Riwayat mengenai orang Rote secara turun temurun mengiris tuak (mengambil nira dari pohon lontar), mengolahnya menjadi minuman bergizi (gula air) atau menjadi gula lempeng yang jadi salah satu bumbu masakan, juga belum ada penelitian serius.

Banyak orang Rote belum merasa "belum makan" kalau belum minum gula air atau tuak manis, hasil sadapan nira lontar yang masih segar. Mereka merasa lebih kuat bertenaga setelah minum tuak manis atau gula air.

Begitu juga ikhwal makan belalang. Salah satu jenis serangga ini pada musim-musim tertentu populasinya meningkat. Saat itulah "pesta" makan belalang pun tiba. Biasanya menjelang musim tanam atau pasca-panen. Lumayan dijadikan teman makan nasi saat lauk ikan sedang paceklik.

Konon, budaya makan belalang ini ada kaitannya dengan sejarah asal-usul orang Rote. Alkisah, pada jaman dahulu kala nenek-moyang orang Rote memiliki dua orang anak dan oleh orangtuanya, kedua anak itu di bagi wilayah kekuasaannya yakni wilayah timur Rote dan wilayah Barat Rote. Anak yang menguasai wilayah barat Rote dikutuk orang tuanya untuk menggantungkan hidup dengan memakan biji-bijian dan atau buah pandan.

Sedangkan anak yang menguasai wilayah timur Pulau Rote harus makan belalang untuk mempertahankan hidup. Itulah sebabnya, hanya warga Rote

Ndao yang bermukim di wilayah timur Pulau Rote yakni di wilayah Kecamatan Rote Timur, Kecamatan Pantai Baru, sebagian Kecamatan Rote Tengah dan sebagian kecamatan Rote Selatan, sampai saat ini, mempunyai tradisi makan belalang itu. Sedangkan warga di wilayah barat Pulau Rote tidak memakan belalang.

"Mungkin juga seperti itu sejarahnya tapi saya belum bisa pastikan cerita itu. Tapi yang pasti, sejak saya kecil saya sudah makan belalang dan enak rasanya kalau belalang itu dimakan dengan gula air," kata Wabup Saek.

Dia mengatakan bahwa budaya makan belalang ini tidak ada hubungannya dengan gagal panen dan ancaman rawan pangan yang terjadi di Propinsi NTT termasuk di Rote Ndao. Karena budaya makan belalang terjadi sejak dahulu kala. Hasil panen baik atau buruk, orang Rote tetap makan belalang.

Kades Paulus Bengu dan Camat Arkhilaus  Lenggu juga membenarkannya. Menangkap dan memakan belalang memang menjadi tradisi di sebagian wilayah Kabupaten Rote Ndao. (maksi marho)
Sabtu, 22 Mei 2010 | 10:25 WIB
Kebiasaan Makan Belalang (2)
Tangkap Belalang sambil Pacaran
 
 
 
POS KUPANG-Belalang hasil tangkapan warga Kelurahan Olafolihaa, Kecamatan Pantai Baru, Selasa (4/5/2010) siang.








UNTUK dimakan, belalang yang ditangkap cukup dipanggang di atas bara api atau digoreng. Jenis belalang yang dapat dimakan bermacam-macam. Mulai dari belalang kecil, sedang hingga belalang jenis besar, baik belalang muda maupun belalang yang sudah dewasa atau tua.
Dalam bahasa daerah setempat (bahasa Rote) belalang yang dapat dimakan biasa dikenal dengan sebutan lamahole, lamambo, doko-doko, songgilo dan lamahade (belalang muda yang belum tumbuh sayapnya). Selain itu ada juga

belalang yang disebut bokuk (belum ada sayap dan hanya melompat-lompat), lamafit (belalang muda yang sudah ada sayap) dan lamapeak (belalang dewasa).

Hal ini sesuai cerita beberapa warga Desa Daleholu, Kecamatan Rote Selatan, diantaranya Yusak Paulus dan Kepala Desa Daleholu, Paulus Bengu serta Camat Rote Selatan, Arkhilaus Lenggu,S.Pd.

Erifous Toudua dan beberapa temannya, dari Dusun Lelebe, Kelurahan Olefoliha'a, Kecamatan Pantai Baru, juga berceritra tentang itu.

Pada musim belalang, yakni sebelum musim tanam dan pasca panen, warga Desa Daleholu di Kecamatan Rote Selatan mencari sejauh enam kilometer dari desanya. Mereka mencari di kompleks persawahan Kapasiok. Hal ini karena populasi belalang biasanya  banyak di

kompleks persawahan atau di padang rumput. Pada musim panen atau selesai panen seperti sekarang ini populasi belalang meningkat dan menjadi waktu yang tepat bagi warga untuk menangkap belalang sebagai lauk.

Penangkapan belalang bisa dilakukan pada siang hari dan juga pada malam hari. Tetapi lebih mudah menangkap belalang pada malam hari karena saat itu belalang sedang tidur pulas sambil bergantungan di

daun-daun rumput atau padi. Dengan menggunakan obor, senter atau lampu pelita, warga dengan mudah menangkap belalang yang sedang tertidur menempel di daun rerumputan atau pohon-pohon perdu. Sedangkan kalau pada siang hari, warga berburu belalang dengan memukulnya menggunakan ranting kayu.

Untuk menangkap belalang pada malam hari, biasanya warga pergi bergerombol beberapa orang dan tidak berjalan sendiri-sendiri. Penangkapan dilakukan secara beramai-ramai baik laki-laki maupun perempuan dengan masing-masing membawa tas plastik atau tempat

penampung lainnya. Hanya saja, menangkap belalang pada malam hari kadang beresiko digigit ular karena warga harus masuk ke rumput-rumputan hanya dengan bermodalkan nyala senter atau obor.

Ada yang menarik pula dari cerita menangkap belalang pada malam hari. Tidak sedikit pula muda-mudi yang memanfaatkan moment menangkap belalang untuk berpacaran. Apalagi kalau menangkap belalang pada malam hari saat bulan terang atau bulan purnama. Saat warga lain berpencar dan asyik menangkap belalang, sepasang sejoli biasanya mencari tempat yang aman untuk berduaan.  Bahkan ada gadis sampai hamil pada musim tangkap belalang seperti ini.

"Biasanya kami pergi tangkap belalang ramai-ramai dan saat kita asyik menangkap belalang, muda-mudi yang sudah saling suka akan menghilang. Lampu obor atau senter yang mereka bawa akan padam, terus kita panggil-panggil tapi tidak ada jawaban lagi. Memang lucu juga tetapi sudah banyak yang jadi suami istri berawal dari pacaran saat tangkap belalang malam hari," kisah Erifous Toudua, warga Dusun Lelebe,

Kelurafaan Olafoliha'a, Kecamatan Pantai Baru sambil terkekeh.

Itulah indahnya dan seninya menangkap belalang pada malam hari di Rote Ndao. Bisa digigit ular, bisa juga mendapatkan kekasih. Apalagi kalau semua anggota rombongan sudah pada mengerti tentang pasangan- pasangan yang sedang menjalin asmara. Justeru saat di hutan mencari belalang itulah, rombongan bahkan memberi peluang bagi mereka untuk bebas memadu kasih.

Belalang yang telah ditangkap, setelah kembali ke rumah, dicabut sayap-sayapnya dan jari-jarinya. Bisa langsung dibakar atau direbus dulu dengan air sampai matang kemudian digoreng lagi. Bisa juga dicampur dengan gula air kemudian dimakan.

Usus belalang tidak dibuang saat dibakar atau digoreng karena orang Rote beranggapan belalang bukan binatang yang kotor.

Wakil Bupati Rote Ndao, Drs Marthen Luther Saek mengatakan, budaya memakan belalang ini merupakan potensi budaya yang bisa dijadikan potensi pariwisata. Alasannya, belalang di Kabupaten Rote Ndao

memiliki kekhasan dibandingkan belalang di daerah lain. Apalagi di NTT hanya warga Rote Ndao yang memakan belalang sebagai lauk.

"Budaya makan belalang ini harus dipromosikan sebagai potensi pariwisata budaya. Kalau ditempat lain orang makan belalang karena senang-senang atau belalang dianggap hama tanaman tetapi di Rote Ndao

makan belalang adalah kebudayaan. Kalau belalang mau jadi hama tanaman maka manusia akan memakan habis belalang-belalang itu," kata Saek sambil tertawa.

Mungkin sebagaian warga NTT merasa sulit untuk makan belalang tetapi itulah kenyataan di Kabupaten Rote Ndao. Bila ada yang ingin mencoba bisa saja datang ke Rote Ndao.

Sejauh ini belum ada penelitian tentang kandungan gizi dalam daging belalang yang biasa dimakan oleh orang Rote. Yang jelas belalang tidak harus ditakuti karena hama tanaman tetapi juga sebagai "teman" makan masih. Apalagi diolesi sambal pedas lemon asam. Rasanya menggoda. (maksi marho)

Koil

Sabtu, 19 Juni 2010
 
SUDAH menjadi kebiasaan, para petani di Kabupaten Manggarai -- setidaknya hingga tahun 1980-an -- mulai menggarap ladang sejak akhir September hingga awal Oktober. Penggarapan lahan di bulan-bulan ini rutin dilakukan setiap tahun.

Dan mulai akhir Oktober hingga awal November, para petani ramai-ramai menanam tanaman.

Pada masa itu, sistem penggarapan ladang masih terkonsentrasi pada satu tempat. Pola pembagiannya menggunakan sistem lodok (seperti jaringan laba-laba). Dan, pihak yang berhak membagikan lahan garapan para petani di kampung itu adalah tua teno (tua adat) di kampung.

Luas lahan yang digarap setiap petani  bervariasi. Ada yang dua hektare. Ada yang lebih dari itu. Tergantung dari petani itu sendiri saat menerima pembagian lahan oleh tua teno (tua adat) di kampung. Biasanya diukur menggunakan moso (jari tangan).

Kalau petani penggarap mampu, ia bisa menerima sua moso (dua jari) atau lebih dari tua teno yang membaginya. Tapi kalau tidak, cukup ca moso (satu jari) saja. Bentang atau lebar lahan di cicing (ujung ladang) yang digarap pun tergantung jumlah jari yang diambil. Yang ambil dua jari dari di pusat lodok jelas lebih luas dari mereka yang hanya ambil satu jari.  

Di lahan yang digarap ini, para petani di Manggarai menanam berbagai jenis tanaman (sistem tumpang sari). Di ladang itu biasanya ditanami jagung, padi, shorgun, ubi kayu, ubi tatas, serta berbagai jenis ubi lainnya. Juga ditanami berbagai jenis sayur- sayuran dan kacang-kacangan, pisang dan berbagai tanaman lainnya.

Keuntungan dari sistem tumpang sari ini ialah dari satu ladang yang digarap, para petani bisa memanen berbagai jenis bahan kebutuhan hidup dengan hasil yang melimpah. Setelah memanen jagung, para petani memanen padi ladang, shorgun,  ubi- ubian, sayur-sayuran, kacang-kacangan serta berbagai bahan kebutuhan hidup lainnya. Hasil dari berbagai jenis tanaman tersebut biasanya melimpah. Tidak bermaksud joak (berlebihan), pada musim panen seperti itu, para petani di Manggarai terkadang kebingungan memilih makanan, karena semuanya tersedia.

                                                       ***
HASIL panen yang melimpah kala itu ternyata tidak membuat para petani  hilang akal. Mereka biasanya punya cara sendiri untuk mengawetkan bahan makanan hasil panennya, sehingga bahan makanan yang dihasilkan itu bisa bertahan lama. Juga sebagai persediaan pada masa paceklik.

Salah satu bahan makanan yang biasa diawetkan ialah daeng (ubi kayu). Biasanya, setelah semua tanaman lain di kebun sudah habis panen dan mati, ubi kayu mulai bertumbuh subur. Isinya pun mulai besar. Terlampau banyaknya, tanaman ubi kayu yang ada di dalam kebun itu tidak bisa dimakan semuanya pada saat musim panen. Bahkan untuk makanan babi pun tidak bisa habis semuanya.

Karena itu, agar ubi kayu ini tetap awet, bisa disimpan lama dan dijadikan stok pada musim paceklik, orangtua dulu biasanya mengolahnya menjadi koil (gaplek).  Koil yang satu ini namanya koil daeng (gaplek ubi kayu).

Cara pembuatannya, isi ubi kayu terlebih dahulu dipotong dengan panjang sekitar 5-10 cm. Setelah itu dibelah tipis dengan ketebalan sekitar 30 mm, lalu dikeringkan di panas matahari.

Setelah benar-benar kering, koil daeng itu disimpan di dalam karung atau keranjang. Pada musim hujan atau musim paceklik, barulah koil daeng ini diambil untuk dijadikan bahan makanan.

Manfaat koil daeng beragam. Bisa langsung direbus dan dimakan. Tapi bisa juga diolah dalam bentuk lain. Misalnya ditumbuk untuk dijadikan tepung. Tepung koil daeng ini bisa digunakan sebagai pengganti tepung terigu untuk membuat kue. Juga bisa dipakai untuk keperluan makanan lainnya. Sedangkan jagung disimpan di loteng dapur.

Jagung di loteng dapur ini pasti awet karena setiap saat kena asap api.
Itu cerita tempo dulu. Koil daeng yang dulu biasa dijumpai di rumah-rumah para petani kini jarang terlihat di kampung-kampung di Manggarai. Begitu juga jagung jarang terlihat di dapur. Sebab saat ini, orang di Manggarai sudah jarang mengerjakan ladang seperti tempo dulu. Ladang yang dulunya biasa ditanami tanaman tumpang sari kini sudah ditanami tanaman perkebunan berumur panjang. Misalnya kemiri atau tanaman perkebunan lainnya.

Pergeseran pola makan dengan hanya mengandalkan beras ikut mempengaruhi hal ini. Para petani kini tidak lagi konsen mengerjakan ladang. Mereka hanya konsen mengerjakan sawah untuk mendapatkan beras. Bagi yang tidak memiliki sawah, mereka beramai-ramai keluar kampung mencari uang. Mereka bekerja pada proyek- proyek pemerintah atau pekerjaan lainnya. Uang dari proyek itu digunakan untuk membeli beras.

Dampak yang dirasakan ialah pada musim hujan, masyarakat mulai kelaparan. Uang hasil kerja proyek sudah habis. Proyek pun sudah selesai. Sementara cadangan pangan berupa koil, jagung serta sayur-sayuran tadi tidak ada. Toh mereka tidak mengerjakan ladang untuk ditanami ubi kayu, sayur-sayuran dan tanaman pertanian lainnya. Sandaran terakhirnya adalah mengharapkan belas kasihan pemerintah. Mereka berjuang agar mendapatkan raskin. (*)