Kamis, 20 Mei 2010

RAWAN PANGAN DI PROVINSI JAGUNG

Dalam keseharian aktivitas bersama komunitas dampingan yang mayoritasnya adalah petani, saya sering mendapat curhat dan keluhan dari mereka tentang hujan yang tidak menentu dalam artian curah hujan yang sangat minim, terlambat dari waktu biasanya, dan tidak merata. Akhir dari curhat dan keluhan tersebut biasanya bersifat ramalan bahwa tahun ini mereka akan kesulitan pangan akibat gagal tanam, gagal panen. Kondisi ini menurut mereka akan berdampak pada berkurangnya ketersediaan pangan.

Pada saat mendengar curhat dan keluhan dari kawan-kawan petani tersebut, dalam hati saya berpendapat bahwa konsep keamanan dan kedaulatan pangan sudah harus menjadi manstreaming dari para pengambil kebijakan di Nusa Tenggara Timur (NTT). Sebab konsep ketersediaan pangan saja tidak cukup untuk mengatasi persoalan pangan di NTT.

Bertolak dari pendapat yang demikian, maka tulisan ini dimaksudkan untuk menggugat sekaligus menggugah Pemprov. NTT agar dalam merespon masalah pangan di NTT tidak dilakukan secara kasuistis tetapi secara berkelanjutan. Tulisan ini juga akan menggambarkan beberapa titik hitam dari noda yang hingga kini masih mengotori proses pembangunan di NTT sehingga patut dipertanyakan.

Propinsi NTT mempunyai penduduk sekitar 4 juta jiwa yang mendiami 42 pulau dari 566 pulau yang ada. Luas propinsi NTT diperkirakan mencapai 47.350 KM2 yang pada umumnya berbentuk pegunungan dan perbukitan dengan sedikit daerah dataran. Propinsi NTT terletak di sebelah barat garis Wallace, dengan cuaca seperti Australia, yaitu musim kemarau panjang pada bulan Maret hingga November dan musim hujan yang pendek. Kekeringan pada musim kemarau dan banjir pada musim hujan terjadi hampir setiap tahunnya. Lebih dari 80 persen penduduk NTT menggantungkan penghidupannya pada pertanian, setidaknya dari total jumlah penduduk, terdapat 30 persen penduduk miskin. Sekitar 39 persen anak balita menderita gizi kurang; bahkan dibeberapa daerah angkanya dapat mencapai lebih dari 50 persen.

Tanah bersolum tipis dan kurang subur serta rendahnya curah hujan, membuat sebagian orang (mungkin juga termasuk para pengambil kebijakan di NTT) selalu beranggapan bahwa masalah pangan sudah menjadi takdir yang harus diterima. Oleh karena itu, tidaklah mengherankan apabila tingginya angka kemiskinan, bombastisnya tingkat kematian ibu hamil dan meningkatnya pengidap gizi buruk telah dianggap lumrah.

Walaupun hasil panen sering kurang dari kebutuhan konsumsi, petani di NTT juga menjual sebagian hasil produksi pangan untuk memenuhi kebutuhan lain, misalnya untuk kesehatan, pendidikan dan sosial. Selain itu, meskipun hasil utama masyarakat adalah jagung dan singkong, tetapi mereka telah dibiasakan untuk mengkonsumsi beras dengan beberapa alasan. Oleh karena itu, tidak tersedianya beras seringkali dianggap beberapa kalangan sebagai kekurangan pangan.

Bahkan yang lebih menggelikan lagi, karena persoalan pangan, masyarakat setiap bulan selalu direkayasa untuk membeli ± 20 KG jatah RASKIN (Beras Miskin) dengan harga Rp. 2000/KG. Parahnya lagi, persoalan rawan pangan seakan-akan menjadi pembenaran untuk memperbesar dana SILPA maupun dana tanggap darurat yang sangat berpotensi di korupsi, sebagaimana dalam catatan akhir tahun PIAR NTT yang semakin meningkat setiap tahunnya. Pengalaman PIAR-NTT dalam melakukan advokasi terhadap berbagai kasus korupsi dan persoalan kemiskinan di NTT, juga menemukan bukti bahwa dana untuk menanggulangi KLB gizi buruk di NTT pada tahun 2005 sebesar Rp. 64.227.000.000,00 yang belum dipertanggungjawabkan oleh pejabat di 15 dari 16 kabupaten/kota di NTT dan diduga terindikasi korupsi. (Paul SinlaEloE, 2009).

Ironis memang bila rawan pangan masih menjadi masalah bagi masyarakat di daerah merdeka ini. Pertemuan Pangan Dunia (1996), menguraikan bahwa Ketahanan pangan terjadi ketika seluruh orang, pada setiap waktu, mempunyai akses yang cukup secara fisik, sosial dan ekonomi terhadap pangan yang cukup, aman dan bergizi, yang memenuhi kebutuhan gizi dan pilihan pangan untuk hidup aktif dan sehat.

Survey pangan yang pernah dilakukan KoAR-Kupang (2008) pada masyarakat petani di Desa Kuanheum, Kabupaten Kupang, menemukan fakta bahwa dalam kondisi panen normal, masyarakat petani miskin hanya sanggup memenuhi 25-35 persen kebutuhan pangannya dari hasil produksi sendiri, sisanya harus didapatkan dengan membeli. Survey tersebut juga menemukan bahwa apabila terjadi gagal panen dan gagal tanam, masyarakat akan menjual aset-asetnya untuk membeli pangan. Beberapa kelompok juga melakukan tidakan penyesuaian beresiko, misalnya mengkonsumsi ubi hutan dan kacang hutan, sebagian lagi bermigrasi untuk mencari pekerjaan di tempat lain.

Saya teringat pada bacaan yang pernah saya baca bahwa keamanan atau kecukupan pangan mempunyai hubungan yang erat dengan hak hidup. Hal ini sangat jelas terbesit dalam Kovenan Internasional Hak Sosial Ekonomi Budaya Pasal 11 (2), khususnya butir a. Pada pasal ini tertulis bahwa negara-negara yang menandatangani kovenan ini mengakui bahwa bebas dari lapar adalah hak dasar setiap orang dan untuk mencapainya negara-negara yang menandatangani harus mempunyai program kerja yang mencakup perbaikan metode-metode produksi, konservasi, dan distribusi makanan; penyebarluasan pengetahuan-pengetahuan dasar nutrisi; dan pelaksanaan reformasi agraria untuk mencapai pengembangan dan pemanfaatan sumber daya alam secara paling efisien.

Sementara kondisi ini sangat sulit untuk menjadi kenyataan di Nusa Tenggara Timur, dimana lebih dari 39 persen anak mengalami masalah gizi, lebih dari 80 persen masyarakat berada digaris kemiskinan, hasil produksi pertanian yang tidak pernah mencukupi kebutuhan konsumsi, serta kondisi infrastruktur yang mengisolasi sebagian masyarakat untuk dapat mengakses penghidupannya ke luar lokasi tempat tinggal, bahkan membuat sebagian masyarakat lupa bahwa sejak 17 agustus 1945 negara ini telah merdeka.

Hasil survey KoAR-Kupang setidaknya menggambarkan bahwa terdapat masyarakat yang selalu mengalami ulang tahun kesulitan pangan di Provinsi Jagung ini. Lalu apakah kejadian ini menjustifikasi program bagi-bagi beras pemerintah? Jawabannya tentu saja “TIDAK”. Masyarakat memiliki hak untuk tidak selalu berada pada posisi dikasihani dan pemerintah atau pihak lainnya berada pada posisi yang mengasihani. Penanganan yang dilakukan seharusnya dapat dilakukan secara berkesinambungan dan tidak hanya bersifat emergency (darurat) saja, dan perlu terintegrasi dalam tidakan pembangunan sebagai upaya dalam memanage resiko kekeringan yang dihadapi. Karena kekeringan yang selalu berulangtahun ini, memberi penegasan bahwa kekeringan dan dampak ikutannya bukan kejadian tiba-tiba, bukan tidak dapat diduga atau dipresiksi, sebaliknya, hal ini dapat diprediksi jauh sebelum terjadi sehingga resikonya dapat dicegah.

Fakta diatas membuat saya bertanya-tanya, apakah tidak bisa dilakukan sesuatu yang dapat menjawab keluhan masyarakat? Apakah sudah tidak ada orang berotak pandai di NTT sehingga resiko yang oleh anak kecil sudah dapat diramalkan ini tidak dapat dicegah atau diminimalisir? Apa hasil dari begitu banyaknya nama samaran NTT yang dibaptis menjadi Provinsi Jagung, Provinsi Ternak, Provinsi Kepulauan, Provinsi Koperasi dan samaran lain yang sedang ada dalam otak sang pimpinan daerah?

Sangat lucu memang menyandingkan baptisan-baptisan itu dengan realitas yang terjadi ditengah masyarakat NTT. Sandingkan saja program RASKIN dengan gelar NTT Provinsi Jagung, program yang lama mempopulerkan kebaikan hati pemerintah ini, seakan menampik keberadaan jagung yang merupakan makanan pokok orang NTT. Jagung seakan tergeser dengan kedatangan beras, bahkan komunitas yang dulunya membanggakan jagung sebagai lambang kemakmuran, kini malu mengkonsumsi jagung, bahkan memposisikan jagung sebagai makanan ternak. Atau sandingkan saja Provinsi Ternak ini dengan begitu banyaknya kematian ternak warga yang jarang menjadi perhatian pemerintah, bahkan ketiadaan pakan ternak yang luput dari perhatian mengembalikan Nusa Tenggara Timur sebagai gudang ternak.

Kenyataan-kenyataan inilah yang membuat saya seakan mabuk anggur merah. Sejahtera yang mana bila melihat banyak anak di berbagai komunitas mengalami masalah gizi? Sebut saja Darlin, sebuah nama yang pernah dekat ditelinga saya saat sebuah pendampingan dilakukan di Kelapa Tinggi, Desa Mata Air, Kabupaten Kupang. Akibat busung lapar, anak tersebut harus terpuruk dalam masa keceriaannya dan akhirnya meninggal hanya karena pembiaran/ penelantaran negara pihak yang seharusnya menjamin kesejahteraannya sebagai rakyat. Atau fakta dimana terdapat 73 ribu lebih anak di Nusa Tenggara Timur yang mengalami kurang gizi, dan ratusan diantaranya telah berjalan ke pintu akhirat akibat busung lapar yang tidak/lambat ditangani.

Busung lapar atau Kwashiorkor yang pertama kali diperkenalkan oleh Dr. Cecilie Williams pada tahun 1933 sewaktu ia berada di Gold Coast, Afrika berasal dari bahasa setempat yang berarti “penyakit anak pertama yang timbul ketika anak ke dua muncul”. Makna intinya menggambarkan suatu kondisi yang timbul pada anak akibat ditelantarkan atau terjadi pembiaran.

Menurut penelitian Institut for Ecosoc Right secara umum untuk wilayah Nusa Tenggara Timur, busung lapar dan gizi buruk terjadi berakar pada persoalan strutktural yakni kelemahan rumah tangga, komunitas dan kebijakan publik. Penyebab busung lapar dan gizi buruk pada level kebijakan publik merupakan aspek yang dianggap paling menarik karena beragam bencana disikapi dengan politik bantuan. Politik bantuan justru melemahkan kapasitas komunitas dalam pengelolaan bencana (termasuk busung lapar dan gizi buruk) yang berujung pada sikap ketergantungan. Ada juga pemahaman yang keliru yang menempatkan kasus busung lapar sebagai masalah kesehatan sehingga model penanggulangan bersifat kuratif, karitatif, emergency dan bersifat jangka pendek sehingga hasilnya pun tidak optimal.

Pertanyaannya, apakah kebijakan publik yang tidak hanya bersifat kuratif, karitatif, emergency dan bersifat jangka pendek dapat dilakukan pemerintah NTT? Jawabannya “YA” apabila: Pertama, Alokasi anggaran benar-benar berpihak pada rakyat. Kedua, Bantuan emergency tidak dianggap sebagai proyek. Ketiga, Pemberantasan Korupsi harus dilakukan secara serius.



Tulisan ini pernah dipublikasikan Harian Timor Expres tanggal 28 April 2010