Minggu, 27 Juni 2010

Koil

Sabtu, 19 Juni 2010
 
SUDAH menjadi kebiasaan, para petani di Kabupaten Manggarai -- setidaknya hingga tahun 1980-an -- mulai menggarap ladang sejak akhir September hingga awal Oktober. Penggarapan lahan di bulan-bulan ini rutin dilakukan setiap tahun.

Dan mulai akhir Oktober hingga awal November, para petani ramai-ramai menanam tanaman.

Pada masa itu, sistem penggarapan ladang masih terkonsentrasi pada satu tempat. Pola pembagiannya menggunakan sistem lodok (seperti jaringan laba-laba). Dan, pihak yang berhak membagikan lahan garapan para petani di kampung itu adalah tua teno (tua adat) di kampung.

Luas lahan yang digarap setiap petani  bervariasi. Ada yang dua hektare. Ada yang lebih dari itu. Tergantung dari petani itu sendiri saat menerima pembagian lahan oleh tua teno (tua adat) di kampung. Biasanya diukur menggunakan moso (jari tangan).

Kalau petani penggarap mampu, ia bisa menerima sua moso (dua jari) atau lebih dari tua teno yang membaginya. Tapi kalau tidak, cukup ca moso (satu jari) saja. Bentang atau lebar lahan di cicing (ujung ladang) yang digarap pun tergantung jumlah jari yang diambil. Yang ambil dua jari dari di pusat lodok jelas lebih luas dari mereka yang hanya ambil satu jari.  

Di lahan yang digarap ini, para petani di Manggarai menanam berbagai jenis tanaman (sistem tumpang sari). Di ladang itu biasanya ditanami jagung, padi, shorgun, ubi kayu, ubi tatas, serta berbagai jenis ubi lainnya. Juga ditanami berbagai jenis sayur- sayuran dan kacang-kacangan, pisang dan berbagai tanaman lainnya.

Keuntungan dari sistem tumpang sari ini ialah dari satu ladang yang digarap, para petani bisa memanen berbagai jenis bahan kebutuhan hidup dengan hasil yang melimpah. Setelah memanen jagung, para petani memanen padi ladang, shorgun,  ubi- ubian, sayur-sayuran, kacang-kacangan serta berbagai bahan kebutuhan hidup lainnya. Hasil dari berbagai jenis tanaman tersebut biasanya melimpah. Tidak bermaksud joak (berlebihan), pada musim panen seperti itu, para petani di Manggarai terkadang kebingungan memilih makanan, karena semuanya tersedia.

                                                       ***
HASIL panen yang melimpah kala itu ternyata tidak membuat para petani  hilang akal. Mereka biasanya punya cara sendiri untuk mengawetkan bahan makanan hasil panennya, sehingga bahan makanan yang dihasilkan itu bisa bertahan lama. Juga sebagai persediaan pada masa paceklik.

Salah satu bahan makanan yang biasa diawetkan ialah daeng (ubi kayu). Biasanya, setelah semua tanaman lain di kebun sudah habis panen dan mati, ubi kayu mulai bertumbuh subur. Isinya pun mulai besar. Terlampau banyaknya, tanaman ubi kayu yang ada di dalam kebun itu tidak bisa dimakan semuanya pada saat musim panen. Bahkan untuk makanan babi pun tidak bisa habis semuanya.

Karena itu, agar ubi kayu ini tetap awet, bisa disimpan lama dan dijadikan stok pada musim paceklik, orangtua dulu biasanya mengolahnya menjadi koil (gaplek).  Koil yang satu ini namanya koil daeng (gaplek ubi kayu).

Cara pembuatannya, isi ubi kayu terlebih dahulu dipotong dengan panjang sekitar 5-10 cm. Setelah itu dibelah tipis dengan ketebalan sekitar 30 mm, lalu dikeringkan di panas matahari.

Setelah benar-benar kering, koil daeng itu disimpan di dalam karung atau keranjang. Pada musim hujan atau musim paceklik, barulah koil daeng ini diambil untuk dijadikan bahan makanan.

Manfaat koil daeng beragam. Bisa langsung direbus dan dimakan. Tapi bisa juga diolah dalam bentuk lain. Misalnya ditumbuk untuk dijadikan tepung. Tepung koil daeng ini bisa digunakan sebagai pengganti tepung terigu untuk membuat kue. Juga bisa dipakai untuk keperluan makanan lainnya. Sedangkan jagung disimpan di loteng dapur.

Jagung di loteng dapur ini pasti awet karena setiap saat kena asap api.
Itu cerita tempo dulu. Koil daeng yang dulu biasa dijumpai di rumah-rumah para petani kini jarang terlihat di kampung-kampung di Manggarai. Begitu juga jagung jarang terlihat di dapur. Sebab saat ini, orang di Manggarai sudah jarang mengerjakan ladang seperti tempo dulu. Ladang yang dulunya biasa ditanami tanaman tumpang sari kini sudah ditanami tanaman perkebunan berumur panjang. Misalnya kemiri atau tanaman perkebunan lainnya.

Pergeseran pola makan dengan hanya mengandalkan beras ikut mempengaruhi hal ini. Para petani kini tidak lagi konsen mengerjakan ladang. Mereka hanya konsen mengerjakan sawah untuk mendapatkan beras. Bagi yang tidak memiliki sawah, mereka beramai-ramai keluar kampung mencari uang. Mereka bekerja pada proyek- proyek pemerintah atau pekerjaan lainnya. Uang dari proyek itu digunakan untuk membeli beras.

Dampak yang dirasakan ialah pada musim hujan, masyarakat mulai kelaparan. Uang hasil kerja proyek sudah habis. Proyek pun sudah selesai. Sementara cadangan pangan berupa koil, jagung serta sayur-sayuran tadi tidak ada. Toh mereka tidak mengerjakan ladang untuk ditanami ubi kayu, sayur-sayuran dan tanaman pertanian lainnya. Sandaran terakhirnya adalah mengharapkan belas kasihan pemerintah. Mereka berjuang agar mendapatkan raskin. (*)