Senin, 07 Juni 2010

Warga Paka, Bersatu Melawan Kegelapan

Kampoengku Oleh Edy Royanto Bau
Sabtu, 3 April 2010
 
 
POS KUPANG.Com--KAMPUNG Paka, Desa Gurung Liwut, Kecamatan Borong, Manggarai Timur (Matim) berada sekitar 10 km dari Kota Borong, ibu kota Kecamatan Borong sekaligus ibukota Kabupaten Manggarai Timur. Suasana desa ini pun asri dan jauh dari hiruk-pikuk suasana kota.

Meski dekat dengan perkotaan, wilayah ini masih layak disebut kampung. Kenapa? Kampung ini punya keunikan tersendiri. Berjalan menyusuri kampung ini, punya kesan tersendiri. 

Di wilayah lain, tentu Anda tidak heran jika di sisi kiri dan kanan jalan, terpancang tiang-tiang baik dari besi maupun kayu yang menjulang tinggi dengan kabel-kabel listrik yang besar.

Namun di Kampung Paka dan beberapa kampung di sekitarnya (Peot, Kembur, Warat), Anda pasti terheran-heran dan pasti bertanya-tanya tentang adanya tiang-tiang bambu berukuran sedang yang terpancang pada sisi kiri dan kanan jalan serta kabel listrik berukuran kecil melilit pada tiang-tiang bambu itu.

Kampung yang juga tanpa sinyal telepon seluler ini kaya akan komoditi pertanian. Ada kopi, kakao, kemiri, pisang, pinang, alpukat dan masih banyak lagi. Curah hujan di wilayah ini cukup baik dibanding Kota Borong meski jaraknya tidak jauh.

Hanya butuh sekitar 15-20 menit perjalanan dengan sepeda motor dari Borong untuk sampai ke tempat ini. Terkadang di Paka terjadi hujan deras, sementara di Kota Borong kering kerontang.

Kampung ini juga dalam beberapa bulan terakhir sering disebut di media massa. Pasalnya, warga kampung ini terlibat kasus sengketa tanah Lehong.

Perang melawan kegelapan berawal dari suatu kondisi di mana warga Paka merasa kesulitan mendapatkan minyak tanah untuk lampu gas dan lampu minyaknya. Mereka lalu menghitung untung dan ruginya menggunakan genset atau generator dibanding dengan menggunakan lampu minyak yang menggunakan bahan bakar minyak tanah.

Kalau generator atau genset, memang agak bising suaranya, tapi rumah jadi terang benderang. Pada saat bangun pagi pun lubang hidung tidak hitam akibat asap lampu pelita. 

Yoseph Sakung, salah satu warga Paka, saat ditemui Pos Kupang di kediamannya, Kamis (01/04/2010), mengatakan, bersama warga lainnya, mereka telah berupaya sejak tahun lalu memerangi kegelapan. Usaha mereka akhirnya berhasil.

Ketika musim kakao tiba, hasil panenannya digunakan untuk membeli genset. Genset ini awalnya hanya untuk digunakan sendiri, namun karena ada permintaan dari tetangga dan keluarga di sekitarnya, maka mulailah dilakukan pemasangan layaknya listrik PLN.

Dari sebuah generator bisa melayani 10 hingga 15 rumah dengan ketentuan satu rumah hanya bisa menggunakan tiga bola lampu.
"Dari kesepakatan bersama,  setiap bulan, tetangga yang memasang listrik itu wajib membayar Rp 50 ribu untuk tiga bola lampu," kata Sakung.

Mengenai cara pembayaran, tidak ada petugas khusus laiknya petugas PLN. Semua secara sadar dan penuh pengertian datang membayar setiap tanggal 10 dalam bulan. 

Berdasarkan kesepakatan pula, listrik itu dinyalakan mulai pukul 18.00 hingga pukul 22.00  waktu setempat, kecuali ada acara suka maupun dukacita. Mereka tidak pernah mengenal yang namanya pemadaman bergilir.

Warga Paka lainnya, Yuliana Ratna mengatakan, gensetnya bisa melayani 15 rumah ditambah televisi (TV). Bagi yang memasang TV, biaya bulanannya ditambah Rp 20 ribu menjadi Rp 70 ribu perbulan.  Dalam semalam (keadaan normal dari pukul 18.00-22.00), mesin listrik itu bisa menghabiskan dua liter bensin.

"Tidak pernah ada komplain dengan angka meteran karena memang  tidak pakai meteran. Kita juga tidak kenal istilah pemadaman bergilir atau padam tiba-tiba sampai semua alat elektronik rusak. Semua sadar membayar tepat waktu tanpa ditagih," kata Ratna sambil tersenyum.

Menurut Kepala Dusun Paka, Kolsianus Hambur, di dusun itu terdapat sekitar 180 kepala keluarga (KK) yang mata pencahariannya petani dengan komoditi pertanian, seperti kakao, kemiri, pisang, pinang dan alpukat.

Sebagian besar dari 180 KK ini telah menggunakan listrik yang ditarik dari rumah ke rumah. Hasil dari semuanya itu, jelas Hambur, kampung yang dulunya gelap gulita, kini terang benderang. Kampung yang dulunya sepi, kini ada demtuman musik dan suara TV.  Meski tidak semuanya, namun kini warga bisa menikmati acara di TV dan tidak kekurangan informasi.(*)