Kampoengku Oleh Paul Burin
Sabtu, 17 Oktober 2009
Perseteruan itu membawa hubungan dua negara ini berada pada titik nadir. Dengan kata yang lebih tegas, tinggal mengokang senjata dan meletusnya perang saudara.
Puncak perseteruan ini ketika Malaysia dalam setahun belakangan melancarkan tingkahnya dengan mengklaim produk budaya Indonesia adalah karya mereka. Untuk menyebut beberapa, Reog Ponorogo, batik, dan tari pendet asal Bali, yang belum lama beredar dalam rangka promosi pariwisata Malaysia, adalah produk budaya mereka. Juga lagu Rasa Sayange dari Maluku yang telah diklaim sebagai bagian dari kebudayaannya.
Yang membuat hati bertambah miris lagi adalah tingkah pongah mereka yang diduga memplesetkan lagu kebangsaan Indonesia Raya karya Wage Rudolf (WR) Supratman menjadi IndonSIAL National Anthem.
Rasanya sebel dan sungguh menyakitkan bila membaca kata demi kata plesetan lagu itu. Sebuah penghinaan luar biasa terhadap harkat dan martabat negeri ini.
Juru bicara Departemen Luar Negeri, Teuku Faizasyah mengatakan bahwa Pemerintah Indonesia telah meminta agar situs yang memuat lirik pelecehan lagu kebangsaan Indonesia Raya, http://www.topix.com/forum/world/malaysia, dicabut.
"Keterangan dari Depkominfo situs yang memuat lagu itu ditemukan berasal dari Amerika Serikat dan karena melanggar etika, maka kita meminta agar situs itu ditutup, dan tentunya sudah ditutup," kata Faizasyah di Jakarta, Jumat (28/8/2009).
Bagaimana perasaan hati pencipta lagu ini seandainya ia masih hidup dan menyaksikan karya monumental ini "dikebiri" oleh saudaranya dari Negeri Jiran itu? Kita yakin dari dunianya di sana, dari alam baka, WR Supratman menitikkan air mata.
Dan, barangkali hubungan dua negara yang sedang retak ini menginspirasinya untuk menghasilkan karya yang lebih original bukan plagiat atau apa pun namanya sebagaimana dilakukan Malaysia. Ternyata lagu kebangsaan Malaysia, "Negaraku", pun diduga hasil daur ulang lagu "Terang Bulan" yang adalah lagu hasil karya anak negeri ini.
Di zamannya, Bung Karno berkali-kali meneriakkan slogan Gamal, Ganyang Malaysia. Sekarang justru Malaysia mengganyang balik negeri ini. Pulau Sipadan dan Ligitan serta kekayaan budaya kita telah "dirampoknya." Gembong teroris Noordin M Top dan Dr. Azahari adalah produk negeri itu.
***
Gonjang-ganjing ini mengingatkan saya karena sebagian perantau asal kampung saya dan dari kampung lain di daerah ini sudah, sedang dan akan mengadu nasib di sana. Secara nasional jumlah imigran asal negeri ini sebanyak tiga juta orang.
Jumlah perantau dari Indonesia di Malaysia hampir sama dengan jumlah penduduk NTT.
Kita yakin bahwa masih banyak tenaga kerja yang belum terdata karena banyak dari mereka yang memasuki negeri itu melalui samping, penghalusan dari kata pendatang haram.
Di sisi lain kita marah terhadap tingkah aneh mereka. Namun sejujurnya Malaysia-lah negeri yang secara langsung menghidupkan kita. Banyak tenaga kerja dari daerah ini dan daerah lain di negeri ini yang mengadu nasib di sana. Malaysia adalah ladang untuk mengais rezeki. Ladang untuk mengais ringgit. Bahkan sebutan terhormat bagi tenaga kerja kita adalah pahlawan devisa.
Meski menjanjikan, Malaysia bukanlah surga bagi perantau. Banyak saudara kita yang merantau tapi tak menghasilkan apa- apa. Malaysia tak membuatnya berubah. Bahkan setelah kembali ke tanah ini mereka justru membawa beban sosial yang tak kecil. Kalau saja mereka bertahan di kampung tentu ada hal lain yang mungkin sudah diraihnya.
Malaysia hanya dijadikan tempat bersenang-senang dan mereka seakan tak memaknai kata "melarat." Beberapa dekade lalu Malaysia benar-benar memberikan pengharapan bagi perantau tanah ini. *
Sumber : Pos Kupang
Puncak perseteruan ini ketika Malaysia dalam setahun belakangan melancarkan tingkahnya dengan mengklaim produk budaya Indonesia adalah karya mereka. Untuk menyebut beberapa, Reog Ponorogo, batik, dan tari pendet asal Bali, yang belum lama beredar dalam rangka promosi pariwisata Malaysia, adalah produk budaya mereka. Juga lagu Rasa Sayange dari Maluku yang telah diklaim sebagai bagian dari kebudayaannya.
Yang membuat hati bertambah miris lagi adalah tingkah pongah mereka yang diduga memplesetkan lagu kebangsaan Indonesia Raya karya Wage Rudolf (WR) Supratman menjadi IndonSIAL National Anthem.
Rasanya sebel dan sungguh menyakitkan bila membaca kata demi kata plesetan lagu itu. Sebuah penghinaan luar biasa terhadap harkat dan martabat negeri ini.
Juru bicara Departemen Luar Negeri, Teuku Faizasyah mengatakan bahwa Pemerintah Indonesia telah meminta agar situs yang memuat lirik pelecehan lagu kebangsaan Indonesia Raya, http://www.topix.com/forum/world/malaysia, dicabut.
"Keterangan dari Depkominfo situs yang memuat lagu itu ditemukan berasal dari Amerika Serikat dan karena melanggar etika, maka kita meminta agar situs itu ditutup, dan tentunya sudah ditutup," kata Faizasyah di Jakarta, Jumat (28/8/2009).
Bagaimana perasaan hati pencipta lagu ini seandainya ia masih hidup dan menyaksikan karya monumental ini "dikebiri" oleh saudaranya dari Negeri Jiran itu? Kita yakin dari dunianya di sana, dari alam baka, WR Supratman menitikkan air mata.
Dan, barangkali hubungan dua negara yang sedang retak ini menginspirasinya untuk menghasilkan karya yang lebih original bukan plagiat atau apa pun namanya sebagaimana dilakukan Malaysia. Ternyata lagu kebangsaan Malaysia, "Negaraku", pun diduga hasil daur ulang lagu "Terang Bulan" yang adalah lagu hasil karya anak negeri ini.
Di zamannya, Bung Karno berkali-kali meneriakkan slogan Gamal, Ganyang Malaysia. Sekarang justru Malaysia mengganyang balik negeri ini. Pulau Sipadan dan Ligitan serta kekayaan budaya kita telah "dirampoknya." Gembong teroris Noordin M Top dan Dr. Azahari adalah produk negeri itu.
***
Gonjang-ganjing ini mengingatkan saya karena sebagian perantau asal kampung saya dan dari kampung lain di daerah ini sudah, sedang dan akan mengadu nasib di sana. Secara nasional jumlah imigran asal negeri ini sebanyak tiga juta orang.
Jumlah perantau dari Indonesia di Malaysia hampir sama dengan jumlah penduduk NTT.
Kita yakin bahwa masih banyak tenaga kerja yang belum terdata karena banyak dari mereka yang memasuki negeri itu melalui samping, penghalusan dari kata pendatang haram.
Di sisi lain kita marah terhadap tingkah aneh mereka. Namun sejujurnya Malaysia-lah negeri yang secara langsung menghidupkan kita. Banyak tenaga kerja dari daerah ini dan daerah lain di negeri ini yang mengadu nasib di sana. Malaysia adalah ladang untuk mengais rezeki. Ladang untuk mengais ringgit. Bahkan sebutan terhormat bagi tenaga kerja kita adalah pahlawan devisa.
Meski menjanjikan, Malaysia bukanlah surga bagi perantau. Banyak saudara kita yang merantau tapi tak menghasilkan apa- apa. Malaysia tak membuatnya berubah. Bahkan setelah kembali ke tanah ini mereka justru membawa beban sosial yang tak kecil. Kalau saja mereka bertahan di kampung tentu ada hal lain yang mungkin sudah diraihnya.
Malaysia hanya dijadikan tempat bersenang-senang dan mereka seakan tak memaknai kata "melarat." Beberapa dekade lalu Malaysia benar-benar memberikan pengharapan bagi perantau tanah ini. *
Sumber : Pos Kupang