Senin, 07 Juni 2010

Tenaga Kerja Kita

Kampoengku Oleh Paul Burin
Sabtu, 17 Oktober 2009
 
Perseteruan itu  membawa hubungan  dua negara  ini berada  pada titik nadir.  Dengan kata yang lebih tegas,  tinggal  mengokang  senjata dan meletusnya perang saudara.

Puncak perseteruan ini  ketika Malaysia dalam setahun belakangan melancarkan tingkahnya dengan mengklaim produk budaya Indonesia adalah karya mereka. Untuk menyebut beberapa, Reog Ponorogo, batik, dan tari pendet asal Bali, yang belum lama beredar dalam rangka promosi pariwisata Malaysia, adalah produk budaya mereka. Juga lagu Rasa Sayange dari Maluku yang telah diklaim sebagai bagian dari kebudayaannya.

Yang  membuat hati bertambah miris  lagi adalah  tingkah pongah mereka yang  diduga memplesetkan  lagu kebangsaan Indonesia Raya karya Wage Rudolf (WR) Supratman menjadi IndonSIAL National Anthem. 

Rasanya sebel dan sungguh menyakitkan bila membaca  kata demi kata plesetan lagu itu. Sebuah penghinaan luar biasa terhadap harkat dan martabat negeri ini.

Juru bicara Departemen Luar Negeri, Teuku Faizasyah mengatakan bahwa Pemerintah Indonesia telah meminta agar situs yang memuat lirik pelecehan lagu kebangsaan Indonesia Raya, http://www.topix.com/forum/world/malaysia, dicabut.

"Keterangan dari Depkominfo situs yang memuat lagu itu ditemukan berasal dari Amerika Serikat dan karena melanggar etika, maka kita meminta agar situs itu ditutup, dan tentunya sudah ditutup," kata Faizasyah di Jakarta, Jumat (28/8/2009).

Bagaimana perasaan  hati  pencipta lagu ini seandainya ia masih hidup dan menyaksikan karya monumental ini "dikebiri"  oleh  saudaranya dari Negeri Jiran itu? Kita yakin dari  dunianya di sana, dari alam baka,  WR Supratman menitikkan air mata.

Dan, barangkali hubungan dua negara yang  sedang retak ini menginspirasinya untuk menghasilkan karya yang lebih original bukan plagiat atau apa pun namanya sebagaimana dilakukan  Malaysia. Ternyata  lagu kebangsaan Malaysia,  "Negaraku",  pun diduga  hasil  daur ulang lagu "Terang Bulan" yang adalah lagu hasil karya anak negeri ini.

Di zamannya, Bung  Karno berkali-kali meneriakkan slogan Gamal, Ganyang Malaysia. Sekarang justru  Malaysia  mengganyang balik negeri ini. Pulau Sipadan dan Ligitan serta kekayaan budaya kita telah "dirampoknya." Gembong teroris Noordin M Top dan Dr. Azahari adalah  produk negeri itu.

                    ***
Gonjang-ganjing ini mengingatkan saya  karena sebagian  perantau asal kampung saya dan dari kampung lain di  daerah ini sudah, sedang dan akan mengadu nasib di  sana. Secara nasional jumlah imigran asal  negeri ini sebanyak  tiga juta orang.
Jumlah perantau  dari Indonesia di Malaysia hampir sama dengan jumlah penduduk  NTT. 

Kita yakin bahwa masih banyak tenaga kerja yang belum terdata karena banyak dari mereka  yang  memasuki  negeri itu  melalui samping,  penghalusan  dari kata pendatang  haram.

Di sisi lain  kita marah terhadap  tingkah aneh mereka. Namun sejujurnya  Malaysia-lah  negeri yang secara langsung menghidupkan kita. Banyak tenaga kerja dari daerah ini dan daerah lain di negeri ini yang mengadu nasib  di sana. Malaysia adalah ladang  untuk mengais  rezeki. Ladang untuk mengais ringgit. Bahkan sebutan terhormat bagi tenaga kerja kita adalah pahlawan devisa.

Meski menjanjikan,  Malaysia  bukanlah surga bagi perantau.   Banyak saudara  kita  yang merantau tapi  tak menghasilkan apa- apa. Malaysia tak membuatnya berubah.  Bahkan  setelah kembali ke tanah ini mereka justru membawa beban sosial yang tak kecil. Kalau saja mereka bertahan di kampung tentu ada hal lain yang mungkin sudah diraihnya.

Malaysia hanya dijadikan tempat bersenang-senang dan mereka seakan  tak  memaknai  kata "melarat."  Beberapa dekade lalu  Malaysia benar-benar memberikan pengharapan bagi perantau tanah ini. *

Sumber : Pos Kupang