Senin, 07 Juni 2010

Orang Lado Lima Rindu Jalan Aspal

Kampoengku Oleh Mathilde Apolonia Dhiu
Sabtu, 17 April 2010
 
PADA agustus 2009 saya menjalani cuti dua minggu. Perasaan senang dan apalah namanya berkecamuk di dada ketika mendapat kesempatan itu.

Waktu dua minggu sebenarnya pas untuk sedikit memanjakan diri di rumah, bersantai-santai dengan keluarga setelah sepanjang tahun sibuk dengan rutinitas sebagai seorang wartawati.

Apalagi, kesempatan cuti ini adalah saatnya pulang kampung. Ini kesempatan luar biasa untuk bertemu dengan keluarga besar. Saya pun berangkat bersama keluarga ke Flores.

Saya ingin berlibur di kampung halaman suamiku di Desa Lado Lima Utara, Kecamatan Keo Tengah, tepatnya di kampung Bajo. Hati berdebar karena ingin tahu seperti apa desa itu.

Menurut cerita yang saya dengar sebelumnya, udara di desa ini sejuk karena berada di ketinggian, hijau karena masyarakatnya sudah beralih dari rutinitas membuat sawah dan ladang dengan menjadikannya sebagai tempat yang dipenuhi dengan berbagai tanaman umur panjang, seperti cengkeh, kakao, kelapa dan sebagainya.

Setelah menempuh perjalanan dengan transportasi laut menuju Ende, kami pun menumpang bus ke Raja. Dari sana kami harus berganti kendaraan lagi dengan truk kayu menuju kampung Bajo.


Ya, senang sekali karena pemandangan yang maha indah, bukit- bukit yang dipenuhi dengan pepohonan yang lebat. Hitung- hitung cuci mata, karena di Kupang kadang hanya memandang batu karang dan rumput kering.

Perjalanan menyenangkan dari Raja berubah menjadi sesuatu yang membuat kesal. Jalan aspal yang tadinya mulus tiba-tiba berlubang-lubang yang menganga. Jalan aspal hanya sampai tepat di depan rumah salah seorang politisi nasional yang sebenarnya orang asli dari Kota Keo.

Selanjutnya, tinggal sejumput doa yang melelahkan karena berharap segera tiba di kampung dan meninggalkan perjalanan yang benar-benar mengerikan.

Kondisi jalan yang masih pengerasan dengan batu-batuan yang mengkilat, membuat kendaraan yang kami tumpangi harus miring ke kiri dan ke kanan. Belum lagi kondisi medan yang terjal dan berbukit-bukit. Kondisi ini ternyata bukan baru terjadi sekarang, tetapi sudah lama.

Ada beberapa kontraktor yang masuk untuk mengerjakan proyek jalan ini, tetapi selesai kerja, jalan pun kembali rusak, karena para kontraktor kerja hanya untuk proyek saja dan mengabaikan naluri kemanusiaan. Kondisi jalan ini akan sangat parah jika menghadapi musim hujan. Padahal, kalau mau dilihat lebih jauh, dinamika perekonomian masyarakat di desa ini, yang terdiri dari beberapa kampung, yakni Bhela, Bajo, Watumeko, Oja, Mundemi, Wolotaka, Boamuyi dan Koke sangat bagus.

Hasil pertanian umur panjang yang mereka kembangkan juga sangat bagus. Tapi, apalah daya, kalau transportasi tidak lancar ke daerah ini, hanya gara-gara kondisi jalan yang buruk.

Mereka harus menunggu trek yang akan ke Mbay, Raja, Boawae atau Bajawa dengan bangun jam empat pagi berjalan kaki ke jalan besar untuk menunggu trek kayu yang malakukan trayek ke desa tersebut.

Dan hanya satu trek saja yang mau masuk ke desa ini. Kalau terlambat, yah silahkan ditunda besoknya. Kalau sekedar terlambat yah, tapi kalau sudah cape menunggu, tapi treknya sudah penuh dan tidak bisa ditambah penumpang lagi. Benar- benar sakit hati.

Padahal, mereka sangat membutuhkan transportasi yang lancar untuk memasarkan berbagai komoditi yang mereka hasilkan. Sampai kapan???? Kalau benar-benar butuh, terpaksa mereka harus jalan berjam-jam memikul hasil komoditi mereka ke Raja atau menunggu kendaraan dari Ma'unori.

Penderitaan ini belum selesai, ditambah lagi sampai saat ini warga desa ini belum menikmati listrik, baik dari PLN maupun tenaga surya atau tenaga lainya. Malam hari adalah malam yang sangat ditakuti warga, apalagi orang baru?

Sampai saat ini mereka masih menggunakan lampu pelita. Syukur-syukur kalau persediaan minyak tanah di kios-kios warga memadai.

Tetapi kalau minyak tanah krisis, mereka kembali hanya bisa menyalakan api di tungku saat memasak, setelah itu yah tidur untuk menanti datangnya mentari pagi.

Bagi anak-anak yang sekolah mereka terpaksa harus menyelesaikan tugas rumah di sore hari atau sepulang sekolah. Syukur-syukur kalau rembulan muncul di malam hari, kalau tidak kegelapan yang benar-benar menyesakan kalbu, sunyi senyap tanpa bunyi-bunyian televisi atau radio sebagai sebagai refresing di malam hari.

Masyarakat Lado Lima Utara memang pernah swadaya untuk penerangan dengan menggunakan genset. Tapi, hal itu tidak berlangsung lama karena mesin gensetnya jebol.

Terpaksa kembali gelap lagi. Saat ini hanyalah kabel-kabel yang bergelantungan dari rumah ke rumah karena mesin genset sudah tidak ada lagi.

Kepemimpinan para pemimpin yang ada di sana pun hanya janji- janji kampanye saja. Selanjutnya, masyarakat Lado Lima Utara harus tetap tertatih-tatih memasarkan komoditi mereka ke kota karena ketiadaan jalan dan trasnportasi yang memadai. (*)


Sumber : Pos Kupang