Senin, 24 Mei 2010

NTT,Antara Jagung dan Ternak

(Sebuah Refleksi)
Oleh : Paulus Ngongo Riti

Dirgahayu NTTku 50 tahun Berdiri. Terinspirasi oleh Pernyataan Bapak Gubernur NTT, Drs. Frans Lebu Raya saat panen jagung di Besikama, Kecamatan Malaka Barat, Belu pada 25 November 2008 lalu, munculah ide menuangkan refleksi ini. Ketika itu, Gubernur menegaskan;’’Saya minta masyarakat di daerah ini untuk kerja keras. Kita tidak bisa mengharapkan bantuan dari orang lain tetapi kita harus mulai dari diri kita sendiri.’’ Pernyataan NTT I yang berhasil terpilih secara sangat demokratis bersama pasangannya, Wakil Gubernur Ir. Esthon L. Foenay, M.Si ini pula yang memantik permenungan ini.

Adakah relevansi antara jagung dan ternak? Ini mungkin tidak terlalu penting dijawab. Namun, jika pertanyaannya;’’mengapa mesti jagung dan ternak?’’Maka jawabannya mesti berangkat dari kondisi faktual sesuai realitas kehidupan dalam keseharian masyarakat NTT, yang makanan pokoknya adalah jagung dan secara turun-temurun hidup dari beternak kecil-kecilan.

Dalam konteks itu, penulis berpendapat, upaya jagungnisasi NTT akan semakin lebih mudah dimengerti karena sesungguhnya adalah suatu bentuk upaya mulia menuju sebuah masyarakat NTT yang swasembada pangan, mandiri dan sejahtera. Dengan kata lain, masyarakat NTT tidak lagi hanya mau terus-menerus bergantung pada bantuan dan belas kasihan ‘’orang lain’’.

Logikanya, jika pangan cukup, kita menjadi pribadi yang independen, waktu bisa digunakan untuk mengembangkan kapasitas diri (talenta), dan dana dapat dibelanjakan untuk peningkatan kesejahteraan. Di sisi lain, paradigma baru yang perlu dibangun adalah bahwa harkat dan martabat kita tidak jatuh karena makan jagung, tetapi terus menjadi benalu tanpa tahu malu-padahal sebenarnya bisa karena ranah NTT masih cukup bersahabat-itu yang melahirkan tatapan sinis, dipandang remeh dan dianggap enteng.

Jika sungguh direnungkan, makna dan pesannya jelas. Daripada menunggu raskin dan Bantuan Langsung Tunai (BLT) yang sifatnya hanya temporer dan insidental, semestinya kita sungguh-sungguh manfaatkan dan terus berdayakan pangan lokal yang ada. Ini tentu, terlepas dari warga yang benar-benar berhak menerimanya karena pelbagai keterbatasan yang ada. Dengan demikian, meskipun ‘’75 persen Biaya di NTT dari Pusat’’ (PK,26/11/2008), kalau hanya untuk urusan makan, mestinya kita bisa atasi sendiri. Karena sejatinya, orang NTT cukup dikenal beretos kerja tinggi, ulet dan rajin mengolah lahan pertanian.

Dari paparan tersebut, penulis berpendapat, cara paling bermartabat yang harus dilakukan adalah Doa, Usaha, Iman dan Takwa ( DUIT). Doa menjadi komunikasi paling pribadi antara ciptaan dengan Penciptanya. Dia amat sangat sanggup dan senantiasa siap serta selalu terbuka menerima setiap keluh kesah anak-anak manusia, karena Ia amat mengasihi seluruh ciptaan-Nya.

Pada saat yang sama, perlu Usaha, yakni mau memeras keringat sendiri dengan satu tekad; berdiri di atas kaki sendiri (Berdikari). Selain itu, mesti juga disertai Iman atau keyakinan bahwa Tuhan akan selalu mencurahkan berkat-berkat-Nya atas semua yang telah diusahakan dengan susah payah dan jujur, penuh kesungguhan dan ketulusan hati.

Akan tetapi, agar berkat-berkat menjadi sempurna, maka mesti diimbangi dengan takwa. Secara sederhana, takwa dapat bermakna tahu berterima kasih dan bersyukur baik dalam keadaan susah maupun senang.

Bukan sebaliknya, hanya mengeluh bahkan terus menghujat Sang Pencipta hanya karena hujan yang turun sepanjang hari atau cuaca panas yang membuat gerah. Di sini, kita ditantang untuk menjadi manusia yang tahu bersyukur bukan saja pada saat untung, tetapi juga kala buntung agar diberi hikmat, pengertian dan kekuatan oleh Tuhan Yang Maha Esa (kembali pada Doa).

Di puncak ulang tahun ke-50, kiranya inilah saatnya kita teriakan kepada dunia, bahwa NTT bisa berdikari dan mandiri terutama dalam hal pangan. Masalah kemarau panjang, curah hujan yang rendah, bukanlah penghalang bagi kami untuk terus maju. Ini adalah tantangan sekaligus peluang untuk berpikir kreatif dan berinovasi. Anda setuju, bukan?

Kita masih bisa makan jagung bakar dan jagung rebus sekalipun di tengah musim kemarau? Ini berarti, kondisi alam NTT yang keras dan menantang seperti ini bukanlah penghalang bagi anak Nusa untuk terus eksis dan berkreasi. Selain tentu, salah satu bukti konkrit bahwa kita sebenarnya bisa, asalkan berkemauan keras dan terus berjuang mengolah begitu banyak lahan tidur yang ada. Karena itu, secara sadar atau tidak, memelihara kebiasaan malas, harap gampang, lemah kemauan dan daya juang, pasrah pada nasib, apalagi menjadi apatis seolah-olah kemiskinan adalah takdir tentu bukanlah hal yang bijaksana.

Fisolofi bahwa di balik gunung selalu terbentang tanah terjanji mesti menjadi kekuatan sekaligus daya dorong untuk terus maju. Syaratnya? Tentu adalah mau bekerja keras dan harus mulai dari diri kita sendiri, seperti ungkapan dan harapan orang nomor satu NTT di awal tulisan ini. Satu yang pasti, kita (masyarakat NTT) tidak bisa (terus-menerus) mengharapkan bantuan dari orang lain.

Secara umum-meski terlanjur distigma miskin, bodoh dan terbelakang, satu hal yang sedikit menghibur adalah fakta bahwa nyaris tidak kita temui orang NTT yang menjadi gepeng (gelandangan dan pengemis) baik di perempatan jalan, lampu setopan, pusat-pusat perbelanjaan maupun dalam bis kota di NTT.

Sejalan dengan itu, jika sejenak kita cermati, maka upaya jagungnisasi dan pengembangan peternakan sesungguhnya memiliki keterkaitan yang sangat erat dengan program para Gubernur sebelumnya. Ini menunjukan komitmen dan konsistensi para Gubernur NTT bagaimana menahkodai bahtera ini bersama seluruh penumpangnya selamat tanpa ada yang harus tertinggal karena busung lapar, gizi buruk dan rawan pangan.

Dengan demikian, jika penumpangnya sudah berkecukupan pangan, maka ada jedah untuk memanfaatkan waktu dan kesempatan secara berdaya guna dan berhasil guna, sekaligus merancang masa depan yang lebih baik.

Gubernur W.J Lalamentik, misalnya, dengan program Komando Operasi Gerakan Merata (KOGAM). Gubernur El Tari dengan program Tanam-Tanam, Sekali Lagi Tanam. Gubernur dr. Ben Mboy dengan Operasi Nusa Hijau, Operasi Nusa Makmur, Operasi Nusa Sehat (ONM,ONH,ONS), antara lain; jagung Hibrida dan Lamtoro Gung yang sangat berhasil pada masa itu.

Gubernur dr. Hendrik Fernandez melalui program dan Mars Gempar (Gerakan Meningkatkan Pendapatan Asli Rakyat). Gubernur Herman Musakabe dalam Tujuh Program Strategis; salah satu hasilnya adalah jagung bakar di sepanjang Jl. El Tari-Kupang, selain arena pameran Fatululi, Aula El Tari serta pemakaian kain tenun pada hari Kamis.

Kesinambungan program pemerintah sebelumnya kita lihat juga dalam motto Gubernur Tallo; Mulailah dengan Apa yang Ada pada Rakyat dan Apa yang Dimiliki Rakyat melalui Program Tiga Batu Tungku. Kristalisasi komitmen kerakyatan itu terus berlanjut hingga saat ini dalam duet Gubernur dan Wakil Gubernur sekarang, yakni; Delapan Agenda Prioritas Pembangunan dalam spirit Anggur Merah (Anggaran Untuk Rakyat Menuju Sejahtera). Di antaranya adalah program Jagungnisasi dan Hewan Ternak.

Atas dasar itu, maka sesungguhnya siapapun yang menjadi anak kandung provinsi ini tidak perlu kaget dan heran apalagi malu ketika berbicara tentang nasi jagung. Tentu kita sepakat bahwa ini adalah makanan rakyat NTT pada umumnya sehingga menjadi semakin mudah untuk dimengerti; jika kita punya cukup banyak persediaan jagung dan tidak malu makan nasi jagung (baca; pangan lokal), maka kita tidak akan ribut lagi masalah rawan pangan, gizi buruk.

Tidak perlu terlalu resah dan gelisah ketika persediaan beras padi menipis atau tidak ada. Karena itu, agar lebih kaya kalori dan gizi, bisa menghemat pengeluaran serta tidak terlalu terasa duri saat ditelan, mengapa tidak membuat nasi Merah Putih a’la NTT? Bahannya cukup beras jagung dicampur dengan beras padi. Bisa juga Nasi Campur a’la NTT, seperti jamak terjadi beras jagung dicampur kacang merah (kacang nasi) atau kacang hijau dan sedikit beras padi. Perbandingannya tergantung kebutuhan keluarga.

Dengan demikian, penghasilan rumah tangga yang ada dan mungkin terbatas tidak tersedot habis hanya untuk membeli beras padi. Konsekwensi logisnya dapat dialokasikan untuk kebutuhan lain seperti membiayai anak sekolah, belanja lain bagi peningkatan gizi keluarga, seperti ikan, telur, ayam. Jika perlu sepotong dua potong pakaian, dan sedikit sarana informasi seperti TV dan tape sejauh memungkinkan.

Bahkan, bukan tidak mungkin akan mampu menyicil sedikit demi sedikit bahan bangunan seperti seng, beberapa potong batu bata dan sejenisnya. Selain itu, anggaran pemerintah pun yang nota bene sudah terbatas bisa dialokasikan untuk pembangunan infrastruktur seperti sarana dan prasarana rumah sakit, obat-obatan, jalan, dan sebagainya.

Dengan demikian, pemerintah daerah tidak selalu harus mengalokasikan lagi dana yang begitu besar hanya untuk menangani masalah rawan pangan dan gizi buruk. Bayangkan, ‘’Butuh Rp.57 M Tangani Gizi Buruk di NTT,’’ (Timeks, 2/9/2008).

Bukankah dana sebanyak itu bisa dimanfaatkan untuk memperbaiki ruas jalan beratus-ratus kilometer? Atau membangun sebuah rumah sakit tipe C, misalnya. Mungkin juga-dalam kasus tertentu, rakyat kecil tidak perlu dijejali dengan segudang istilah asing yang sudah pasti sulit dilafalkan, diingat bahkan mungkin tidak pernah dimengertinya.

Marasmus, kwashiorkor, marasmus kwashiorkor, misalnya. Meskipun hal itu bukan tabu karena bermakna positif dan bertujuan baik, tetapi tentu kurang bijak dan bajik jika berhadapan dengan masyarakat awam. Apalagi jika tidak disertai penjelasan dan pesan sederhana yang benar-benar dapat dimengerti masyarakat akar rumput.

Pepatah tua sedikit bicara banyak bekerja kiranya tetap aktual hingga kini. Oleh karena itu, program populis untuk kemaslahatan banyak orang seperti telah dibuktikan Provinsi Gorontalo, tentu menjadi tugas kita bersama untuk Sehati Sesuara menyukseskannya, demi NTT Baru yang kita impikan bersama.

Paling kurang-menurut penulis, NTT yang mampu berswasembada pangan, yang kembali pada jati diri mengkonsumsi pangan lokal dan berjuang atas dasar keringat sendiri menjaga kehormatan yang - kecuali karena anomali iklim, tidak mau terus-menerus menadahkan tangan pada belas kasihan orang lain? Ya sedapat mungkin, NTT yang bebas dari masalah rawan-pangan, gizi buruk, kurang gizi, tanah longsor, bahaya banjir dan stigma bodoh, miskin dan terbelakang.

Caranya, mari kita aktualisasikan program tersebut sesuai talenta masing-masing. Misalnya, beternak itu menguntungkan, menanam itu investasi masa depan dan makan jagung itu baik. Bahwa kalau pangan tersedia cukup di lumbung, meskipun yang ada adalah jagung, umbi ketela pohon yang telah dikeringkan, labu merah, dan pangan lokal sejenisnya, maka kita tidak akan menderita rawan pangan lagi; juga waktu, tenaga dan pikiran bahkan uang tidak lagi terkuras hanya untuk mendatangkan bahan pangan (baca:beras padi) yang harganyapun semakin hari semakin melambung.

Tantangan lainnya pasti ada. Kecenderungan generasi muda yang tidak mau terjun ke ladang/kebun, budaya instant, anomali iklim hingga penggunaan pestisida dalam pembersihan lahan amesti menjadi tantangan penelitian pihak berkompeten, guna mengetahui dampak jangka panjangnya bagi kesuburan bumi kita.

Di batas ini, dengan tidak mengurangi rasa hormat pada para penderita diabetes mellitus, kita tentu sepakat bahwa tidak perlu menunggu saran dokter (baca: sakit gula) dulu baru mau makan jagung, bukan?

Jagung dan ternak bagi penduduk asli NTT tentu bukan hal baru. Provinsi yang sangat akrab dengan kemarau panjang selama 8 (delapan) bulan dan musim penghujan yang hanya 4 (empat) bulan ini, selain sangat cocok untuk komoditi jenis ini, juga paling sesuai dengan kultur penduduk asli NTT, yang sejak para leluhur telah hidup dengan jagung dan memelihara hewan ternak.

Bahkan demikian terkenalnya NTT sebagai gudang ternak pada masanya (salah satunya Pulau Sumba), Taufiq Ismail, hanya dengan mendengar cerita saja begitu terinspirasi meciptakan Puisi ’’Beri Daku Sumba’’ pada tahun 1970. Walaupun, Sang Penyair kawakan Indonesia ini sendiri baru sempat mengunjungi Sumba pada tahun 1992. Boleh jadi, dimensi puisi ini mesti dipandang sebagai sebuah pengakuan konkrit sekaligus pesan moril dari saudara kita, bahwa NTT pernah jaya dengan label sekaligus kebanggaan sebagai gudang ternak nasional yang perlu terus dilestarikan.

Akan tetapi, pertanyaannya adalah dimanakah kejayaan itu? Dibandingkan pengantarpulauan hewan (bukan daging!) yang tidak didukung dengan usaha dan upaya nyata pengembangbiakan secara konsisten baik swasta, masyarakat maupun Pemerintah daerah, pesta adat hanyalah sebuah contoh terkecil.

Celakanya lagi, ekspor hewan tidak memperhitungkan jenis kelamin dan usia produktif hewan, sehingga secara perlahan, nasib hewan di NTT tidak lebih mujur dari kayu Cendana, yang namanya begitu harum disebut, tetapi begitu sulit dijumpai secara bebas menebarkan aroma semerbak di alam nyata.

Jagung, sekilas memang terdengar begitu sederhana. Namun, dari tanaman yang terlihat begitu bersahaja bahkan cenderung dipandang sebagai makanan kelas dua ini, telah menyelamatkan berjuta-juta nyawa dari penyakit diabetes mellitus. Tak sedikit pula anak kandung provinsi ini yang menjadi orang besar bahkan ikut mempengaruhi kebijakan nasional di negeri ini. Profesor, Doktor, Gubernur, Wakil Gubernur, Perwira Tinggi TNI/Polri, Dosen, Bankir, Bahkan Menteri.

Dari ulasan itu, maka yang paling penting adalah aksi nyata dari sebuah rencana aksi. Betapapun bagus sebuah program, tidak akan berdampak positif apalagi mengharapkan multiplier effect (dampak ikutan), jika tidak didukung dengan tindakan nyata warga NTT sendiri secara konsisten dan konsekwen, serta kemauan keras (strong determination) untuk BERDIKARI.

Kita tentu sepakat untuk tidak perlu menunggu datangnya ‘’Mr. Claus’’ dan kemudian beramai-ramai antri. Kita pun tidak boleh lansung terlampau pesimistis dengan alasan iklim, pasar atau dalih pembenar lainnya-meskipun itu logis-sebelum bertarung. Bukankah Sesepuh NTT, Gubernur Ben Mboy dengan amat bijaksana telah mengingatkan; ‘’Kalau bukan sekarang, kapan lagi dan kalau bukan kita, siapa lagi?.


*) Sumber : Timor Express