Senin, 24 Mei 2010

Melongok Keluarga Balita Penderita Gizi Buruk di Sumba Timur

Bayar Opname dari Uang Hasil Pinjaman
Meski dana yang dianggarkan mencapai ratusan juta rupiah per tahun anggaran namun kasus gizi buruk di Sumba dan Sumba Timur khususnya masih saja terjadi.

Pekan lalu, kasus tersebut merenggut nyawa dua balita. Latar belakang ekonomi yang pas-pasan memicu terjadinya kasus ini. Lantas apa peran Dinas Kesehatan melalui Posyandu?

DJUNAIDI GARIB, Waingapu

RUBEN Rohi (43) ayah dari Arga Setiawan Rohi bayi berusia 9 bulan dengan berat tubuh hanya 4 kg dan sempat menjalani perawatan di RSU Imanuel karena menderita gizi buruk itu, hanya bekerja sebagai buruh bangunan. Isterinya, Martha Wolo (35) juga ibu rumah tangga biasa.

Pendidikan suami isteri inipun tidak cukup. Mereka bahkan tak sampai menamatkan Sekolah Dasar (SD). Ruben adalah perantau asal Seba-Sabu, sedangkan Martha adalah penduduk asli Kelurahan Kambaniru Kecamatan Kambera. Dari hasil perkawinan, pasangan suami isteri ini dikarunia 6 orang anak. Anak tertua, berusia 15 tahun dan bersekolah di SMPN satu atap Padadita-Kambaniru dan duduk di kelas III.

Keluarga yang bermukim di RT 09/ RW 02 Kelurahan di Kambaniru ini juga tergolong miskin. Betapa tidak, rumah yang dihuni mereka hanya berukuran 5 m x 3 m, beratap seng, berdinding gedek bambu dan berlantai tanah. Ironinya, tanah lokasi tempat dibangunnya rumah yang hanya berkamar tidur satu tanpa sarana listrik dan air bersih PDAM itu juga bukan milik mereka tapi pinjaman dari tetangga. "Tanah ini bukan milik kami tapi saya pinjam dari tetangga sebelah. Kebetulan, dia teman baik saya.

Rumah ini tidak ada listrik. Kalau malam, kita pakai lampu minyak tanah saja.
Air PDAM juga tidak ada. Untuk masak dan minum kita pakai dari sumur gali," aku Ruben kepada Timor Express, Minggu (11/1) malam kemarin. Ruben mengisahkan, karena ingin merubah hidup, dia akhirnya memutuskan merantau ke Sumba Timur. Tapi karena pendidikannya tidak memadai, dia hanya bisa bekerja serabutan. Sejak beberapa waktu lalu, Ruben beralih profesi sebagai buruh bangunan dengan penghasilan yang juga tidak menentu. "Kalau ada proyek atau ada pemborong yang panggil kerja baru dapat uang. Itu juga pas hanya cukup untuk makan dan sering juga kurang," jelasnya.

Akibat tekanan ekonomi tersebut aku Ruben, menyebabkan dia tidak bisa memenuhi kebutuhan keluarganya termasuk kebutuhan gizi putra bungsunya, Arga Setiawan Rohi. Sementara menurut isterinya, Martha Wolo, karena menderita diare, Arga dilarikan ke RSU Imanuel dan sempat menjalani rawat inap selama beberapa hari di RS swasta tersebut. "Tapi setelah keluar dari opname (rawat inap, red), kondisinya tidak berubah. Tiap siang dan malam Arga selalu menangis. Saya bingung mau bagaimana lagi karena dikasih susu blek (kaleng, red) Arga juga tidak mau minum sedangkan air susu saya juga tidak ada lagi," imbuhnya.

Selama menjalani perawatan di RSU Imanuel demikian Martha, Arga tidak diinfus. "Saya juga yang meminta perawat di RSU Imanuel agar Arga diopname saja sehingga dia diopname. Tidak tahu lagi sekarang kami mau bagaimana karena uang sudah habis. Untuk biaya opname lalu saya bayar Rp 300.000. Itu juga dari hasil pinjaman," tambahnya.

Martha juga mengaku tidak pernah mendapat makanan tambahan dari Posyandu ketika membawa anaknya kesana. "Kalau ke Posyandu, Arga hanya ditimbang setelah itu kita pulang rumah. Tidak ada makanan tambahan yang kita dapat di Posyandu. Saya sering bawa Arga ke Posyandu Anggrek di Kelurahan Kambaniru ini," paparnya.

Terpisah, Bupati Sumba Timur, Gidion Mbilijora menegaskan, di tahun anggaran 2009 ini, pihaknya mengalokasikan dana penanggulangan gizi buruk sebesar Rp 750 juta. Dana tersebut termasuk pemberian makanan tambahan melalui Posyandu kepada balita dari latarbelakang keluarga tidak mampu. "Kalau makanan tambahan itu tidak diberikan berarti ada yang tidak beres dengan Posyandu dan ini kita akan evaluasi," ulangnya. Tahun 2008 lalu sambung Gidion, di Sumba Timur terjadi sebanyak 161 kasus gizi kurang dan buruk.


Tewas Setelah Ditinggal sang Ibu Jadi TKW
Nyawa Yunita Ina, balita penderita gizi buruk berusia 1,5 tahun dengan berat tubuh hanya 5 kg itu tidak bisa diselamatkan tim medis RSU Imanuel.


Ia menghembuskan napas terakhirnya setelah dua hari menjalani perawatan di rumah sakit tersebut. Lagi-lagi, himpitan ekonomi menjadi penyebab kurangnya asupan gizi pada bayi malang ini.

DJUNAIDI GARIB, Waingapu

KARENA tekanan ekonomi, Sarigina Malo (21) memutuskan menjadi tenaga kerja wanita (TKW). Ia rela meninggalkan Paulus Tamo Ama (30) suaminya dan Yunita Ina bayi pertamanya yang masih berusia 8 bulan pada isteri kakak iparnya, Margareta Tamo Ina (23) di rumah kontrakan sederhana di Kelurahan Matawai Kecamatan Kota Waingapu.

Meski sudah tujuh bulan berada di penampungan TKW di Jakarta namun Sarigina juga belum diberangkatkan ke Malaysia. "Itu karena Sarigina menderita
penyakit gondok sehingga belum berangkat ke Malaysia tapi masih di tempat penampungan sementara TKW disana (Jakarta, red)," kata Margareta Tamo Ina kepada Timor Express, Senin (12/1) malam kemarin.

Menurut Margareta, bayi mungil Sarigina itu dititipkan padanya untuk dirawat. "Sarigina terpaksa titip Yunita Ina pada saya yang waktu itu masih berumur delapan bulan untuk dirawat. Maklum, kondisi kami juga seperti ini jadi merawat Yunita Ina juga apa adanya. Yunita juga lahirnya di rumah ini. Yunita jarang kami kasih minum susu karena mahal pak," aku pedagang kue di pasar Inpres Kambajawa itu.

Ia mengisahkan, karena kurangnya waktu untuk merawat Yunita dengan kesibukannya sebagai pedagang kue, bayi tersebut sering sakit-sakitan. Yunita akhirnya diboyong ibunya, Magdhalena Muri Kaka (70) ke kampung mereka di Palla-Sumba Barat. Di Palla, kondisi Yunita juga tidak membaik bahkan bertambah parah. Itu karena perawatan juga apa adanya. "Maklum pak namanya juga di kampung, makan-minum tidak teratur. Apa yang dimakan orang besar itu juga yang dimakan anak kecil termasuk Yunita sehingga perutnya semakin hari semakin membesar dan sering muntah-muntah dan mencret. Akhirnya, mama (ibunya, red) kembali membawa Yunita ke Waingapu," ujarnya.

Setibanya di Waingapu sambung Margareta, pada tanggal 27 Desember 2008 lalu, keluarga memutuskan melarikan Yunita ke RSU Imanuel untuk dirawat. Namun Tuhan berhendak lain, setelah sempat menjalani perawatan selama dua hari di rumah sakit tersebut, 29 Desember, Yunita menghadap sang Khalik.

Margareta menjelaskan, mayat bayi tersebut sempat disemayamkan semalam di rumah kontrakannya sebelum dibawa kembali ke Palla-Sumba Barat dan dimakamkan 2 Januari lalu.
Margareta juga mengaku, sebelum sakit, dia tidak pernah membawa Yunita ke Posyandu untuk ditimbang dan mendapat makanan tambahan. "Saya tidak tahu apa itu Posyandu karena anak-anak saya juga tidak pernah saya bawa kesana," tandasnya. Omset yang diraihnya sehari dari berdagang kue?, sekarang paling banyak Rp 50.000. "Kalau dulu sebelum dipindahkan dari pasar Inpres Matawai ke pasar Inpres Kambajawa, sehari bisa masuk uang sebanyak Rp 200.000 sampai Rp 300.000.

Tapi sekarang sangat menurun karena di pasar Inpres Kambajawa kurang sekali pembelinya," tambahnya seraya mengharapkan, Pemkab Sumba Timur bisa mempercepat proyek pembangunan pasar Inpres Matawai sehingga dia bisa kembali berjualan di lokasi tersebut. "Bapaknya Yunita Ina, Paulus Tamo Ama adalah adik dari suami saya, Yulius Lende (33) dan sekarang ada di Palla-Sumba Barat. Dia kerja tani disana. Kalau rumah ini kami kontrak sebesar Rp 1.200.000 per tahun. Tapi bagaimana bisa bayar rumah kalau hasil dari jual kue itu hanya sebanyak itu," tukasnya.***