Rabu, 23 Juni 2010

Anggaran Kehilangan Arah

Kamis, 24 Jun 2010
Oleh: James Adam

Kabinet gotong royong tahap dua kali ini benar-benar diuji lagi kemampuan dan kredibilitas mereka dalam mengelola negara ini. Masih segar dalam ingatan kita ketika SBY pertama kali memimpin, negara ini digoyang dengan bencana Tsunami dan persoalan sosial lainnya yang hampir tak berahir hingga selesai masa jabatan SBY pertama. Ketika masa jabatan kedua, negara ini digonjang lagi dengan gempa bumi di Padang dan Jawa Barat serta persoalan sosial lainnya.

Persoalan politik dan hukum tidak ketinggalan ikut memberikan porsi dalam menguji government power sebut saja kasus Bibit Chandra, Susno Duaji, Gayus, Antasari, dan yang akhir-akhir ini menggelitik kita semua yaitu dana aspirasi yang telah berganti baju menjadi Program Percepatan dan Pemerataan Pembangunan Daerah (P4D) yang diusulkan FPG DPR-RI. Selain itu ada kasus Luna Ariel yang juga ikut menyegarkan suasana politik dan hukum dinegeri ini karena jika sudah pusing pikir politik dan hukum iseng dulu lihat adegan harmonis ini.

Mencermati beberapa pendapat diantaranya Kwik Kian Gie, Fahjtori Rahman, Efendi Simbolon, Iksan Basri, dan ICW juga pendapat beberapa orang FPG DPR-RI tentang dana aspirasi tersebut, saya dan mungkin masyarakat banyak menjadi tambah bingung tentu dengan bertanya apakah regulasi dalam negara ini telah diganti atau telah diamandemen karena kepentingan sehingga legislatif bertindak sebagai ekesekutif. Regulasi dalam negara ini jelas baik dalam sejumlah undang-undang maupun peraturan pemerintah bahwa DPR memiliki hak pengawasan, legislasi dan anggaran. Pasal 15 ayat 2 UU nomor 17/2003; UUD 1945 pasal 23 ayat 1 mengenai keuangan negara benar menjelaskan bahwa DPR boleh mengusulkan, menerima dan mengubah anggaran namun dimaknai hanya untuk anggaran belanja DPR, dan atau anggaran yang diusulkan pemerintah.

Jawaban untuk soal program P4D supaya tidak diperdebatkan lagi adalah para anggota dewan yang terhormat sampaikan saja usulannya kepada konstituennya agar merekalah yang mengusulkan kepada pemerintah mulai dari proses Musrembang tingkat kecamatan hingga diusulkan kepada badan anggaran DPR supaya benar prosedurnya bahwa aspirasi itu datang dari masyarakat.

Lucu memang kalau DPR-RI yang mengusulkan padahal belum tentu masyarakat di daerah setuju ataupun membutuhkan karena aspirasi itu bukan lahir dari rakyat walau untuk rakyat. Sinyaleman beberapa pihak bahwa jangan-jangan nanti dana itu akan menjadi dana rangsangan agar pada pemilu legislatif 2014 para anggota DPR akan dipilih lagi oleh konstituennya. Sebetulnya lewat Musrembang itulah jalan yang terbaik untuk mengakomodir semua kebutuhan rakyat di daerah secara transparan, tersorganisir dan prosedural, tinggal bagaimana anggota DPR dari setiap daerah pemilihan mengawalnya dengan baik agar semua kebutuhan anggaran itu terpenuhi.

Oleh karena itu saya setuju dengan pendapat-pendapat para tokoh di atas. Inilah contoh gaya berorientasi wakil rakyat yang telah dipilih rakyat dengan susah payah tapi malah bikin bingung rakyatnya. Jika FPG punya usul demikian bisa saja diaspirasikan oleh anggota DPR didaerah ketika mengikuti Musrembang, jangan dulu diwacanakan secara nasional apalagi menentukan jumlah 15 milliar per daerah padahal belum tentu kebutuhan setiap daerah sama.

Jadi sebetulnya jangan merubah mekanisme yang berlaku selama ini bahwa usulan dari bawah keatas bukan dari atas kebawah, sebab kalau usulan dari bawah keatas nama Meminta sedangkan kalau usulan dari atas ke bawah nama Perintah. Oleh karenanya rakyat jangan diperintah jika memang mereka tidak butuh ataupun jika mereka butuh tapi jumlahnya tentu tidak Rp 15 milliar bisa lebih bisa kurang. Ironis memang kalau lahirnya ide itu bukan dari eksekutif.

Saya berpendapat bahwa inilah yang disebut dengan anggaran kehilangan arah. Mencermati APBD Kota Kupang Tahun 2009, total pendapatan sebesar Rp 478.427.129.720,02, kontribusi PAD hanya sebesar Rp 36.204.733.167,02 (7,57%). Artinya bahwa Kota Kupang hanya bisa membiayai diri dari dana sendiri hanya sebesar 7,57%, sedangkan 84,48% pendapatan dari dana perimbangan pemerintah pusat dan sisanya 7,95% berasal dari pendapatan lain-lain yang sah. Fenomena ini tidaklah mengejutkan karena APBD NTT juga sejak tahun 2002 tidak bisa membiayai diri sendiri kecuali dengan bantuan pemerintah pusat.

Pertanyaan kita adalah apakah dan sampai kapankah aplikasi otonomi daerah menjadi benar-benar optimal dari aspek anggaran. Jika disimak lebih mendalam bahwa PAD Kota Kupang sebetulnya masih berpeluang untuk ditingkatkan dengan mengoptimalkan sumber-sumber PAD yang ada di Kota Kupang, namun sayang masih banyak instansi pemerintah yang konsumtif ketimbang produktif menghasilkan anggaran untuk mendongkrak PAD.

Sebetulnya Dinas Pemukiman, Bappeda, Badan Pengendalian Lingkungan Hidup, Badan Penanaman Modal Daerah, Badan Penelitian dan Pengembangan, Badan Pendidikan dan Pelatihan Daerah harus menjadi lembaga yang produktif bukan konsumtif saja, tetapi mungkinkah stop keran produktifitas lembaga2 ini belum dibuka sehingga tidak bisa memberikan kontribusi terhadap PAD daerah ini ataukah memang para pemimpinnya tidak kreatif sama sekali karena selalu berpikir kalau ada yang gampang kenapa harus cari yang susah apalagi nanti akan kena mutasi.

Penerimaan daerah dari PAD Kota Kupang terbesar hanyalah dari pajak daerah sebesar Rp 11.977.785.476,00, diikuti oleh pendapatan asli daerah yang sah lainnya sebesar Rp 10.387.019.541,02, sementara pendapatan dari hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan kecil sebab memang Kota Kupang tidak punya kekayaan daerah yang signifikan seperti dari sektor pertanian, perkebunan, pertambangan dan perikanan sehingga hanya mengandalkan sektor jasa, perdagangan dan hotel/restoran.

Penerimaan daerah perkotaan dari pendapatan pajak dan retribusi daerah sebetulnya pilihan kedua dari ketiga sector diatas dalam mendongkrak PAD namun justru di Kota Kupang menjadi sulit karena infrastruktur dan sarana publik pendukung lainnya tidak disediakan oleh pemerintah. Lihat saja contoh yang paling kecil disebutkan penulis opini Timex beberapa hari lalu tentang kamar kecil untuk buang hayat/kencing tidak pernah ada, akhirnya orang buang hayat/kencing sembarangan (orang Kupang bilang hata di tebo) yang akhirnya menimbulkan masalah lain.

Mungkinlah kamar kecil ini bukan menjadi salah satu indikator atau variable yang dinilai dalam pemberian Adipura, ataukah soal kamar kecil perlu menjadi unsur dalam penilaian KGC. Bisa jadi karena penilaian dengan scoring statistic sehingga jika total nilai mencapai standar nilai maka kesimpulannya tentu menjadi Kota yang bersih tanpa interpretasi lagi.

Kembali tentang soal realisasi anggaran daerah seperti halnya di Kota Kupang, sebenarnya pendapatan daerah dari minuman keras (MIRAS) lokalan dapat memberikan sumbangan terhadap PAD daerah ini walaupun bukan soal besar/kecilnya asal Pemkot, DPRD dan unsur Muspida Kota Kupang dapat berpikir selaras dan mengaturnya dengan baik. Sayangnya Sopi Rote tidak mendapat tempat duduk dalam lemari kaca seperti Jim Beam, Jack Daniels, Sivas Regal, Black Label tetapi Sopi Rote masih berdiri saja di lak-lak kecil (rumah daun) di pinggir-pinggir kota. Mengapa Bream dan Arak Bali bisa duduk manis di airport dan toko-toko swalayan sementara Sopi Rote di Kupang hanya ada dalam botol aqua saja.

Menarik apa yang disampaikan Ketua DPRD Kota Kupang dalam dialog TVRI NTT tanggal 21 Juni malam tentang miras, tetapi tentu konsep pengoptimalan miras lokal perlu dijabarkan secara professional oriented. Menurut saya jika kita dapat membuat konsep yang benar dan tepat tentang Miras lokal maka akan memberikan kontribusi terhadap PAD melalui pajak dari kelompok pedagang dan retribusi dari kelompok pengrajin (produsen). Namun tentu kita harus lebih dahulu membuat regulasi barulah menghitung profit oriented bagi produsen dan pedagang serta budget oriented bagi pemerintah.

Jika ada regulasi yang jelas maka saya pikir orang tabrakan atau meninggal akibat Miras akan berkurang, pekerjaan Polisi dan para medis serta pemerintah juga akan berkurang untuk urus orang mabuk termasuk perkelaian antar suku.

Coba kita bayangkan jika suatu saat Sopi Rote bahkan Tuak dan Laru bisa dibeli di toko-toko, swalayan, supermarket, airport, tempat hiburan, hotel dan restoran tentu dengan kemasan dan harga terjangkau serta target market yang jelas.

Mengapa tidak, kita bisa menghasilkan Sopi dengan kadar alcohol 2,5% lebih rendah dari Bir Bintang serta Tuak dan Laru dengan kadar alcohol 1% atau bahkan dibuat tidak berkohol seperti Fanta dan Coca Cola. Lebih menarik lagi jika Sopi, Tuak atau Laru bisa digunakan sebagai Welcome Drink bagi tamu negara menggantikan Red/White Wine yang alcoholnya antara 8-14% yang bukan ciri khas produk lokal. Dengan cara demikian kita dapat meningkatkan pendapatan masyarakat kecil ketimbang mereka dikasih BLT, dan kita bisa mendorong peningkatan pendapatan daerah. Selama ini pendatang hanya bertanya apa makanan khas NTT (Kupang), nah sekarang kita populerkan minuman khas Kupang.

Memang disadari tidaklah gampang untuk mengkombinasi profit oriented dengan budget oriented tetapi kenapa kita tidak memulai tapi hanya menonton saja padahal peluang tersedia apalagi jika kita bisa sampai membuat Kupang Liqueur dengan kemasan dan harga yang menarik. Memang disadari tidaklah merupakan pekerjaan enteng untuk mengkombinasi profit oriented dengan budget oriented tetapi kenapa kita tidak memulai tapi hanya menonton saja padahal peluang tersedia apalagi jika kita bisa sampai membuat Kupang Liqueur dengan kemasan dan harga yang menarik.

Mungkin orang berpikir ini adalah konsep yang aneh atau gila karena Sopi mau dibuat minuman kenegaraan dan mau dijual secara legal, namun orang perlu bertanya apa beda Sopi dengan Anggur Merah/Putih. Masih banyak produk lokal unggul lainnya yang bisa dipopulerkan namun siapa dan bagaimana bisa dipopulerkan? Dinas pertanian, Perindustrian dan Perdagangan serta Pariwisata perlu berinteraksi jangan hanya mengandalkan apa yang sudah ada tetapi harus ciptakan sesuatu perubahan guna meningkatkan pendapatan daerah.

Apakah hal ini juga dapat dikategorikan sebagai anggaran kehilangan arah, silakan dimaknai bersama. Timex yang baru berumur 7 tahun telah membuat sederetan nilai tambah dalam pembangunan daerah ini, akhir-akhir ini yang paling menonjol menurut saya adalah melalui program KGC bersama Pemkot. Sebetulnya tidak tepat kalau Timex yang menjadi motivator KGC karena Timex adalah lembaga yang berorientasi bisnis bukan lembaga pelayanan publik, tetapi itulah satu kepedulian terhadap daerah dan bangsa yang akan berhadapan dengan persoalan alam ke depan.

Lebih pantas jika urusan KGC harus menjadi tugas pokok kaum birokrat, namun apa mau dikata para birokrat belum berorientasi ke sana karena baru urus mangga saja sudah tidak mampu lagi. Sebagus apapun top down order tetapi tidak didukung oleh bottom line reaction akan menjadi sia-sia.

Mungkinkah Kota Kupang menjadi Sister City Kota Tyaanarlo, memang sekilas beda antara langit dan bumi tetapi mungkin saja bisa yang penting Pemkot dan semua jajarannya harus berbenah diri. Benarkah KGC juga memberikan kontribusi perolehan Adipura bagi Pemkot Kupang, apakah KGC akan berlangsung terus menerus atau hanya sampai garis finish Duo Dan saja. “Selamat Panjang Umur buat Pimpinan dan seluruh Karyawan Timex”.