Sabtu, 05 Juni 2010

44.977 Guru di NTT Tak Berkualitas

Jumat, 21 May 2010
Pemprov Anggarkan Rp 1 M
KUPANG, Timex- Rendahnya mutu pendidikan dan angka kelulusan siswa di NTT membuat hampir seluruh fraksi di DPRD NTT menyampaikan kritikan kepada pemerintah. Salah satunya terkait kualifikasi guru di NTT.
Ternyata, baru terungkap 77 persen guru di NTT belum layak menjadi guru karena tidak memenuhi standar pendidikan.

Gubernur NTT Frans Lebu Raya dalam menanggapi pemandangan umum fraksi-fraksi dalam Rapat Paripurna, Senin (17/5) lalu, menyebutkan di NTT terdapat 26.972 guru yang berijazah setara SMA dan 44.977 guru yang belum memenuhi syarat. Selain itu, Gubernur juga membeberkan data bahwa kualifikasi pendidik dari semua jenjang pendidikan guru yang berjumlah 51.506 orang yang memiliki ijazah D4/S1 berjumlah 10.111 orang atau 19,63 persen dan guru yang belum berijazah D4/S1 berjumlah 41.395 orang atau 80,37 persen.


Terkait hal ini, kata Lebu Raya, Pemprov NTT telah berkoordinasi dengan pemerintah kabupaten/kota. Selain itu, menurutnya, tahun 2010 ini, Pemprov NTT telah mengalokasikan anggaran sebanyak Rp 1.000.000.000, dengan rincian setiap guru mendapat dana Rp 2.000.000, per tahun untuk kualifikasi pendidikan guru.


Selain itu, dijelaskan, sebanyak 77,25 persen guru SD di NTT juga tidak layak menjadi guru karena pendidikannya tidak memenuhi persyaratan, tidak menguasai ilmu secara baik, kemampuan penguasaan mata pelajaran Matematika yang rendah. "Melalui koordinasi dengan pemerintah kabupaten/kota akan terus dilaksanakan pelatihan peningkatan mutu guru mata pelajaran pada umumnya dan Matematika pada khususnya," tandas Lebu Raya.


Hampir semua fraksi mempertanyakan penyebab rendahnya angka kelulusan di NTT, terutama tingkat SLTA. Menjawab itu, Gubernur menyebutkan sejumlah hal, yakni belum adanya program yang sinergis sehingga tidak efektifnya kelompok Musyawarah Guru Mata Pelajaran (MGMP), KKG, dan MKKS yang ada di Kabupaten/Kota. Menurutnya, wadah atau organisasi tersebut merupakan wadah untuk tempat guru-guru berkumpul melakukan diskusi atau sharing pendapat terhadap hal-hal yang belum mampu dipecahkan dalam kegiatan belajar mengajar sebagai solusi terbaik dalam rangka meningkatkan mutu guru dan mutu pendidikan. Selain itu, katanya sarana dan prasarana pendidikan belum memadai, belum optimalnya pelaksanaan otonomisasi sekolah yang berkaitan dengan School Basic Management atau Manajemen Berbasis Sekolah, banyak intervensi politik seperti input (penerimaan siswa baru), pengangkatan kepala sekolah dan pengawas yang tidak sesuai aturan, serta tidak dilakukan analisis penempatan guru sesuai kebutuhan sekolah, sehingga terjadi banyak penumpukan guru-guru pada sekolah-sekolah tertentu.


Faktor lain yang turut mempengaruhi kelulusan siswa adalah belum optimalnya dukungan orangtua terhadap bimbingan belajar anak di rumah, belum optimalnya dukungan masyarakat untuk menciptakan lingkungan belajar yang lebih kondusif bagi kemajuan pendidikan anak, pemberian Kesra berupa sertifikasi belum merata karena dibatasi oleh kuota dan aturan-aturan sehingga terjadi kecemburuan di lapangan, adanya aturan yang memungkinkan siswa untuk ikut ujian ulang dan paket sehingga merasa lengah untuk menuntaskan belajarnya pada ujian nasional yang pertama. (sam)