Tantangan dan Harapan Diverfifikasi Pangan di NTT
KUPANG, Timex- Pembangunan ketahanan pangan di Provinsi NTT, hingga kini masih terus dihadapkan berbagai permasalahan dan tantangan, seperti pertambahan penduduk, makin terbatasnya sumberdaya alam, kondisi lahan yang... didominasi lahan kering, terbatasnya prasarana dan sarana usaha di bidang pangan, serta besarnya proporsi penduduk miskin, hingga rawan pangan terus membayangi sebagian rumah tangga, terutama rumah tangga miskin yang tidak punya kemampuan mengakses pangan secara cukup.
Menjawab berbagai permasalahan dan tantangan tersebut, Pemerintah telah dan terus melakukan berbagai upaya. Melalui wadah Dewan Ketahanan Pangan, dirumuskan berbagai upaya/kebijakan pemantapan ketahanan oleh semua sektor terkait. Namun, berbagai upaya itu belum membuahkan hasil maksimal, dan perlu terus dikembangkan serta sempurnakan.
Hal ini diungkapkan Wakil Gubernur NTT, Ir, Esthon Foenay, MSi, saat ditemui Timor Expres belum lama ini. Menurut Esthon, ketahanan pangan di NTT pada prinsipnya bisa dioptimalkan, walaupun NTT dengan kondisi dominasi lahan kering. Masyarakat NTT, kata Esthon, sejak dulu punya strategi ketahanan pangan di masing-masing rumah tangga mereka. Hal ini bisa dibuktikan, di halaman rumah warga banyak terdapat lopo yang digunakan sebagai lumbung pangan/tempat penyimpanan pangan, seperti jagung, ubi dan pisang.
Lebih lanjut Wagub Esthon mengatakan, dibalik permasalahan dan tantangan yang ada, terdapat sejumlah peluang dan harapan, dimana wilayah NTT kaya akan anekaragam potensi pangan lokal, serta budaya dan pola pangan yang dapat dikembangkan dan dimanfaatkan. Kata kuncinya adalah "diversifikasi pangan", baik dari sisi ketersediaan maupun dari sisi konsumsi, walau disadari, bahwa melakukan diversifikasi pangan bukanlah hal mudah.
Untuk terwujudnya diversifikasi, diperlukan kepedulian dan perhatian serius, serta keterlibatan seluruh komponen yang ada, baik pemerintah maupun masyarakat. Dalam hal ini pemerintah berperan melakukan pengaturan, fasilitasi dan pembinaan, sedangkan masyarakat berperan dalam penyelenggaraannya.
Dari aspek ketersediaan, lanjut Esthon, diversifikasi pangan di NTT dikembangkan melalui optimalisasi pemanfaatan lahan, dimana sebidang tanah/sawah, selain dimanfaatkan untuk budidaya aneka jenis tanaman (dikenal dengan nama tumpang sari), serta pemeliharaan ternak atau ikan.
Sedangkan dari aspek konsumsi, yang akan dilakukan Pemda saat ini adalah berupaya mengubah cara pandang masyarakat, agar bisa mengkonsumsi pangan lokal/bahan makanan lain, sebagai pengganti nasi/beras/terigu. Menurutnya, strategi ini harus mampu "diteladankan" figur pimpinan, tokoh masyarakat dan tokoh adat. Pangan lokal harus menjadi unggulan dan bergengsi, serta dikonsumsi dimana saja (di rumah, di kantor atau di tempat pesta), kapan saja dan oleh siapa saja.
Untuk mendukung itu, diharapkan lembaga pendidikan memasukkan masalah ketahanan pangan, khususnya pangan lokal, dalam kurikulum sebagai muatan lokal. Dengan demikian, untuk terwujudnya ketahanan pangan dan gizi di NTT, konsistensi pelaksanaan diversifikasi melalui pengembangan dan konsumsi pangan lokal, adalah suatu hal yang mutlak terus dilakukan.
Tentang diversifikasi pangan di Provinsi NTT, Prof. Alo Liliweri yang juga sebagai anggota pokja Ahli Dewan Ketahanan Pangan Nasional berpendapat, secara umum, masyarakat NTT sudah melakukan diversifikasi pangan.
Masyarakat kita tidak perlu lagi diajari, soal bagaimana memanfaatkan sebidang lahan untuk pengembangan beragam pangan. Hanya saja, ujarnya, apakah kultur itu juga sudah berimbas pada konsumsi? Jawabnya belum, karena kebanyakan masyarakat saat ini beranggapan "beras adalah segalanya". Padahal, beras merupakan komoditas politik, begitu ketersediaan beras mengalami gangguan, maka akan berkembang wacana masyarakat kelaparan.
Padahal, sebetulnya pangan pengganti beras masih banyak, misalnya jagung, ketela, pisang, umbi-umbian dan kacang-kacangan. Senada dengan itu, Kadis Kesehatan, dr. Stef Bria Seran juga berpendapat, diversifikasi pangan sangat penting dan harus bisa segera diwujudkan, karena melalui diversifikasi pangan, kebutuhan zat-zat gizi untuk seseorang dapat hidup sehat dan produktif, dapat terpenuhi.
Hal ini penting, karena secara alamiah, tidak ada satu jenis pangan pun yang mengandung semua zat gizi, yang diperlukan seseorang untuk hidup sehat, tumbuh/berkembang dan produktif. Lebih jauh dr. Stef menjelaskan, dari sisi kesehatan, ada empat hal yang mesti dipatuhi, guna mencapai pola pangan yang sesuai. Pertama, masyarakat harus bisa memenuhi kebutuhannya akan zat-zat gizi karbohidrat, protein, lemak, vitamin dan mineral.
Karbohidrat, katanya, tidak saja bersumber dari beras atau nasi, tapi juga dari jagung, ubi, pisang dan kacang-kacangan. Kedua, masalah gizi akan terpengaruh bila ketersediaan pangan/makanan dalam rumah tangga, kurang atau bahkan tidak terpenuhi. Ketiga, makanan harus diolah secara baik dan benar dan didistribusikan kepada seluruh anggota keluarga sesuai kebutuhan dan porsinya.
Dan yang keempat, kondisi kesehatan masyarakat harus terjamin agar pangan/makanan yang dikonsumsi dapat bermanfaat. Artinya, bila tubuh sehat, maka zat-zat gizi yang terkandung dalam makanan yang dikonsumsi akan diabsorbsi dan bermanfaat untuk tubuh, baik untuk pertumbuhan maupun untuk aktivitas fisik.
Dalam konteks NTT dengan keanekaragaman pangan lokal yang dimilikinya, mewujudkan ketahanan pangan bukanlah hanya merupakan sebuah mimpi atau harapan belaka, tetapi dapat menjadi kenyataan. Harapan itu akan menjadi nyata, bila semua komponen daerah ini satu hati, satu pikiran, satu suara dan satu tindak untuk menjadikan pangan lokal sebagai pangan unggulan, pangan bergengsi dan pangan favorit.
Pikiran ini memberi dukungan terhadap ajakan gubernur, untuk mempercepat gerakan diversifikasi pangan melalui :
1. Wajib mengkonsumsi pangan lokal minimal satu hari dalam seminggu, (misalnya hari Kamis. Kenapa hari Kamis? untuk menyatukan langkah kita, karena pada saat yang sama, para pegawai menggunakan seragam tenun ikat khas NTT).
2. Sosialisasi yang konsisten dan terus menerus, dengan mengajak seluruh pejabat pemerintah dan swasta, menjadi sponsor utama konsumsi pangan lokal khususnya pada setiap acara formal institusinya.
Menyiapkan souvenir/cindera mata dalam kemasan yang menarik dari bahan pangan khas NTT. Menugaskan Badan Bimas Ketahanan Pangan Provinsi NTT, untuk terus menggalang semua pihak guna mempercepat gerakan diversivikasi pangan.
3. Promosi aneka jenis dan produk pangan lokal melalui pameran, baik pada tingkat kabupaten/kota, provinsi dan nasional.
4. Pengembangan teknologi pengolahan pangan.
5. Uji kandungan gizi pangan lokal. Masalah diversifikasi pangan selanjutnya akan dibahas lebih rinci pada edisi-edisi berikutnya. (mg-1/rsy)
Menjawab berbagai permasalahan dan tantangan tersebut, Pemerintah telah dan terus melakukan berbagai upaya. Melalui wadah Dewan Ketahanan Pangan, dirumuskan berbagai upaya/kebijakan pemantapan ketahanan oleh semua sektor terkait. Namun, berbagai upaya itu belum membuahkan hasil maksimal, dan perlu terus dikembangkan serta sempurnakan.
Hal ini diungkapkan Wakil Gubernur NTT, Ir, Esthon Foenay, MSi, saat ditemui Timor Expres belum lama ini. Menurut Esthon, ketahanan pangan di NTT pada prinsipnya bisa dioptimalkan, walaupun NTT dengan kondisi dominasi lahan kering. Masyarakat NTT, kata Esthon, sejak dulu punya strategi ketahanan pangan di masing-masing rumah tangga mereka. Hal ini bisa dibuktikan, di halaman rumah warga banyak terdapat lopo yang digunakan sebagai lumbung pangan/tempat penyimpanan pangan, seperti jagung, ubi dan pisang.
Lebih lanjut Wagub Esthon mengatakan, dibalik permasalahan dan tantangan yang ada, terdapat sejumlah peluang dan harapan, dimana wilayah NTT kaya akan anekaragam potensi pangan lokal, serta budaya dan pola pangan yang dapat dikembangkan dan dimanfaatkan. Kata kuncinya adalah "diversifikasi pangan", baik dari sisi ketersediaan maupun dari sisi konsumsi, walau disadari, bahwa melakukan diversifikasi pangan bukanlah hal mudah.
Untuk terwujudnya diversifikasi, diperlukan kepedulian dan perhatian serius, serta keterlibatan seluruh komponen yang ada, baik pemerintah maupun masyarakat. Dalam hal ini pemerintah berperan melakukan pengaturan, fasilitasi dan pembinaan, sedangkan masyarakat berperan dalam penyelenggaraannya.
Dari aspek ketersediaan, lanjut Esthon, diversifikasi pangan di NTT dikembangkan melalui optimalisasi pemanfaatan lahan, dimana sebidang tanah/sawah, selain dimanfaatkan untuk budidaya aneka jenis tanaman (dikenal dengan nama tumpang sari), serta pemeliharaan ternak atau ikan.
Sedangkan dari aspek konsumsi, yang akan dilakukan Pemda saat ini adalah berupaya mengubah cara pandang masyarakat, agar bisa mengkonsumsi pangan lokal/bahan makanan lain, sebagai pengganti nasi/beras/terigu. Menurutnya, strategi ini harus mampu "diteladankan" figur pimpinan, tokoh masyarakat dan tokoh adat. Pangan lokal harus menjadi unggulan dan bergengsi, serta dikonsumsi dimana saja (di rumah, di kantor atau di tempat pesta), kapan saja dan oleh siapa saja.
Untuk mendukung itu, diharapkan lembaga pendidikan memasukkan masalah ketahanan pangan, khususnya pangan lokal, dalam kurikulum sebagai muatan lokal. Dengan demikian, untuk terwujudnya ketahanan pangan dan gizi di NTT, konsistensi pelaksanaan diversifikasi melalui pengembangan dan konsumsi pangan lokal, adalah suatu hal yang mutlak terus dilakukan.
Tentang diversifikasi pangan di Provinsi NTT, Prof. Alo Liliweri yang juga sebagai anggota pokja Ahli Dewan Ketahanan Pangan Nasional berpendapat, secara umum, masyarakat NTT sudah melakukan diversifikasi pangan.
Masyarakat kita tidak perlu lagi diajari, soal bagaimana memanfaatkan sebidang lahan untuk pengembangan beragam pangan. Hanya saja, ujarnya, apakah kultur itu juga sudah berimbas pada konsumsi? Jawabnya belum, karena kebanyakan masyarakat saat ini beranggapan "beras adalah segalanya". Padahal, beras merupakan komoditas politik, begitu ketersediaan beras mengalami gangguan, maka akan berkembang wacana masyarakat kelaparan.
Padahal, sebetulnya pangan pengganti beras masih banyak, misalnya jagung, ketela, pisang, umbi-umbian dan kacang-kacangan. Senada dengan itu, Kadis Kesehatan, dr. Stef Bria Seran juga berpendapat, diversifikasi pangan sangat penting dan harus bisa segera diwujudkan, karena melalui diversifikasi pangan, kebutuhan zat-zat gizi untuk seseorang dapat hidup sehat dan produktif, dapat terpenuhi.
Hal ini penting, karena secara alamiah, tidak ada satu jenis pangan pun yang mengandung semua zat gizi, yang diperlukan seseorang untuk hidup sehat, tumbuh/berkembang dan produktif. Lebih jauh dr. Stef menjelaskan, dari sisi kesehatan, ada empat hal yang mesti dipatuhi, guna mencapai pola pangan yang sesuai. Pertama, masyarakat harus bisa memenuhi kebutuhannya akan zat-zat gizi karbohidrat, protein, lemak, vitamin dan mineral.
Karbohidrat, katanya, tidak saja bersumber dari beras atau nasi, tapi juga dari jagung, ubi, pisang dan kacang-kacangan. Kedua, masalah gizi akan terpengaruh bila ketersediaan pangan/makanan dalam rumah tangga, kurang atau bahkan tidak terpenuhi. Ketiga, makanan harus diolah secara baik dan benar dan didistribusikan kepada seluruh anggota keluarga sesuai kebutuhan dan porsinya.
Dan yang keempat, kondisi kesehatan masyarakat harus terjamin agar pangan/makanan yang dikonsumsi dapat bermanfaat. Artinya, bila tubuh sehat, maka zat-zat gizi yang terkandung dalam makanan yang dikonsumsi akan diabsorbsi dan bermanfaat untuk tubuh, baik untuk pertumbuhan maupun untuk aktivitas fisik.
Dalam konteks NTT dengan keanekaragaman pangan lokal yang dimilikinya, mewujudkan ketahanan pangan bukanlah hanya merupakan sebuah mimpi atau harapan belaka, tetapi dapat menjadi kenyataan. Harapan itu akan menjadi nyata, bila semua komponen daerah ini satu hati, satu pikiran, satu suara dan satu tindak untuk menjadikan pangan lokal sebagai pangan unggulan, pangan bergengsi dan pangan favorit.
Pikiran ini memberi dukungan terhadap ajakan gubernur, untuk mempercepat gerakan diversifikasi pangan melalui :
1. Wajib mengkonsumsi pangan lokal minimal satu hari dalam seminggu, (misalnya hari Kamis. Kenapa hari Kamis? untuk menyatukan langkah kita, karena pada saat yang sama, para pegawai menggunakan seragam tenun ikat khas NTT).
2. Sosialisasi yang konsisten dan terus menerus, dengan mengajak seluruh pejabat pemerintah dan swasta, menjadi sponsor utama konsumsi pangan lokal khususnya pada setiap acara formal institusinya.
Menyiapkan souvenir/cindera mata dalam kemasan yang menarik dari bahan pangan khas NTT. Menugaskan Badan Bimas Ketahanan Pangan Provinsi NTT, untuk terus menggalang semua pihak guna mempercepat gerakan diversivikasi pangan.
3. Promosi aneka jenis dan produk pangan lokal melalui pameran, baik pada tingkat kabupaten/kota, provinsi dan nasional.
4. Pengembangan teknologi pengolahan pangan.
5. Uji kandungan gizi pangan lokal. Masalah diversifikasi pangan selanjutnya akan dibahas lebih rinci pada edisi-edisi berikutnya. (mg-1/rsy)