Kamis, 24 Juni 2010
MAUMERE, POS KUPANG.Com -- Sebanyak 23 orang penjual moke di Pasar Alok-Maumere menemui wakilnya di DPRD Sikka, Selasa (22/6/2010). Mereka keberatan dengan tindakan Polres Sikka menyita moke di Pasar Alok, Senin (21/6/2010) dan meminta dukungan Dewan mempertahankan mata pencaharian mereka sebagai penjual moke.
Permintaan itu disampaikan Firmus Wilibrodus, Serfim Lipus, dan Petrus Quante dalam dialog dengan Komisi A DPRD Sikka, kemarin siang. Menurut mereka, operasi yang dilakukan polisi akan mengurangi penghasilan mereka dari moke (minuman keras buatan lokal, Red).
Menjual moke merupakan pekerjaan mereka sejak lama. Dari Penghasilan dari jual moke itulah yang menyokong ekonomi keluarga. "Anak-anak bisa menyelesaikan pendidikan sampai ke perguruan tinggi dibiayai dari penjualan moke," kata Serfim.
Jika polisi melakukan penertiban bisa mengancam penghasilan mereka.
Petrus Quante mengaku bingung dengan operasi yang dilakukan jajaran Polres Sikka. Dia keberatan dengan operasi tersebut dan minta DPRD memperjuangkan nasib mereka. Konkritnya mereka tetap berjualan moke di pasar.
Menanggapi keluhan penjual moke tersebut, anggota DPRD Sikka, Ambros Dan menyarankan polisi menangkap peminum moke di jalan raya. Setelah minum dan mabuk, mereka biasanya memecahkan botol dan membuangnya ke tengah jalan yang mencelakakan orang lain. Pemabuk moke juga kerap melakukan tindakan kriminal.
Di Kota Maumere dan sekitarnya, minum moke di jalan raya menjadi trend baru di kalangan anak muda. Mereka berkumpul, bakar ikan, ubi atau makan mangga muda sambil minum moke. "Setelah minum, buat onar. Bakupukul, ada yang perkosa anak-anak. Banyak tindakan kriminal dibuat setelah mabuk moke. Kita ikuti banyak kejadian di media cetak, pelakunya mabuk lalu bikin tindak kejahatan," ujar Ambros.
Diakuinya, minum moke merupakan budaya orang Sikka warisan nenek moyang. Setiap ada acara syukuran atau kematian, masyarakat pasti menyedikan moke. Tetapi setelah minum moke mereka tidak membuat kekacauan yang mengganggu orang lain.
"Itu minuman budaya, tidak bisa dilarang dan dihilangkan. Fatal hilangkan budaya orang. Yang perlu diatur mekanismenya mulai dari produsen, distribusi hingga konsumennya. Justru dengan pengaturan yang bagus memberi nilai tambah kepada produsen," tandas Ambros.
Restoran menyediakan minuman tak bisa disalahkan. "Yang minum itu tak tahu diri. Pulang dari restoran bikin kejahatan dan merugikan orang lain," tandas Ambros lagi.
Ketua Komisi A DPRD Sikka, Weli Pega, mendukung razia moke dan jenis miras lainnya oleh polisi. Tapi jangan penjual yang disalahkan. Pemerintah perlu mengatur mekanismenya mulai dari pembuat moke, penjual dan distribusi moke.
"Regulasi mengatur dari pemasak, penjual dan distributor. Saya percaya, polisi punya dasar melaksanakan tugasnya. Tetapi polisi jangan main hakim sendiri," kata Weli. Dia menyarankan langkah konkrit, sehingga kesalahan tidak ditimpakan kepada pihak tertentu. Weli setuju distributor perlu diatur dalam perda (peraturan daerah).
Kapolres Sikka, AKBP Drs. Agus Suryatno menegaskan, razia dilakukan polisi untuk mengurangi peredaran moke, bukan melarang penjualan moke di Sikka. "Masa anak SMP minum moke di jalan lalu buat onar. Ke depan ini kita akan tertibkan. Perlu diatur, sehingga penjual moke tidak ditujukan kepada anak-anak. Kalau dikemas bagus dan ada retribusinya tentu pembelinya hanya dari kelompok menengah ke atas. Polisi akan tertibkan rutin. Jika ada yang melanggar, kita jerat dengan pasal tindak pidana ringan," tandas Agus.
Seperti diberitakan (FloresStar, 22 Juni 2010), aparat Polres Sikka yang melakukan operasi penyakit masyarakat (pekat) merazia penjual moke di Pasar Alok dan sejumlah kios, Senin (21/6/2010). Kedatangan polisi ke pasar dalam operasi pekat sempat menimbulkan protes dari penjual. Mereka keberatan moke disita dan dibawa kantor polisi.
Kasat Reskrim Polres Sikka, AKP Drs. Samuel Simbolon yang memimpin operasi ini menyita puluhan liter moke untuk dijadikan barang bukti dan sampel pemeriksaan di laboratorium.
Permintaan itu disampaikan Firmus Wilibrodus, Serfim Lipus, dan Petrus Quante dalam dialog dengan Komisi A DPRD Sikka, kemarin siang. Menurut mereka, operasi yang dilakukan polisi akan mengurangi penghasilan mereka dari moke (minuman keras buatan lokal, Red).
Menjual moke merupakan pekerjaan mereka sejak lama. Dari Penghasilan dari jual moke itulah yang menyokong ekonomi keluarga. "Anak-anak bisa menyelesaikan pendidikan sampai ke perguruan tinggi dibiayai dari penjualan moke," kata Serfim.
Jika polisi melakukan penertiban bisa mengancam penghasilan mereka.
Petrus Quante mengaku bingung dengan operasi yang dilakukan jajaran Polres Sikka. Dia keberatan dengan operasi tersebut dan minta DPRD memperjuangkan nasib mereka. Konkritnya mereka tetap berjualan moke di pasar.
Menanggapi keluhan penjual moke tersebut, anggota DPRD Sikka, Ambros Dan menyarankan polisi menangkap peminum moke di jalan raya. Setelah minum dan mabuk, mereka biasanya memecahkan botol dan membuangnya ke tengah jalan yang mencelakakan orang lain. Pemabuk moke juga kerap melakukan tindakan kriminal.
Di Kota Maumere dan sekitarnya, minum moke di jalan raya menjadi trend baru di kalangan anak muda. Mereka berkumpul, bakar ikan, ubi atau makan mangga muda sambil minum moke. "Setelah minum, buat onar. Bakupukul, ada yang perkosa anak-anak. Banyak tindakan kriminal dibuat setelah mabuk moke. Kita ikuti banyak kejadian di media cetak, pelakunya mabuk lalu bikin tindak kejahatan," ujar Ambros.
Diakuinya, minum moke merupakan budaya orang Sikka warisan nenek moyang. Setiap ada acara syukuran atau kematian, masyarakat pasti menyedikan moke. Tetapi setelah minum moke mereka tidak membuat kekacauan yang mengganggu orang lain.
"Itu minuman budaya, tidak bisa dilarang dan dihilangkan. Fatal hilangkan budaya orang. Yang perlu diatur mekanismenya mulai dari produsen, distribusi hingga konsumennya. Justru dengan pengaturan yang bagus memberi nilai tambah kepada produsen," tandas Ambros.
Restoran menyediakan minuman tak bisa disalahkan. "Yang minum itu tak tahu diri. Pulang dari restoran bikin kejahatan dan merugikan orang lain," tandas Ambros lagi.
Ketua Komisi A DPRD Sikka, Weli Pega, mendukung razia moke dan jenis miras lainnya oleh polisi. Tapi jangan penjual yang disalahkan. Pemerintah perlu mengatur mekanismenya mulai dari pembuat moke, penjual dan distribusi moke.
"Regulasi mengatur dari pemasak, penjual dan distributor. Saya percaya, polisi punya dasar melaksanakan tugasnya. Tetapi polisi jangan main hakim sendiri," kata Weli. Dia menyarankan langkah konkrit, sehingga kesalahan tidak ditimpakan kepada pihak tertentu. Weli setuju distributor perlu diatur dalam perda (peraturan daerah).
Kapolres Sikka, AKBP Drs. Agus Suryatno menegaskan, razia dilakukan polisi untuk mengurangi peredaran moke, bukan melarang penjualan moke di Sikka. "Masa anak SMP minum moke di jalan lalu buat onar. Ke depan ini kita akan tertibkan. Perlu diatur, sehingga penjual moke tidak ditujukan kepada anak-anak. Kalau dikemas bagus dan ada retribusinya tentu pembelinya hanya dari kelompok menengah ke atas. Polisi akan tertibkan rutin. Jika ada yang melanggar, kita jerat dengan pasal tindak pidana ringan," tandas Agus.
Seperti diberitakan (FloresStar, 22 Juni 2010), aparat Polres Sikka yang melakukan operasi penyakit masyarakat (pekat) merazia penjual moke di Pasar Alok dan sejumlah kios, Senin (21/6/2010). Kedatangan polisi ke pasar dalam operasi pekat sempat menimbulkan protes dari penjual. Mereka keberatan moke disita dan dibawa kantor polisi.
Kasat Reskrim Polres Sikka, AKP Drs. Samuel Simbolon yang memimpin operasi ini menyita puluhan liter moke untuk dijadikan barang bukti dan sampel pemeriksaan di laboratorium.
Selain di Pasar Alok, kios di sepanjang jalan Maumere- Magepanda, tak luput dirazia polisi. Di Kampung Wuring, polisi memeriksa kios moke dan mengamankan 10 liter minuman keras buatan petani di Sikka tersebut. Kios tersebut jadi langganan minum para buruh sehabis kerja. (ris)