Kampungku Oleh Marten Lau
Sabtu, 15 Mei 2010
MASYARAKAT tradisional di NTT tidak akan mati kelaparan menghadapi masa-masa sulit seperti gagal panen karena serangan hama/penyakit, atau akibat bencana alam lainnya.
Mengapa? Sebab, setiap daerah kaya akan bahan makanan cadangan non makanan pokok (jagung, padi dan kacangan- kacangan). Makanan cadangan yang dimaksud adalah yang tidak ditanam di kebun atau sawah, tetapi tersedia atau bertumbuh subur, atau tumbuh liar di hutan-hutan. Namun dijamin bisa jadi penopang makanan alternatif yang tahan lama di saat musim kelaparan. Banya daun-daunan hingga umbi-umbian di hutan dapat diolah menjadi bahan makanan alternatif yang sudah pasti berguna untuk tubuh.
Salah satu makanan alternatif yang dikenal masyarakat Belu adalah maek. Maek adalah salah satu jenis ubi hutan. Jenis ubi ini biasa menjadi penyelamat masyarakat di pelosok-pelosok desa saat tertimpa kelaparan akibat gagal panen atau akibat bencana alam.
Masyarakat Belu baru dikatakan kesulitan makanan/pangan, atau disebut lapar/kelaparan, bila mereka telah mengonsumsi tiga jenis makanan dari hutan itu yakni ubi maek, akar (sagu yang terbuat dari serbuk batang pohon gewang/tali), dan haan fuik dan kaleik (dua jenis kacang hutan).
Jika tiga jenis makanan dari hutan itu salah satunya belum dihimpun di rumah penduduk desa untuk dikelola menjadi bahan makanan alternatif, maka bisa dikategorikan masyarakat desa yang bersangkutan belum mengalami kesulitan atau kelaparan sampai ke tingkat yang paling parah.
Artinya, meskipun gagal panen padi ladang/sawah dan jagung, tetapi mereka masih mempunyai pangan cadangan yang stoknya sangat cukup di kebun masing-masing berupa kacang-kacangan, ubi kayu, ubi jalar, talas, pisang, dan kelapa.
Atau kesulitan makanan masih bisa diatasi dengan menjual ternak besar seperti sapi, kerbau, kambing dan babi, serta ternak kecil lainnya berupa unggas.
Ubi maek, atau sering disebut dengan bunga bangkai, sesungguhnya adalah jenis ubi hutan yang mirip pohon bunga raflesia. Jenis ubi yang satu ini dapat tumbuh subur di mana saja, baik di dataran tinggi maupun dataran rendah. Ciri-ciri khususnya yakni memiliki batang tunggal yang lunak dengan tinggi rata-rata 100 centimeter (cm) sampai 200 cm, memiliki daun dan tangkai daun saling bersambungan berbentuk bundar.
Ukuran umbinya cukup besar, berbentuk bundar, dengan diameter sekitar 25 cm sampai 60 cm.
Tanaman ini memiliki umbi berserat, dan gatal rasanya bila tersentuh kulit tubuh, apalagi lidah manusia. Karena itu disebut maek, artinya ubi hutan yang gatal. Jenis ubi hutan yang gatal atau maek itu baru bisa dipanen atau dikelola menjadi bahan makanan ketika batang dan daunnya mulai menguning.
Bila batang dan daunnya masih kelihatan hijau, itu tanda umbinya belum matang/tua untuk dipanen.
Makanan babi hutan
Maek sebenarnya merupakan makanan kera/monyet dan babi hutan, atau makanan binatang liar. Namun sejak dahulu kala, umbi hutan yang isinya sangat padat itu dikelola nenek moyang orang Belu menjadi bahan makanan yang enak dikonsumsi.
Entah pengetahuan semacam apa yang mereka miliki, tetapi warisan itu kini tetap dipegang masyarakat Belu di pelosok desa.
Misalnya di desa-desa seperti Naekasa, Tukuneno, Naitimu, Silawan, Kecamatan Tasifeto Barat, Kecamatan Rinhat dan sekitarnya. Masyarakat setempat tidak gentar menghadapi musim kelaparan, karena ada harapan stok ubi hutan masih tersedia di hutan seperti maek.
Cara pengelolaan maek memang rumit. Gatalnya sangat mengerikan bila tersentuh kulit tubuh. Tetapi masyarakat setempat mahir mengerjakannya. Berawal dari panen, yakni ubi maek yang telah tua digali dan dikupas kulit luarnya dengan pisau atau parang. Selanjutnya, diiris tipis 0,5 cm sampai 1 cm, lalu dikeringkan di sinar matahari sekitar 3 - 7 hari hingga menjadi garing.
Umbi maek yang telah garing itu ditumbuk dalam lesung hingga hancur. Setelah itu ditapis dengan nyiru hingga menghasilkan tepung maek paling halus. Tepung maek tersebut dibasahi dengan air panas matang, kemudian dicampur dengan air asam. Adonan tersebut diaduk dan diganti airnya sampai hilang rasa gatalnya. Selanjutnya adonan maek dikukus hingga matang, dan siap dihidangkan untuk dimakan.*
Sumber : Pos Kupang
Mengapa? Sebab, setiap daerah kaya akan bahan makanan cadangan non makanan pokok (jagung, padi dan kacangan- kacangan). Makanan cadangan yang dimaksud adalah yang tidak ditanam di kebun atau sawah, tetapi tersedia atau bertumbuh subur, atau tumbuh liar di hutan-hutan. Namun dijamin bisa jadi penopang makanan alternatif yang tahan lama di saat musim kelaparan. Banya daun-daunan hingga umbi-umbian di hutan dapat diolah menjadi bahan makanan alternatif yang sudah pasti berguna untuk tubuh.
Salah satu makanan alternatif yang dikenal masyarakat Belu adalah maek. Maek adalah salah satu jenis ubi hutan. Jenis ubi ini biasa menjadi penyelamat masyarakat di pelosok-pelosok desa saat tertimpa kelaparan akibat gagal panen atau akibat bencana alam.
Masyarakat Belu baru dikatakan kesulitan makanan/pangan, atau disebut lapar/kelaparan, bila mereka telah mengonsumsi tiga jenis makanan dari hutan itu yakni ubi maek, akar (sagu yang terbuat dari serbuk batang pohon gewang/tali), dan haan fuik dan kaleik (dua jenis kacang hutan).
Jika tiga jenis makanan dari hutan itu salah satunya belum dihimpun di rumah penduduk desa untuk dikelola menjadi bahan makanan alternatif, maka bisa dikategorikan masyarakat desa yang bersangkutan belum mengalami kesulitan atau kelaparan sampai ke tingkat yang paling parah.
Artinya, meskipun gagal panen padi ladang/sawah dan jagung, tetapi mereka masih mempunyai pangan cadangan yang stoknya sangat cukup di kebun masing-masing berupa kacang-kacangan, ubi kayu, ubi jalar, talas, pisang, dan kelapa.
Atau kesulitan makanan masih bisa diatasi dengan menjual ternak besar seperti sapi, kerbau, kambing dan babi, serta ternak kecil lainnya berupa unggas.
Ubi maek, atau sering disebut dengan bunga bangkai, sesungguhnya adalah jenis ubi hutan yang mirip pohon bunga raflesia. Jenis ubi yang satu ini dapat tumbuh subur di mana saja, baik di dataran tinggi maupun dataran rendah. Ciri-ciri khususnya yakni memiliki batang tunggal yang lunak dengan tinggi rata-rata 100 centimeter (cm) sampai 200 cm, memiliki daun dan tangkai daun saling bersambungan berbentuk bundar.
Ukuran umbinya cukup besar, berbentuk bundar, dengan diameter sekitar 25 cm sampai 60 cm.
Tanaman ini memiliki umbi berserat, dan gatal rasanya bila tersentuh kulit tubuh, apalagi lidah manusia. Karena itu disebut maek, artinya ubi hutan yang gatal. Jenis ubi hutan yang gatal atau maek itu baru bisa dipanen atau dikelola menjadi bahan makanan ketika batang dan daunnya mulai menguning.
Bila batang dan daunnya masih kelihatan hijau, itu tanda umbinya belum matang/tua untuk dipanen.
Makanan babi hutan
Maek sebenarnya merupakan makanan kera/monyet dan babi hutan, atau makanan binatang liar. Namun sejak dahulu kala, umbi hutan yang isinya sangat padat itu dikelola nenek moyang orang Belu menjadi bahan makanan yang enak dikonsumsi.
Entah pengetahuan semacam apa yang mereka miliki, tetapi warisan itu kini tetap dipegang masyarakat Belu di pelosok desa.
Misalnya di desa-desa seperti Naekasa, Tukuneno, Naitimu, Silawan, Kecamatan Tasifeto Barat, Kecamatan Rinhat dan sekitarnya. Masyarakat setempat tidak gentar menghadapi musim kelaparan, karena ada harapan stok ubi hutan masih tersedia di hutan seperti maek.
Cara pengelolaan maek memang rumit. Gatalnya sangat mengerikan bila tersentuh kulit tubuh. Tetapi masyarakat setempat mahir mengerjakannya. Berawal dari panen, yakni ubi maek yang telah tua digali dan dikupas kulit luarnya dengan pisau atau parang. Selanjutnya, diiris tipis 0,5 cm sampai 1 cm, lalu dikeringkan di sinar matahari sekitar 3 - 7 hari hingga menjadi garing.
Umbi maek yang telah garing itu ditumbuk dalam lesung hingga hancur. Setelah itu ditapis dengan nyiru hingga menghasilkan tepung maek paling halus. Tepung maek tersebut dibasahi dengan air panas matang, kemudian dicampur dengan air asam. Adonan tersebut diaduk dan diganti airnya sampai hilang rasa gatalnya. Selanjutnya adonan maek dikukus hingga matang, dan siap dihidangkan untuk dimakan.*
Sumber : Pos Kupang