Senin, 28 Juni 2010

Gagal Panen atau Gagal Berpikir?

Oleh: Agustinus Paulus Paoe
Penulis: Warga Kelurahan Nefonaek, Kota Kupang
Pendahuluan
Bukan berita baru kalau salah satu propinsi kepulauan di bagian Timur Indonesia ini selalu menderita kelaparan karena gagal panen. Sebab yang biasanya menjadi alasan adalah karena curah hujan yang kurang, curah hujan yang tidak merata, musim penghujan yang pendek dan kemarau yang panjang. Alhasil, sejumlah kabupaten di Propinsi Nusa Tenggara Timur ini, yakni Timor Tengah Selatan, Rote Ndao, Lembata, Sumba Timur, Sumba Tengah dan Sumba Barat serta Sabu-Raijua melaporkan daerahnya rawan pangan. 

Misalnya Sabu-Raijua, dari 76 desa di kabupaten itu, hanya satu desa, yaitu Desa Imadakey di Kecamatan Sabu Tengah, yang berhasil panen jagung dan kacang-kacangan di areal 4 hektar. Kabupaten Rote Ndao gagal panen karena tanaman pangan seperti jagung tidak tumbuh normal, menyusul kekeringan akibat curah hujan yang rendah. 

Sementara dari Sumba Timur, masyarakat di sejumlah desa mulai keluar masuk hutan untuk menggali "iwi", sejenis ubi hutan yang mengandung racun, sebagai pangan alternatif. "Iwi" diolah menjadi pangan, setelah dijemur dan direbus beberapa kali untuk mengurangi kandungan racun. Masyarakat Desa Noemuke, Amanuban Selatan, Kabupaten Timor Tengah Selatan, mulai makan putak (sagu) akibat gagal panen dalam musim tanam tahun ini. Dari Lembata khususnya Kecamatan Ile Ape, gagal panen dan kelaparan selalu menjadi cerita derita yang diulang dari tahun ke tahun. 

Kebijakan Pemerintah?
Setali tiga uang kata orang, perilaku pemegang kebijakan publik juga sama seperti rakyatnya. Rakyat mengeluh gagal panen, pemerintah memberi bantuan beras dan mengucurkan dana ratusan juta hanya untuk mengatasi kelaparan dalam jangka pendek, paling kurang 8-9 bulan ke depan. Kalau tahun depan rayat kelaparan lagi, kebijakan yang sama diterapkan lagi. Hubungan antara pemerintah dan rakyat seperti ini, bukanlah hubungan yang sehat dan rasional, ini hubungan ala dongeng sinterklas.

Menteri Koordinator bidang Kesejahteraan Rakyat (Menkokesra) Agung Laksono mengatakan telah terjadi gagal panen di sejumlah kabupaten di Nusa Tenggara Timur. Upaya penanggulangan yang beliau lakukan adalah dengan menyalurkan cadangan beras pemerintah (CBP) dengan pagu maksimum 100 ton per kabupaten.

Bupati dan Pejabat Bupati di sejumlah daerah yang terkena rawan pangan juga melakukan seperti apa yang dibuat oleh Menkokesra. Pejabat Bupati Sabu-Raijua Thobias Uly, mengantisipasi ancaman rawan pangan sembilan bulan ke depan atau selama musim kemarau, dengan mengalokasikan beras untuk warga miskin (raskin) sebanyak 6.000 ton. 

Dan juga kata beliau ada cadangan Pemerintah Provinsi (Pemprov) NTT yang dikelola kabupaten sebanyak 100 ton. Namun menurutnya, jumlah cadangan makanan tersebut tidak cukup untuk mengatasi ancaman rawan pangan selama sembilan bulan ke depan. Bupati Sumba Timur Gidion Mbilijora telah mengirim surat kepada Gubernur Frans Lebu Raya, Kementerian Sosial dan Kementerian Pembangunan Daerah Tertinggal, meminta bantuan beras dan mesin pompa air.

Kebijakan 'minta-minta' dan kebijakan 'kaget-kagetan' ala pemerintah ini tidak akan mengatasi permasalahn rawan pangan di NTT, kebijakan yang dibuat seharusnya kebijakan jangka panjang, yang kreatif, yang menyentuh langsung kebutuhan dasar rakyat. Bagaimana kebijakan itu bisa dibuat? Pemimpinnya harus terlibat aktif bersama rakyat sehingga ia mampu melihat apa yang menjadi kebutuhan yang paling urgen dari masyarakat yang dilayaninya. 

Kepemimpinan tradisonal di masa lalu yang ada pada diri Raja Don Thomas Ximenes da Silva dari Sikka dan H. A Koroh dari Amarasi memperlihatkan bahwa mereka benar-benar dekat dengan rakyatnya. Raja Don Thomas Ximenes da Silva berhasil dengan program kopranya dan Raja H. A. Koroh berhasil dengan program ternak sapinya, yang kemudian juga dua program ini pernah menjadikan Kabupaten Sikka sebagai penghasil kopra dan NTT sebagai propinsi pemasok ternak sapi dan daging sapi bagi kebutuhan nasional. Ini yang perlu ditiru oleh pemerintah sekarang ini. 

Potensi Pertanian Lahan Kering 
Provinsi NTT merupakan provinsi kepulauan yang memiliki 566 pulau dengan luas daratan mencapai 47.349 kilometer persegi. Dari luas daratan tersebut tercatat 96,74 persen merupakan lahan kering, sedangkan sisanya 3,26 persen merupakan lahan basah (persawahan) itu berhubungan erat dengan musim hujan yang cukup pendek yaitu 3-4 bulan, yang sering disertai distribusi yang kurang merata. 

Curah hujan terendah hanya mencapai 1059 mm dengan jumlah hari hujan hanya 65 hari. Dengan demikian, NTT dikenal sebagai daerah semi-arid, selain itu, kondisi topografi NTT yang umumnya berbukit dengan luas lahan terbesar adalah yang memiliki kemiringan kurang lebih 40 persen seperti di Kabupaten Ende, yang mencapai 74,17 persen, di Alor dan Manggarai, masing-masing sebesar 64,25 persen dan 50,10 persen. Itu berarti ketersediaan lahan yang landai untuk usaha pertanian lahan basah sangat terbatas sehingga pertanian lahan kering menjadi sangat dominan di NTT. 

Secara nasional pertanian lahan kering juga cukup menjanjikan, terutama dari segi luasnya. Lahan kering di Indonesia cukup luas, dengan taksiran sekitar 60,7 juta hektar atau 88,6% dari luas lahan, sedangkan luas lahan sawah hanya 7,8 juta hektar atau 11,4% dari luas lahan, sebagian besar banyak tersebar pada dataran rendah yakni hamparan lahan yang berada pada ketinggian 0 - 700 m dpl (60,65%) dan dataran tinggi yang terletak pada ketinggian 700 m dpl.(39,35%) dari total luasan lahan kering di Indonesia.

Data terbaru, menyebutkan Indonesia memiliki lahan kering sekitar 148 juta ha (78%) dan lahan basah (wet lands) seluas 40,20 juta ha (22%) dari 188,20 juta ha total luas daratan Berdasarkan data ini dapat dikatakan potensi lahan kering di Indonesia tergolong tinggi dan masih perlu mendapat perhatian yang lebih bagi pengembangannya.

Apabila dikaji lebih jauh dari data penggunaan lahan kering yang ada, menunjukkan bahwa ketergantungan pertanian pada usahatani lahan kering jauh lebih besar daripada lahan basah/sawah yang hanya 7,8 juta ha, dan separuh areal luasannya 3,24 juta ha berada di Jawa. Survai Pertanian BPS memberikan angka-angka luasan lahan kering khususnya dalam hal penggunaannya dan secara ringkas dapat disebutkan dari yang terbesar berturut-turut adalah hutan rakyat (16,5%), perkebunan (15,8%), tegalan (15,0%), ladang (5,7%), padang rumput (4,0%). Lahan kering yang kosong dan merupakan tanah yang tidak diusahakan seluas (14,0%). 

Dari total luas lahan kering yang ada, sebagian besar terdapat di dataran rendah dan sesuai untuk budidaya pertanian penghasil bahan pangan (seperti padi gogo, jagung, kedele, kacang tanah). Lahan kering juga penghasil produk pertanian dalam arti luas lainnya, seperti perkebunan (antara lain kelapa sawit, kopi, karet), peternakan, kehutanan dan bahkan perikanan (darat), apalagi di luar Jawa yang memiliki lahan sangat luas dan belum banyak dimanfaatkan (kurang dari 10%). Dari sebagian Luasan lahan kering yang tidak diusahakan secara optimal, dapat menjadi alternatif pilihan dan merupakan peluang untuk pengembangannya, mengingat selama ini potensi itu terkesan seperti terabaikan.

Iwan Santoso, (Praktisi, Fasilitator UKM dan Konsultan Agribisnis Lahan Kering, Kupang NTT) menceritakan bagaimana ia memulai usaha pertanian di lahan kering di NTT, khususnya di Kupang yang tanahnya terkenal penuh dengan batu karang. “Usaha agribisnis lahan kering dimulai dengan membuka lahan berbatu seluas 1 ha di Desa Belo kecamatan Maulafa, Kota Kupang. Dari lahan seluas 1 ha ini saya dapat menjual batu karang, sehingga dapat memulai mengembangkan usaha tani di tempat ini. 

Pada musim hujan 1998, saya memulainya dengan menanam jagung hibrida Pionir F1 di sela-sela batu dengan luasan sekitar 0,5 ha. Panen yang cukup berhasil dilakukan pada bulan Februari 1999, dan hasil panen sebesar Rp. 2.500.000. Keberhasilan ini mendapat tanggapan positif dari pemerintah. tetapi tidak disertai dengan tindak lanjut yang jelas. Setelah mengikuti kegiatan-kegiatan pelatihan di Singaraja, saya mendapat banyak pengetahuan dan keterampilan terutama yang menyangkut pemanfaatan sumberdaya alam, misalnya pembuatan bokashi, pembuatan pestisida botani dan pemanfaatan air limbah.

Bebekal pengetahuan dan keterampilan ini saya mulai mengembangkan lahan yang telah dimiliki dengan membuat bak-bak pengomposan dan bak penyaringan air limbah. Di lahan ini saya mulai dengan penanaman pepaya Red Lady (diindikasikan sebagai pepaya yang tahan kering) dan mulai rnenghasilkan setelah satu tahun. 

Hasil panen pepaya digunakan untuk memperbanyak jenis tanaman, sehingga meliputi mangga, jeruk (keprok. nipis limau), srikaya dan jambu. Setelah tanaman buah mulai tumbuh lahan di lengkapi dengan pemeliharaan/penggemukan sapi, yang selain untuk rnendapatkan tambahan penghasilan melalui hasil jual hewan tersebut juga untuk memperoleh pupuk kandang bagi tanaman. 

Tanaman-tanaman lain seperti turi dan lamtoro juga di tanam sebagi tanaman-tanaman yang ada di lahan ini sebagai tanaman pelindung yang daunnya dapat dimanfaatkan sebagai pakan sapi. Usaha tani lahan kering ini sekarang sudah mulai memberikan hasil, baik dari tanaman semusim seperti tomat dan labu, maupun dari pohon seperti pepaya, jeruk nipis dan sirsak. Memang dari segi agribisnis usaha ini belum memberikan keuntungan yang nyata, tetapi keberhasilan yang ada sekarang diharapkan dapat menjadi contoh bahwa dengan keadaan lahan yang sangat marginalpun usaha pertanian yang berhasil dapat dilakukan”. 

Kalau Iwan Santoso bisa mengapa kita tidak? Iwan santoso adalah contoh orang yang tidak gagal berpikir dalam mengolah lahan yang semulanya dianggap tidak bisa menghasilkan apa-apa kini dengan kerja keras dan berbekal ilmu pengetahuannya ia mengubah batu karang menjadi surga baginya. Kendala pasti selalu ada tetapi akal budi yang telah dianugerahkan kepada kita harus bisa dipergunakan dengan sebaik mungkin dan semaksimal mungkin. Mantan Wapres RI, Try Sutrisno dalam sebuah teleconference (1995) dengan seorang petani di Timor pernah berkata; tidak perlu menyesali keadaan alam yang sudah demikian adanya.

Alam telah dengan adil memberikan sumberdaya yang khas jika kita yakin bahwa dia memang adil. Belum tentu cendana tumbuh bagus di pulau lainnya, dan belum tentu pula burung unta mampu bertahan di pulau-pulau ”basah” lainnya. Memang benar apa yang dikatakan Mantan Wapres RI, Try Sutrisno. Lebih baik bersyukur dan berusaha daripada mengeluh dan meminta-minta.