Sebagai sebuah institusi politik yang bekerja atas nama rakyat, esensi kehadirannya adalah at-stake bagi 4,2 juta warga NTT yang sedang dirundung berbagai masalah. Kemiskinan yang menghinggapi 1.546.200 rakyat di seantero Flobamorata dengan indikasi kesehatan, pendidikan yang memiriskan, menumpahkan banyak airmata keprihatinan tak terbahasakan.
Nihilnya spirit demokrasi Menurut ICW 2005, kasus korupsi di NTT tahun 2005 mencapai 184 M yang dilakukan oleh elit birokartik-politik, sementara 49.000 rakyat NTT jadi korban busung lapar dan gizi buruk. Ini menguatkan tesis Teten Masduki bahwa tingkat korupsi politik (state capture) dengan korupsi birokrasi (petty corruption) sama parahnya di bangsa ini.
Dalam perespektif Diamond (2008) dengan spirit of democracy-nya, lembaga perwakilan rakyat semestinya memberikan peran otentis bagi internalisasi kritis terhadap paradoksal politik-kemanusiaan. Lembaga legislatif di setiap kehadirannya mestinya mencerminkan kegelisahan hati rakyat yang diwakilinya entah dalam setiap keadaaan, sepahit apa pun.
Kita sadar, di tengah amis ratapan kemiskinan, tidak sedikit juga kaum elit yang menikmati parfum pembangunan secara memukau. Gaya hidup mereka sungguh di luar perhitungan standar hidup kebanyakan manusia NTT. Ironisnya mereka itu diantaranya lembaga perwakilan rakyat yang telah bersumpah sepenuhnya untuk totalitas kedaulatan rakyat.
Namun sayang sumpah politik itu seperti serampah yang menyiksa rakyat. Ia menularkan banyak implikasi dan ironis yang membentangkan lokus rakyat dengan elit dalam demarkasi hak aksesibilitas terhadap hasil pembangunan secara tidak adil dan in-humanis. Fasilitas dan hasil pembangunan kerap menjadi buruan korupsi para elit di legislatif terhormat.
Mereka memakan dana-dana konstruksi yang mestinya hak dhuafa. Mereka pandai memanipulasi kenyataan dengan asumsi-asumsi yang seolah-olah rasional, padahal banal. Selama 2006 BPK NTT mencatat ada 856 kasus dana- pemerintah/non pemerintah- bermasalah (gereja, LSM lokal, nasional). Menurut Kapolda NTT, sepanjang 2002-2007 ada 45 kasus korupsi yang menyebabkan kerugian negara sebanyak 19 M diantaranya Sarkes, Rumponisasi di Belu, dana kontigensi dan dana beasiswa di Biro UP Setda NTT.
Indikasi ini tak sedikitpun disuarakan oleh wakil rakyat. Kalaupun berbunyi di koran, itu cuma sekedar refleks sesaat yang bertendensi menciptakan popularitas dangkal. Padahal parlemen/DPR(D) itu berasal dari kata Perancis, Parler: bicara. Tugas pokok Dewan sejatinya adalah berbicara atas nama rakyatnya. Bukan bertengkar atau sebaliknya bercengkerama demi terpenuhinya kepentingan diri di sela-sela sidang rakyat.
Dalam konteks ini kita sayangkan karena masih banyak anggota DPRD NTT yang belum mengembalikan dana rapelan tunjangan komunikasi intensif dan tunjangan operasional sebanyak 5,4 M (Kompas 4/10/2008). Sebagaimana diketahui, Ketua DPRD mendapat tunjangan 275 juta, sudah dipotong pajak, sementara wakilnya menerima 190 juta.
Sedangkan anggota DPRD masing-masing memperoleh 91,8 juta. Dari 5,4 M itu, baru 1,4 M yang sudah dikembalikan oleh 47 anggota Dewan. Bahkan 8 dari 55 anggotanya belum mencicil sama sekali. Sarah L Mboeik, Direktris PIAR menganggap bahwa anggota Dewan kita terlalu masa bodoh dengan persoalan ini. Mereka tak punya setitik pun sense of crisis. Yang mereka kejar dari kursi dewan cumalah uang dan kekayaan semata.
Padahal jika dikonversi dengan kebutuhan mendesak masyarakat NTT, nominal di atas amatlah berharga misalnya untuk menyelesaikan persoalan 118.802 orang penganggur atau meretas 1886 desa tertinggal di propinsi ini. Contoh mutakhir, masyarakat kita yang ada di desa Waikokak, kec, Aesesa, Nagakeo sampai saat ini hidupnya merana akibat kebutuhan air yang tak terpenuhi (KickAndy,5/10/2008). Musim hujan hanya dirasakan sebulan.
Berkilo-kilo jauhnya mereka mengambil air untuk setetes kehidupan yang teramat gersang nan pedas untuk dijalani. Ini adalah fenomena kemanusiaan mutakhir yang tergurat lusuh di NTT. Dan seberapa banyak elit kita yang peduli pada fenomena ini? Kecuali terus membuncitkan perut dan memekarkan singggasananya.
Tegak berdirinya demokrasi di NTT sebagai prinsip universal penyelenggaraan kedaulatan rakyat NTT demi keadilan dan kesejahteraan adalah sesuatu yang substansial. Tanpa demokrasi kita akan sulit menjangkau perubahan yang selalu menjangkarkan dirinya pada kekonsistenan wacana/komitmen dan perilaku. Sering terlihat komitmen politik para elit tak seirama dengan tarian jiwanya. Rakyat. Dalam mulut dan perilaku Dewan senantiasa terpenggal-penggal. Tidak utuh. Bahkah kadang sering dijauhkan dari debat-debat yang mengkalkulasi penegakan kepentingan rakyat. Rakyat Cuma terbawa dalam hiruk pikuk kampanye yang memoles segala kondisi rakyat secara advertensial, memancing lirih suasana kalbu rakyat kebanyakan demi sebuah penjiwaan politik elit yang kerdil dan semu.
Libido politik
Akan tetapi saat sudah berhadapan dengan persoalan riil rakyat sebagai tuntutan moril institutif perse, Dewan kita tidak bertaji. Kehilangan seluruh daya agitatif, orasi dan solidaritasnya. Kemampuan memukau rakyat dengan kata-kata dan pidato hebat seperti di podium kampanye, ketika sudah di alam realisasi, berganti melodrama politik yang menyakiti hati rakyat. Bukannya ikut dan terlibat menyuarakan kebenaran bersama rakyat, tetapi sebaliknya merampas hak-hak rakyat dengan tuntutan adiktif memperoleh tunjangan milyaran rupiah, memperoleh fasilitas mentereng (mobil, rumah luks, dan sebagainya).
Libido heroic dan kecintaan kerakyatan yang diumbar-umbar di panggung kampanye secepat itu melemah, ketika melihat rakyatnya sebagai lawan yang tidak bergairah, bertenaga secara politik. Rakyat gampang diselingkuhi atas nama cinta tak berujung. Kini Dewan kita bercinta dengan kekuasaan tak berujung. Sindrom kekuasaan menjadi tempat akumulasi birahi yang digulati secara membabibuta. Saat kampanye seperti sekarang, tidak sedikit anggota Dewan yang kembali berhasrat mencalonkan dirinya meski oleh rakyat dinilai gagal.
Mereka tetap bertengger dalam apologi bahwa setiap orang punya hak politik. Padahal tegaknya hak politik berpolitik merupakan sebuah pengandaian akan tegaknya hak-hak orang lain dalam level humanis yang setara. Jika demi sebuah hak politik, moralitas dan etika di kucilkan, maka hak politik itu sejatinya telah menderogasi hubungan kemanusiaan sebagai sentrum politiknya, dimana kekuasaan ditujukan pada dirinya sendiri (the end it self).
Petiduran kemaslahatan rakyat NTT sekejap ternoda nokhtah merah persekongkolan politik elit kita yang sudah mati rasa dengan keadaan di sekitarnya akibat kekuasaan yang tak berujung. Nathan Sharansky ( The Case For Democracy, The Power Of Freedom To Overcome Tyranny and Terror, 2004) mengatakan demokrasi yang melibatkan dirinya pada penderitaan rakyat akan terlaksana apabila elit-elitnya mau menyatu, ikut merasakan penderitaan rakyat.
Kembalikan!
Baiknya saat-saat menjelang berakhirnya masa jabatan, DPRD NTT semestinya berupaya untuk memperbaiki dirinya sendiri (semper reformanda est). Merenung paling tidak dalam soal orientasi pengabdian politiknya. Jika rakyat saat ini masih mencibir dan mencerca kinerja Dewan. Dan ketika dewan terus mengalami deflasi pamor di setiap ekskalasi penilaian politik rakyat, maka Dewan mestinya sudah bisa mengukur dirinya.
Untuk apa ia bernafsu di pentas kampanye? Realitas NTT yang compang-camping saat ini merupakan merupakan gambaran jelas seberapa jauh Dewan 2004-2009 kita berkiprah. Maka jalan yang ditempuh oleh DPRD terutama soal pengembalian dana kemanusiaan di atas adalah : Pertama, segera mengembalikan/mencicil uang tunjangan yang sudah diperoleh sebelumnya karena itu adalah hak rakyat. Ini pun bukan persoalan besar atau kecil jumlahnya, akan tetapi bicara juga soal kemanusiaaan dan etika politik. Memperoleh yang bukan hak adalah sebuah pencurian dalam legalisasi korupsi secaara santun yang pantas dikenai hukuman meski cuma berujud sanksi moral.
Kedua, Ketua DPRD NTT dengan otoritasnya mestinya mendesak angggotanya untuk mengembalikan uang rakyat itu hingga tenggat waktu Agustus 2009, untuk segera digulirkan ke pos-pos genting yang berhubungan dengan kepentingan rakyat kecil. Malah, Ketiga, bukan saja uang tunjangan 5,4 M itu saja yang harus dikembalikan. Mandat rakyat pun perlu dikembalikan ke rakyat NTT karena sejatinya Dewan kita sudah gagal menjalankan kewajiban moral politiknya terhadap rakyat.
Maka sebagai wujud pengembalian mandat itu, Dewan NTT–secara individual- perlu menarik diri dari pencalonan untuk periode berikutnya, karena kehadiran mereka hanya akan mengotori dan mengumalkan proses demokratisasi yang tengah di galakkan di tanah Flobomorata ini. Selain itu rakyat lewat kontrol institusi representatifnya, seperti LSM perlu terus mengawal proses pengembalian dana ini hingga utuh berada kembali di tangan rakyat sebagai yang berhak atasnya.
*) Sumber : Timor Express