Senin, 28 Juni 2010

Mangan Ora Mangan

Oleh : Lasarus Jehamat
Staf  Pengajar di Jurusan Sosiologi FISIP Undana Kupang


Lepas dari pro dan kontra atas makna pepatah ini dalam dunia sosial dewasa ini, yang jelas adagium ini memiliki titik tekan utama yakni nilai kebersamaan. Perkara selanjutnya adalah apa relevansi pepatah ini dengan kasus hilangnya nyawa manusia akibat penambangan mangan di beberapa wilayah di NTT? 

Mangan untuk Makan
Dalam beberapa bulan terakhir koran ini memberitakan kasus mangan berikut pro kontra yang melingkupinya. Yang terakhir Pos Kupang (Rabu, 23/06/2010) memberitakan tewasnya empat warga Kakulukmesak, Kabupaten Belu di lokasi tambang mangan. Jika pepatah Jawa di atas lebih bermakna kebersamaan maka mangan untuk masyarakat Timor dan masyarakat NTT pada umumnya selalu dan hampir pasti berhubungan dengan makan; berkaitan dengan urusan perut. Itu berarti menyangkut hidup matinya seseorang. Secara biologis, yang tidak makan pasti mati.

Hal inilah yang mendorong warga masyarakat  melakukan eksplorasi-mencari, menggali dan sebisa mungkin mendapatkan barang mineral tersebut. Selain itu, sebagai pemilik sah tanah dan air serta kekayaan alam yang terkandung di dalam perut bumi Timor, warga masyarakat Timor toh cukup beralasan mengeksplorasi mangan.  Namun demikian, logika masyarakat ternyata berjalan berseberangan dengan logika pemerintah dan pemilik modal. Oleh pemerintah dan pemilik modal, berbagai aktivitas penambangan yang dilakukan oleh masyarakat diberi cap ilegal dan merusak lingkungan. Sedangkan eksplorasi yang dilakukan oleh para investor boleh lenggang kangkung atas nama legalitas dan riset ilmiah dalam nama analisis dampak lingkungan.

Bagi para pembuat kebijakan di daerah ini, mengutip Phelps, Power, and Wanjiru dalam Kim England and Kevin Ward (2007), masalah mangan bukanlah soal perut, tetapi tentang kompetisi akumulasi kapital dalam langgam kesejahteraan rakyat.

Soft Capitalism
Perlu dipahami bahwa dalam logika kapitalisme global, pemilik modal selalu dianggap benar dan tidak pernah melakukan kesalahan sekecil apa pun. Rezim kapitalisme global biasanya latah mempersalahkan masyarakat lokal jika sewaktu-waktu terjadi persoalan di lokasi tambang - tempat investasi modal ditanam. Saling lempar tanggung jawab atas kematian empat warga di lokasi tambang mangan di Belu merupakan contoh paling sahih bagaimana pemilik modal 'bermain mata' dengan pemerintah soal tanggung jawab sosial atas masalah yang ada. Penambang liar, ilegal, dan kelompok pengacau keamanan merupakan jargon-jargon yang dipakai pemilik modal untuk mematikan langkah masyarakat kecil-pemilik sah kekayaan alam di perut bumi yang diinjaknya. Sayangnya, pemerintah sebagai otoritas yang mengeluarkan regulasi tentang tambang dan pertambangan justru mengangkat suara dan mengamini setiap jargon-jargon kaum kapitalis tersebut. Fenomena seperti inilah yang oleh Nigel Thrift (2005) dalam Knowing Capitalism disebut sebagai amnesia sosial dan budaya.

Fenomena amnesia sosial dan budaya terjadi ketika para pembuat kebijakan lupa akan eksistensi dan realitas kehidupan  sosial, budaya dan ekonomi masyarakat lokal. Eksistensi masyarakat lokal selanjutnya dipinggirkan secara sistematis oleh rezim kapitalisme global dengan berbagai tawaran utopianya melalui gerakan soft capitalism (Thrift, 2005). Soft capitalism bekerja dalam tiga cara. Pertama, kapitalisme biasanya bisa menembus ruang formasi budaya. Dalam beberapa hal, kaum kapitalis biasanya sering mengikuti dan menjadi sponsor utama kegiatan kebudayaan di lokasi investasi.  Kedua, kapitalisme dapat dengan mudah berubah bentuk dan wujud seturut kondisi sosial dan budaya masyarakat. Karena sifatnya yang adaptif dengan tingkat fleksibilitas yang tinggi inilah yang membuatnya mudah menyelinap masuk melampaui jarak dan waktu. Bisa dimengerti mengapa misalnya investasi kaum kapitalis bisa berada di mana-mana, meskipun jauh dari jangkauan keramaian gaung kapitalisme itu sendiri. Berdasarkan cara ini maka kondisi isolasi NTT dari berbagai segi bukanlah halangan bagi kaum kapitalis untuk menanamkan investasinya di daerah ini. 

Ketiga, kapitalisme menjadi sebuah bacaan sosial  - antara bayangan dan realitas sulit dibedakan. Kapitalisme dalam kerjanya menawarkan surga dunia. Setiap persoalan sosial bagi kapitalisme sama mudahnya menyelesaikan pekerjaan membolak-balik telapak tangan. Syaratnya, hambatan sosial, budaya, dan teknis lainnya harus disingkirkan. Tabiat imperatif  ini sangat sulit dilacak oleh kaca mata kebijakan tetapi mudah dilihat dalam kaca benggala realitas sosial. Maka gampang dimengerti mengapa masyarakat selalu dijadikan kambing hitam jika persoalan sosial dan lingkungan terjadi di kemudian hari. 

Hemat saya, soft capitalism inilah yang tidak disadari oleh para pembuat kebijakan di negeri dan daerah ini. Soft capitalism kemudian membutakan mata hati para pembuat kebijakan di daerah ini untuk memahami mangan sebagai sarana kesejahteraan bagi seluruh rakyat. Malah, mangan sebisa mungkin menjadi instrumen akumulasi kapital penguasa dan pemilik modal. Jargon kesejahteraan rakyat kemudian berujung pada terkuburnya mayat-mayat tak berdosa ke liang pencarian nafkah hidup. Mangan menjadi ajang taruhan nyawa. Selanjutnya, definisi degradasi lingkungan menjadi sangat licin. Degradadasi lingkungan  sejauh itu dilakukan oleh masyarakat dan bukan oleh kaum kapitalis. Pernyataan Wakil Bupati TTS (PK, 25/06/2010) bahwa penambangan rakyat dapat merusak lingkungan seolah menegaskan bahwa penambangan yang dengan izin pemerintah bebas dari ancaman degradasi lingkungan.

Bagi saya, pilihan yang memberikan peluang kepada investor untuk mengelola tambang jauh lebih berbahaya dari sisi mana pun. Selain karena terjadi eksplorasi dan eksploitasi mangan secara masif, kesulitan untuk mengontrol pemasukan dari sistem bagi hasil menjadi bahaya lain. Sementara usaha penambangan rakyat sejauh itu bisa dikontrol dan diberi pemahaman penuh kepada masyarakat maka saya yakin masyarakat tidak akan merusak generasi yang dilahirkannya sendiri. Masyarakat sendiri tahu dan paham bagaimana mengelola alam dan lingkungan. 

Kemauan pemerintah propinsi untuk membuat peraturan daerah tentang mangan perlu diberi apresiasi, namun catatan kritis yang laik diperhatikan adalah jangan sampai peraturan tersebut hanya mengekang rakyat yang memang memiliki hak ulayat atas tanah dan air untuk kemudian memuluskan langkah para pemilik modal agar leluasa keluar masuk ke lokasi pertambangan. *