SABTU, 3 JULI 2010
SOE, POS KUPANG.Com -- Menurut tokoh adat di Kabupaten Timor Tengah Selatan (TTS), mangan adalah akar tanah Timor. Jika akar tanah ini terus diambil maka tanah ini tak punya kekuatan lagi dan akan terjadi bencana.
Pengambilan batu mangan secara besar-besaran saat ini dilihat sebagai ancaman serius bagi keseimbangan alam. Tokoh-tokoh adat mengatakan, jika "akar tanah" terus diambil maka tanah Timor akan "tenggelam".
Peringatan ini disampaikan tokoh adat Desa Haumenbaki, Kecamatan Amanuban Barat, Jakob Nubatonis (70) dan Tokoh Adat Desa Noemeto, Kecamatan Kota SoE, Trianus Johny Selan (45). Keduanya ditemui di SoE, Jumat (2/7/20100.
Jakob mengatakan, antara manusia dan alam memiliki keterkaitan yang sangat erat. Saling membutuhkan dan saling melindungi. Apabila terjadi konflik maka akan muncul berbagai persoalan. Alam akan marah dan pasti membalas tindakan manusia yang melukai alam. Pembalasan alam itu bisa cepat, bisa juga lambat dan dalam beragam bentuk.
Jacob mengatakan bahwa puluhan orang yang mati tertimbun tanah saat mengambil batu mangan, adalah salah satu bentuk pembalasan dari alam. Dia menyebut kejadian ini sebagai reaksi balik dari alam. Alam murka.
Apabila manusia ingin mengambil batu mangan untuk dijual guna memenuhi kebutuhan hidup, maka perlu ada kata sepakat dengan alam. Masyarakat harus duduk bersama untuk mendiskusikan kira-kira langkah apa yang harus dilakukan.
"Kita dengar bahwa orang ramai-ramai gali tanah ambil batu mangan untuk jual. Tapi, apakah sudah diawali dengan upacara adat? Itu harus dilakukan sebagai bentuk penghormatan atas ciptaan Tuhan. Alam ini kan ciptaan Tuhan juga. Kalau dilukai ia akan marah, ia akan berontak melawan manusia," tegasnya.
Jakob mengungkapkan bahwa pada lokasi tambang Oefenu di wilayah Amanuban, terlihat ada lempengan yang menunjukkan bahwa di sanalah akar bumi TTS. Jika alam sudah menunjukkan jati dirinya demikian, katanya, maka seharusnya penambangan dihentikan.
Dia meminta masyarakat setempat untuk sadar dan bijaksana terhadap alam. Mangan bukan satu-satunya jalan untuk menafkahi keluarga. Masih banyak cara lain mencari makan, seperti bertani atau beternak.
Ia juga mengingatkan bahwa sanksi bagi warga yang mengambil bahan dasar pembuatan besi ini yakni akan mendapat petaka. "Pemiliknya tak dapat apa-apa, tapi orang lain yang menikmati. Ini tidak adil dan saya yakin mereka akan mendapat getahnya," tegas Jakob.
Tokoh adat lainnya, Trianus Johny Selan mengatakan, orang Dawan memiliki tata budaya yang sangat kental. Budaya yang mengatur tata hubungan antara manusia dengan alam. Manusia harus menjaga alam agar tidak terjadi bencana. Orang Dawan, kata dia, yakin bahwa alam ini murka karena ulah manusia. Memang, katanya, alam dalam posisi pasif. Diam. Tetapi posisi diam itu tidak berarti alam menerima saja semua perlakuan menyimpang dari manusia.
Ia memberi ilustrasi. Orang diam, tenang tidak berarti tidak tahu apa-apa. Alam pun demikian.
Sebagai tokoh adat dan juga Kepala Desa Noemeto, Selan mengatakan, secara informal dan formal sudah berulangkali ia menyampaikan kepada masyarakat tentang berbagai resiko yang dihadapi.
"Saya sudah jalan keliling desa dan menyampaikan agar jangan menambang, apalagi dari segi aturan (perda) belum ada," katanya.
Namun, masyarakat, yang karena tuntutan ekonomi, tidak menggubrisnya. Masyarakat terus menggali perut bumi untuk mencari mangan. Tapi dia akan terus mengingatkan warga.
Kepala Dinas Pertambangan dan Energi (Kadistamben) Kabupaten TTS, Drs. Hendrik Banamtuan yang ditemui di ruang kerjanya, Jumat (2/7/2010), mengatakan, Bupati TTS, Ir. Paul Mella telah mengeluarkan instruksi kepada semua kepala desa agar melarang masyarakat menambang mangan. Ada beberapa pertimbangan bupati yakni akan merusak alam serta mengancam jiwa. Meski demikian kata Hendrik, masyarakat terkesan masa bodoh dan terus menambang. (pol)